Sedang Membaca
Empat Alasan Mengapa Politik Uang (harus di)Haram(kan)
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Empat Alasan Mengapa Politik Uang (harus di)Haram(kan)

Politik Uang

Demi kemaslahatan dan kesehatan demokrasi, baiknya kita tetapkan saja bahwa politik uang adalah haram. Kalaupun sampeyan butuh alasan mengapa politik uang harus diharamkan, mari saya sebutkan empat saja di antaranya

***

Beberapa waktu lalu, beberapa tokoh partai Islam melontarkan wacana bahwa politik uang bisa dihalalkan dalam keadaan tertentu. Kalau sampeyan ingin tahu partai apa yang saya maksud, silakan japri saja. Saya tidak akan sebutkan nama partainya di sini.

Yang penting apa argumen mereka saja. Mereka merujuk kepada pendapat seorang ulama bahwa dalam politik, kadang pilihannya adalah antara kebaikan dan kejahatan. Jika ada kemungkinan bahwa politisi jahat berpeluang menang dalam pemilu, maka politisi Muslim yang baik harus melakukan upaya apapun yang diperlukan untuk merebut kemenangan. Jika mereka harus membayar parpol dan membeli suara rakyat untuk memperoleh kemenangan atas orang jahat, itu halal dilakukan.

Bagi saya, pendapat itu sudah harus ditolak sejak dalam gagasan. Mengapa? Konteks yang membenarkan dihalalkannya politik uang itu sangat mustahil akan terjadi dalam demokrasi elektoral modern. Politisi yang berlaga dalam pemilu tidak mungkin bisa dipilah secara diametral: yang ini malaikat, yang sana iblis. Setiap politisi punya sisi baik sekaligus sisi jahat.

Lagipula dalam politik, mana yang baik dan mana yang jahat itu sangat tergantung pada anggapan dan persepsi setiap orang. Politisi yang berada di kubu seberang sangat mungkin akan kita anggap jahat. Sementara itu, politisi yang sekubu hampir pasti akan kita anggap baik.

Jangan lupa, politik itu sangat dinamis. Persepsi baik-jahat atas seseorang politisi bisa saja berubah seiring dengan pergeseran komposisi aktor politik. Misal dalam pemilu 2019, si A bisa saja jahat dalam pandangan kita, karena dia berada di kubu sana. Tapi dalam pemilu 2024, dia bisa mendadak baik karena sedang diusung oleh kubu kita. Plus: semua ketum partai pasti baik menurut para pengikutnya.

Baca juga:  Dari Benares Menuju Arafah: Merayakan Waisak Bersama Sang Buddha dan Nabi Muhammad SAW

Jadi sekali lagi, hampir mustahil kita berada dalam kondisi objektif harus menentukan antara iblis dan malaikat dalam pemilu. Mari saya tegaskan: baik atau jahat dalam politik itu sangat perseptif; jarang yang objektif.

Karena itu, demi kemaslahatan dan kesehatan demokrasi, baiknya kita tetapkan saja bahwa politik uang adalah haram. Kalaupun sampeyan butuh alasan mengapa politik uang harus diharamkan, mari saya sebutkan empat saja di antaranya.

Pertama, dan ini yang paling penting, politik uang membawa orang murtad dari esensi politik representasi. Lho ini serius. Pemilu adalah bagian dari upaya untuk menghadirkan kepentingan rakyat di ranah pembuatan kebijakan.

Representasi (representation) berasal dari kata present yang diberi awalan re. Arti harfiah representasi adalah menghadirkan kembali. Apa yang dihadirkan kembali? Kepentingan rakyat. Yang tadinya kepentingan rakyat itu hadir dalam benak individual, dengan politik representasi dihadirkan kembali dalam bentuk yang konkret, yakni kebijakan publik.

Salah satu metode kunci dalam politik representasi itu adalah perwakilan. Karena urusan dan kepentingan rakyat sudah sangat kompleks, manusia merancang mekanisme perwakilan. Institusi penting dalam mekanisme perwakilan itu adalah dewan perwakilan rakyat. Institusi lain adalah partai politik. Mekanisme intinya adalah pemilu.

Para anggota lembaga perwakilan haruslah orang yang dipilih rakyat karena rasa percaya bahwa orang-orang itu mengusung kepentingan yang sama dengan yang diwakilinya. Karena itu, proses pemberian suara harus diupayakan agar murni dan bersih, tanpa manipulasi apalagi jual-beli suara. Jika terjadi jual beli suara, yang duduk di lembaga perwakilan adalah yang mampu membeli, bukan yang mampu mewakili rakyat.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (14): Qur'an dan Metafora, Debat Quraish Shihab dan Nurcholis Madjid

Sampeyan pikir ini cuma perbincangan teoritis? Tidak. Coba simak penampilan Pak Mahfud di DPR RI tanggal 29 Maret 2023. Ada anggota dewan yang mengakui bahwa keputusan mereka sangat tergantung pada ketua umum partai. Ketua umum lho, bukan rakyat.

Kedua, politik uang bisa melemahkan ideologi dan programatika. Politik adalah proses manusia mencapai kuasa, berbasis kondisi ideal yang diidamkan, lalu diturunkan pada rancangan program untuk dikerjakan saat berkuasa. Program itu haruslah bertujuan mencapai kondisi ideal yang didamkan itu.

Politik kepemiluan dan kebijakan dapat dikatakan berjalan baik jika rakyat dapat menebak dengan mudah, apa kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan yang dipilihnya. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris atau Australia, rakyat dapat mudah menduga apa sikap pemerintah atas harga BBM, misalnya, berdasarkan partai mana yang sedang dominan. Sikap partai mudah diduga, karena ideologi mereka jelas, lalu rancangan programatika juga jelas.

Bagaimana di Indonesia? Rakyat yang paling terpelajar pun belum tentu bisa menduga, sikap partai A terhadap isu kenaikan BBM akan seperti apa. Sikap partai-partai politik di lembaga perwakilan tidak ditentukan oleh ideologi dan program, melainkan oleh negosiasi harian antar mereka.

Ini bisa terjadi karena partai tanpa ideologi dan program yang jelas pun bisa memperoleh suara di Indonesia. Caranya? Ya politik uang. Mereka bayar pemilih untuk mendapat dukungan suara. Masih mau menghalalkan politik uang?

Ketiga, politik uang adalah pendidikan politik yang buruk pada rakyat. Coba sampeyan lihat hari ini, bagaimana kepercayaan rakyat pada lembaga perwakilan. Buruk. Coba lihat juga, seperti apa perilaku rakyat dalam memilih dan mengawasi kekuasaan. Sangat lemah. Rakyat tidak punya rujukan moral ideal yang memadai. Para politisi yang berada di panggung politik tidak semuanya bisa diteladani. Banyak di antara mereka yang terlalu pragmatis. Ini bukan era di mana para politisi sekaligus adalah pendidik. Padahal kata filsuf seperti Alexis de Tocqueville, essensi kepemimpinan adalah pendidikan, terutama keteladanan.

Baca juga:  Sastra dan Kapitalisme Mutakhir

Kalau para pemimpin sudah ringan hati mepraktikkan jual-beli suara (bahkan memberinya legitimasi keagamaan), bisa sampeyan bayangkan, pendidikan politik macam apa yang ditampilkan. Runyam bos.

Keempat, ini yang paling bahaya di negeri kita, politik uang adalah pangkal korupsi. Sudah, tak perlu kita bahas secara teoritik. Mari lihat faktanya. Tanggal 6 April 2023, Bupati Kepulauan Meranti, Riau, terkena OTT yang dilakukan oleh KPK. Dia ditetapkan sebagai tersangka pemotongan anggaran dan penyuapan. Anggaran daerah dia potong hingga total puluhan milyar. Bahkan kantor pemda pun dia gadaikan senilai seratus milyar. Ajiibbb…

Untuk apa Bupati Kepulauan Meranti mencuri uang sebanyak itu? Dia mau mencalonkan diri sebagai Gubernur Riau. Dia butuh banyak uang untuk membeli restu pencalonan dari parpol. Ini tiket yang super-duper mahal. Dia juga butuh uang besar untuk membeli suara rakyat dalam pemilu.

Ini bisa kita lanjutkan pembahasannya sampai njlimet. Atau bisa juga kita bikin gampang saja: politisi melakukan korupsi bukan terutama karena dia ingin kaya, melainkan karena dia mau melakukan vote buying.

Jadi gimana, masih mau menghalalkan politik uang?

Sampeyan itu lho. Payah.

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top