Sedang Membaca
Sebelum Novel
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Sebelum Novel

Haruki...

Para penggemar Haruki Murakami bergirang mendapatkan terjemahan novel berjudul Membunuh Commendatore: Idea yang Menjelma (2021). Buku diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, dua jilid. Tebal! Novel dipersembahkan bagi pembaca masih dirundung wabah. Di Indonesia, buku-buku garapan Haruki Murakami laris diterjemahkan dan mendapat pembicaraan.

Penggemar fanatik pun selalu berdoa agar Haruki Murakami mendapat Nobel Sastra. Tahun demi tahun, usulan dan doa belum menghasilkan tepuk tangan. Haruki Murakami tak memberi pidato penerimaan Nobel Sastra, selalu “kalah” dengan pengarang-pengarang lain.

Penikmat film berbahagia pula menonton Drive My Car. Film garapan sutradara asal Jepang bernama Ryusuke Hamaguchi itu mengadaptasi cerita pendek Haruki Murakami. Film bersaing dalam Festival Film Cannes (Solopos, 13 Juli 2021). Pengarang kondang itu bisa makin kondang mesti tanpa Nobel Sastra. Abad XXI milik Haruki Murakami, tercatat dalam arus besar sastra dunia.

Pembaca di pelbagai negara tetap menganggap Haruki Murakami adalah novelis terbesar abad XXI. Ia telah memberi persembahan mengesankan bagi pembaca dalam menikmati cerita-cerita sering dicap bergerak lambat. Haruki Murakami selalu pujaan. Pada 2021, bukti mengagumi Harukami bisa dibuktikan dengan membeli dua jilid edisi terjemahan bahasa Indonesia dengan harga 290 ribu rupiah. Novel terbaca saat orang-orang dianjurkan berada di rumah, ikhtiar tak menjadikan wabah makin berpetaka. Haruki Murakami bersama pembaca, melintasi menit-menit berimajinasi berbarengan situasi dunia sedang berantakan.

Pada saat membaca novel tebal, orang bisa mendampingi dengan buku berjudul Seni Menulis Fiksi, berisi esai-esai Haruki Murakami. Buku kecil bersampul warna merah ingin membarakan para pengagum untuk mengetahui biografi dan tata cara menggubah sastra oleh Haruki Murakami. Di kancah sastra dunia, Haruki Murakami itu nama besar tapi memiliki pengisahan diri agak mengejutkan berkaitan kemauan menempuhi titian sastra. Kini, ia telanjur diakui dan penghormatan tertinggi.

Baca juga:  Beragama dalam Semesta Kemanusiaan

Haruki Murakami memberi pengakuan lugu: “Sedikit pun tak pernah terbersit dalam diriku untuk menjadi seorang novelis, setidaknya hingga umurku 29 tahun.” Kalimat bukan kelakar dan kebohongan. Pada masa bocah, ia sudah keranjingan membaca novel. Masa lalu itu turut memberi sokongan saat membuat keputusan menulis novel teranggap “terlambat”. Pada masa dewasa, Haruki Murakami memilih berurusan dengan musik dan kafe, belum menekuni sastra. Bekerja dan menikmati musik menjadi kenikmatan, sebelum berubah gara-gara menulis novel. Konon, ia tiba-tiba memiliki kemauan menulis novel tanpa keharusan menjadi raksasa kesusastraan gara-gara ia mengagumi novel-novel gubahan Dostoyevsky dan Balzac.

Bermusik memberi asupan dalam keberanian menulis. Haruki Murakami berpatokan kata-kata seorang pianis jaz: “Tak ada not baru, not-not itu sudah ada di sana, di kibor piano. Tapi kalau kau memainkannya dengan terarah, nada-nada itu akan terdengar berbeda.” Deretan kata memicu pengertian: “Tentu tak ada kata-kata baru. Tugas kita sebagai penulis adalah menyuntikkan makna dan nuansa baru atas kata-kata yang telanjur dianggap terlalu biasa.” Jadilah ia menulis novel! Haruki Murakami mengolah kata-kata menjadi novel-novel.

Tahun-tahun berlalu, novel-novel itu mendapat penghargaan dan diterjemahkan ke puluhan bahasa. Haruki Murakami perlahan menjadi raksasa kesusastraan dunia. Ia memberi pidato-pidato penting dan meladeni wawancara dari sekian media menguak diri sebagai pengarang berpengaruh. Pada suatu hari, ia mengatakan bahwa novelis adalah “pembohong profesional”.

Baca juga:  Kaidah-Kaidah Fikih dalam Kelakar Hamzah Sahal

Pilihan diksi itu gampang memicu polemik. Haruki Murakami mengerti reaksi publik. Ia pun menerangkan: “Dalam banyak hal, nyaris mustahil untuk merengkuh wujud sejati kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang muskil digambarkan secara akurat.

Sebab itulah, kami para novelis, mencoba untuk menarik ekornya, memancingnya keluar dari liang persembunyian, memindahkan dan mengubahnya ke jagat fiksional.” Kemauan dan ketabahan membaca novel bukan melulu mengikuti “manja cerita” tapi menguak kebenaran-kebenaran. Orang membaca novel tak sia-sia.

Kita bandingkan dengan pendapat Milan Kundera dalam buku berjudul Art of Novel (2002). Ia mengatakan: “Semua novel pada setiap masa berpusat pada teka-teki diri.” Orang menulis novel meniti teka-teki. Pembaca pun berurusan dengan teka-teki. Cara mengerti dan menjawab bisa keliru untuk sampai pada kebenaran. Novel-novel diperlukan bagi umat manusia dalam abad XX dan XXI untuk mengetahui segala hal, bersinggungan kebenaran dengan segala rangsang dan polemik berkepanjangan. Novel tak melulu imajinasi. Di situ, pembaca dan penulis dalam sejenis dialog sampai hal-hal terencanakan atau “tiba-tiba” menjadi perkara besar.

Haruki Murakami membedakan fiksi abad XIX dan XX saat ia memberi persembahan novel-novel makin moncer pada abad XXI. Ia pun menerangkan: “Tujuan utama cerita yang kami tulis adalah memelihara kekukuhan jembatan spiritual yang dibangun antara masa silam dan masa depan.” Semua persembahan fiksi mendapat tanggung jawab pada setiap zaman. Haruki Murakami berhitung kesanggupan menulis cerita, memiliki pertimbangan kewaktuan. Kini, ia masih pengarang pujaan, belum tentu sekian novel terus terbaca sebagai representasi zaman dan mengesahkan kegemaran para pembaca di dunia.

Baca juga:  Tentang Perasaan dan Hal yang Tabu

Tahun-tahun berlalu, Murakami menjadi novelis melampaui 40-an tahun. Ia bergairah dan tabah. Novel-novel terus ditulis untuk pembaca di pelbagai negara. Pengakuan saat menua: “Setiap sepuluh tahun saya selalu mengalami titik balik. Saat itulah gaya menulis dan model cerita saya berubah. Saya tak pernah bosan menulis. Selalu ada target baru. Bagi saya itu hal yang menyenangkan.” Tenar tak menjadikan ia malas atau santai. Misi persembahan cerita terus ditunaikan dengan segala situasi meski semua belum mengantar ke raihan Nobel Sastra.

Buku bersampul merah itu menjadi petunjuk bagi orang mau membaca novel berjudul Membunuh Commendatore. Di situ, Haruki Murakami mengungkap bahwa judul novel terambil dari opera gubahan Mozart: Don Giovanni. Ia terpukau keganjilan dan kerisauan. Kita membuktikan lagi bila musik itu pemicu atau referensi dalam mengerjakan novel. Haruki Murakami menulis novel dengan pilihan latar novel, setelah ketakjuban tak usai menikmati opera Mozart. Judul mendapat keterangan, belum berlanjut isi dan kemauan cerita. Begitu.

 

Judul           : Seni Menulis Fiksi

Penulis        : Haruki Murakami

Penerjemah : Rozi Kembara

Penerbit      : Circa

Cetak          : Desember 2020

Tebal          : 138 halaman

ISBN           : 978 623 7624 36 3

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top