Sedang Membaca
Musik dalam Islam: Sebuah Tanggapan untuk Uki Eks NOAH
Andi Tri Saputra
Penulis Kolom

Pengajar di Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar. Pernah menimba ilmu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bidang Tafsir Al-Qur'an.

Musik dalam Islam: Sebuah Tanggapan untuk Uki Eks NOAH

Krfku7ffh7yyt3zihjmz

Dunia maya kembali dihebohkan oleh statement mereka yang dianggap telah berhijrah. Uki Noah diberitakan mengeluarkan statement  bahwa musik itu haram dan membuka pintu maksiat. Apa yang telah disampaikan Uki pun sebenarnya bukan hal baru. Setiap kali fenomena hijrah ini terjadi pada seorang musisi pasti pendapat mengenai haramnya musik selalu mencuat ke permukaan.

Bahkan para ulama di masa silam pun sudah membahas hal ini, dan tidak ada kesepakatan yang terjadi di antara ulama mengenai keharaman musik. Fakta bahwa ulama berbeda pendapat dalam menghukumi musik seharusnya diperhatikan oleh Uki sebelum berpendapat, sebab para ulama ini jelas jauh lebih lama dan berpengalaman dalam menggeluti teks keagamaan, yakni Al-Qur’an dan Hadis. Seharusnya Uki tidak ceroboh menyampaikan sebuah hukum yang masih menjadi perdebatan dan seolah menunjukkan tidak ada fatwa lain mengenai hal tersebut.

Harus diakui bahwa adanya fatwa keharaman musik tidak terlepas dari sebuah Ayat Al-Qur’an hadis Nabi, yakni Q.S Luqman:3 yang berbunyi:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Q.S Luqman: 6)

Kemudian hadis Nabi yang diterjemahkan menjadi begini:

Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung dengan binatang ternak mereka, lalu seseorang mendatangi mereka  -yaitu orang fakir- untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.’

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (3): Al-Farabi, Bapak Musik dalam Sejarah Peradaban Islam

Di dalam Q.S Luqman ayat 6 di atas sebenarnya tidak terdapat kalimat yang eksplisit yang menunjukkan keharaman musik. Namun menurut salah seorang Sahabat, yakni Ibnu Abbas dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas dalah bernyanyi. Sedangkan menurut salah seorang penafsir awal, yakni Mujahid, mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah alat tabuh, yakni drum atau tabl.

Kemudian, Abdullah Saeed menyebutkan salah seorang sarjana al-Qur’an kontemporer berpendapat bahwa yang dimaksudkan di sini adalah segala bentuk ucapan yang dilarang, omong kosong, diskusi yang menghantarkan kepada kesesatan, gibah, fitnah, caci-maki, menyanyi dan bermusik dengan alat-alat musik iblis, yang tidak ada manfaatnya bagi spiritual dan duniawi.

Sedangkan mengenai hadis di atas, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan: “Diharamkannya musik dan nyanyian secara mutlak berdasarkan kemutlakan hadis tersebut, dan juga berdasarkan kaidah mencegah jalan yang menghantarkan kepada keharaman (Sadd adz-Dzari’ah”. Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa hadis ini menujukkan bahwa memainkan alat-alat musik itu dilarang. Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa empat mazhab dari mazhab hukum juga berpendapat sama dengannya, bahwa semua alat musik itu dilarang.

Walaupun banyak yang memaknai  لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ (Lahw al-Hadis) dalam Q.S Luqman:6 dengan nyanyian, namun terdapat ulama yang tidak lantas mengharamkannya begitu saja. Seperti Yusuf al-Qaradawiy yang membolehkan nyanyian walaupun dengan syarat, yakni: (1) syair lagu tidak boleh bertentangan dengan syariat; (2) Gaya menyanyikan lagu tidak mengundang maksiat; (3) Nyanyian tidak dibarengi dengan sesuatu yang diharamkan; (4) Tidak berlebihan dalam mendengarkannya. Abdullah Saeed juga mengatakan bahwa ditemukan pula sebuah Hadis yang mengisahkan bahwa Nabi pernah menyuruh agar seorang penyanyi dikirim ke sebuah pesta pernikahan yang diselenggarakan oleh seorang Muslim di Madinah, Hadis itu bila diterjemahkan maka beginilah bunyinya:

Baca juga:  Mengenang Ki Seno, The Master of Bagong

“Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” 

Imam al-Ghazali juga dengan tegas membolehkan musik. Bahkan ia berpendapat bahwa nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri). Boleh jadi lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain. Pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi.

Lebih jauh lagi Al-Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan musik/nyanyian. Walaupun dia mengakui adanya larangan Nabi, ia mengaitkan larangan mendengar musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang menyertainya atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadis Nabi yang melarang nyanyian, antara lain, adalah yang dilakukan wanita di hadapan lelaki di bar (tempat menyuguhkan minuman keras). Ada hadis-hadis Nabi yang sahih menunjukkan kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain bahwa ‘Aisyah RA., pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi dan Nabi tidak menegurnya.

Baca juga:  Pesan Dakwah dalam Lagu-Lagu Nasida Ria

Dari pemaparan di atas setidaknya dapat dilihat bahwa setiap ulama memiliki dasar atau dalil dalam berpendapat tentang musik. Bagi ulama yang membolehkan musik pun tidak lantas menghalalkan maksiat. Mereka tetap mengharamkan alkohol dan zina. Jika Uki mengatakan bahwa musik bisa menjadi pintu masuk maksiat lantas kemudian musik menjadi haram, maka terlihat bahwa Uki sependapat dengan Al-Albani dengan konsep Sadd adz-Dzari’ah-nya.

Namun musik juga bisa menjadi media mengingat Allah lebih khusyuk seperti yang dilakukan para Sufi. Pada akhirnya semua tergantung pribadi yang bermusik dan mendengarkan musik. Jika Uki ingin memilih untuk mengikuti ulama yang mengharamkan Musik, maka itu adalah hak Uki, namun fakta tentang perbedaan pendapat mengenai hal ini harus tetap diperhatikan dan juga disampaikan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top