Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Sarung: Tafsir dan Ruang

Sarung Samarinda dan Kitab Beirut 3

Sekian bulan lagi, Indonesia bakal ramai dengan omongan, busana, bendera, dan foto. Konon, semua demi kemenangan. Kita diajak meramaikan hajatan demokrasi meski biasa dilanda jemu dan kecewa. Tahun itu bakal datang, kita bakal mengetahui kemenangan dan kekalahan. Kita belum ingin terlalu serius memikirkan pemilihan umum mendingan memikirkan nasib sarung dalam lakon kekuasaan di Indonesia, dari masa ke masa.

Kita mulai dari sarung “naik”. Sejak lama, sarung digunakan di bagian bawah. Pada suatu masa sarung itu “naik” akibat guncangan bisnis dan politik. Tokoh menginginkan sarung “naik” bernama Basofi Soedirman. Pada saat Indonesia dilanda krisis hebat (1997-1998), ia memikirkan sarung tak sekadar berada di bawah seperti tradisi leluhur.

Di buku berjudul Menjahit Keberuntungan (2000) dengan editor B Pribadi dan P Cahanar, kita menemukan ikhtiar tak terpuruk saat krisis: “Biasanya, begitu orang menyebut sarung, pasti muncul dalam benak adalah kain bercorak kotak-kotak untuk selimut para peronda, pakaian tidur laki-laki, atau peralatan shalat yang umumnya banyak digunakan di pesantren.” Anggapan perlahan diubah oleh Basofi Soedirman memiliki koleksi puluhan sarung di lemari.

Setumpuk sarung dibawa ke penjahit. Ia meminta dibuatkan baju dan jas (khas Jawa Timur). Basofi Soedirman saat itu pimpinan di Jawa Timur. Keberanian mengenakan jas berbahan sarung mengandung pengaruh politik, selera busana, dan nostalgia masa bocah. Penggunaan beragam jas dari sarung dalam beragam acara pertemuan atau makan malam memicu pujian-pujian. Sarung berhasil “naik”, tak lagi digunakan untuk bagian bawah. Pada saat krisis, para perajin sarung, penjahit, dan pedagang pakaian tetap berharapan mendapat rezeki. Sarung justru membuat mereka “bermufakat” untuk hidup dan mengabarkan identitas.

Baca juga:  Kaifiyyatut Thariqah: Kitab Tarekat Khalidiyyah Karya Syaikh Abu Bakar Tuban (1881)

Kita masih mengingat tokoh berasal dari Jawa Timur tapi berlatar masa berbeda. Tokoh itu bernama KH Wahid Hasjim. Tokoh turut dalam arus politik dan dakwah, sejak masa kolonial sampai kemerdekaan. Ia berasal dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tempat kaum sarungan. Pada saat menjadi dewasa, ia tak selalu mengenakan sarung. KH Wahid Hasjim malah berani mengenakan celana panjang meski mendapat tatapan penuh curiga. Ia pun mengenakan jas.

Pada saat menjadi menteri agama, KH Wahid Hasjim tampil sebagai sosok luwes dalam identitas sebagai santri dan pemimpin di masa revolusi. Sutjiatiningsih (1984) memberi nukilan biografi KH Wahid Hasjim: “Begitu pula bila mengenakan kain sarung, ia padukan warna kemeja dan kain sarungnya sehingga sedap dipandang. Di samping itu, ia tidak pernah merasa rendah diri memakai kain sarung dalam acara-acara kenegaraan. Ketika menjadi menteri, ia sering menghadiri sidang-sidang kabinet dengan mengenakan kain sarung. Hal itu memang sengaja ia lakukan terutama untuk mengangkat harga kain sarung.” Ia mendahului ikhtiar Basofi Soedirman. Di ruang politik, KH Wahid Hasjim menginginkan sarung itu “naik” dalam derajat dan penafsiran berlatar Indonesia setelah kemerdekaan atau masa 1950-an.

Dua tokoh memiliki pesona politik. Mereka tentu berhitung pesan dan dampak saat berurusan dengan sarung. Kesadaran tentang sarung sudah menjadi tradisi di Indonesia berhak mendapat makna-makna baru. Sarung tak sekadar kain. Tata cara menghadirkan sarung turut menentukan tatapan penafsiran sesuai ruang dan waktu. Sarung dalam dua masa (1950-an dan 1990-an) itu berkaitan pula tata demokrasi di Indonesia. Sarung tak berhak menjadi sasaran “ledekan” atau “perendahan”. Ikhtiar itu pernah “surut” saat masa Orde Baru dengan kemunculan tuduhan “kaum sarungan” sebagai “pinggiran” atau “kampungan” dalam berpolitik.

Baca juga:  Kumandang Azan di Negeri India

Perubahan besar justru terjadi setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Orang-orang bersarung berperan besar dalam demokratisasi, keintelektualan, seni, pendidikan, dan sosial-kultural. Babak berbeda tapi memiliki alur sejenis dengan kehendak-kehendak KH Wahid Hasjim dan Basofi Soedirman. Sarung memasuki ruang besar demokrasi: menimbulkan ketakjuban dan pembentukan sejarah. Kita tak mungkin sekadar menjadikan “ralat” atas sejarah.

Di buku Greg Barton berjudul Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003) kita membaca halaman-halaman memuat glosari. Di situ, kita tak menemukan diksi sarung. Di sampul buku, kita melihat Gus Dur tak sedang mengenakan sarung tapi bercelana panjang. Greg Barton mengenal Gus Dur sejak lama saat menggarap disertasi doktor. Ia mengingat penampilan Gus Dur biasa membikin salah tingkah.

Gus Dur menjadi penghuni Istana Merdeka. Presiden dengan pelbagai keunikan, termasuk ketulusan menerima tamu-tamu bersarung masuk ruang kekuasaan. Ia telah mengawali dulu di rumah beralamat di Ciganjur. Gus Dur terbiasa bersama orang-orang bersarung. Di tatapan politik, sarung terbukti “naik” dalam agenda-agenda demokrasi di Indonesia. Tafsir atas sarung terus melambung.

Kini, sarung mungkin masih penting dalam hari-hari menjelang hajatan demokrasi. Kita terbiasa melihat para tokoh politik ingin menang meraih kekuasaan tampil bersarung saat shalat berjamaah, menghadiri pengajian, pertemuan akbar, atau acara-acara istimewa. Pengenaan sarung memang menjelang klise tapi memerlukan tafsir-tafsir baru atas persaingan sengit di arus dakwah, politik, mode, dan sejarah.

Baca juga:  Tanda Tangan Ronggawarsita, Kesombongan tanpa Kontroversi

Dulu, Goenawan Mohamad (1984) menafsirkan dengan agak unik: “Maka, tak heran sarung pun bisa jadi lambang sesuatu yang pribumi tapi menyusut, sesuatu yang ‘rakyat’ tapi terdesak, sesuatu yang cocok dengan lingkungan tapi terancam oleh modernisasi yang menabrak-nabrak.” Kalimat itu belum mendapat susulan saat sarung-sarung memasuki ruang-ruang kekuasaan dan turut di arus mode mutakhir.

Indonesia abad XXI telah dalam kelaziman sarungan. Benda atau kain itu lekas dalam perebutan makna, tak jauh dari kekuasaan. Sekian orang tetap menaruh sarung dalam ruang sosial-kultural dan dakwah meski suara-suara makin lirih. Sarung sering bermunculan dengan perdebatan-perdebatan (sengit) politis, membentuk sejarah berupa pameran dan percik argumentasi untuk diwariskan kepada anak dan cucu. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Sarung saat ini sedang naik daun, namun memang desainnya disesuaikan dengan keinginan pasar. contohnya sarung dari S*batgurun. sarung yang dapat masuk kedalam mode anak muda jaman sekarang.

Komentari

Scroll To Top