Khairul Anwar
Penulis Kolom

(Tim Media Ansor Kota Santri, Alumni Pascasarjana UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Abiem Ngesti, Musik dan Kritik Terhadap Perusak Ekologi

Penyanyi Abiem

Masalah ekologi atau penyebab dari timbulnya krisis ekologi pernah disuarakan oleh Abiem Ngesti, penyanyi muda yang pernah berjaya pada era 1990-an. Lewat lagu yang dinyanyikannya berjudul ‘banjir’ Abiem mengkritik manusia-manusia yang gemar merusak lingkungan. 

Saat saya menuliskan kalimat pembuka ini, mungkin banyak di antara kalian bertanya-tanya siapa Abiem Ngesti? Nah, perlu kalian ketahui, Abiem Ngesti merupakan penyanyi cilik kelahiran 30 Oktober 1978 yang karirnya mulai melejit melalui tembang berjudul Pangeran Dangdut yang ia nyanyikan pada 1992.

Lagu Pangeran Dangdut, menurut cerita orang-orang di kolom komentar channel youtube, booming pada waktu itu. Banyak anak yang menyanyikannya saat acara perpisahan sekolah. Bahkan, stasiun TVRI kala itu sering memutar lagu ini di jam-jam tertentu.

Abiem Ngesti, mungkin banyak dari generasi muda sekarang ini tak tahu menahu soal sosok kelahiran Kudus ini. Maklum saja, karir Abiem nggak panjang. Saat popularitasnya tengah naik daun, namanya dibincangkan dimana-dimana, dan disebut-sebut sebagai penyanyi dangdut masa depan Indonesia, Abiem lebih dulu dipanggil sang maha kuasa. Ya, Abiem meninggal dunia di usia 16 tahun akibat kecelakaan pada 19 Agustus 1995.

Kita, generasi yang lahir 90-an ke atas, mungkin tak pernah melihat Abiem Ngesti secara langsung. Andai ia masih hidup, mungkin ia bakal menjadi the next Rhoma Irama, sang raja dangdut Indonesia. Sayangnya, tuhan lebih sayang Abiem. Meski demikian, Abiem Ngesti meninggalkan jejak gemilang melalui lagu-lagunya yang sampai sekarang masih bisa kita dengarkan dan nikmati.

Baca juga:  Ahmet Ertegun Legenda Dunia Rekaman 

Lagu-lagu yang dinyanyikan Abiem Ngesti mengandung banyak arti pada liriknya. Seperti Jarum Narkotika, Astaghfirullah, Jangan Bikin Gaduh, Ini Jaman Uang, hingga Banjir. Ini mirip sekali dengan Nasida Ria. Bedanya, jika Nasida Ria beraliran musik qasidah, Abiem lebih berkarakter dangdut. Lagu-lagunya, baik milik Nasida Ria dan Abiem, sama-sama mengandung petunjuk untuk hidup lebih baik, dan lain sebagainya.

Dalam arti lain, Abiem berdakwah melalui musik yang diiringi gitar, gendang, drum, dan seruling. Salah satu tarikan suara Abiem Ngesti menyoal tentang krisis lingkungan hidup. Kala itu, Abiem menyanyikan lagu berjudul ‘banjir’. Jika ingin mendengarkan kalian bisa memutarnya di saluran Youtube.

Banjir memang telah menjadi masalah pelik di negeri ini. Hampir tiap tahunnya banjir selalu terjadi dimana-mana. Di ibukota negara kita, Jakarta, hampir setiap memasuki musim hujan, banjir selalu tiba, memenuhi rumah-rumah warga, yang imbasnya adalah kerugian secara ekonomi.

Banjir (banjir)

Sana-sini kebanjiran

Banjir (banjir)

Meluap deras mengalir

Bukan hanya hujan penyebabnya

Tapi juga karena ulah manusia

Di atas adalah lirik lagu yang dinyanyikan Abiem Ngesti. Perihal faktor terjadinya banjir, Abiem menyebut dalam lagunya bahwa itu bukan hanya disebabkan oleh hujan atau faktor alam saja, namun juga oleh ulah manusia. Lalu, coba resapi penggalan lirik di bawah ini. Hayati dan pahami.

Baca juga:  Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik

Lihat (lihat)

Bukit gundul tak terawat

Lihat (lihat)

Sampah di sembarang tempat

Semua jadi sebabnya

Di musim hujan banjir datang melanda

Abiem benar. Manusia memang angkuh. Kesadaran untuk merawat alam masihlah minim. Banyak diantara kita mungkin yang bahkan menjadi pelaku pengrusakan alam itu sendiri. Benar tidak? Kita mungkin masih suka buang sampah di aliran sungai, dengan semena-menanya kita menebang banyak pohon di hutan dengan alasan bisnis, atau dengan gampangnya kita membuang bungkus makanan di jalanan. Siapa yang masih suka begini? Banyak.

Padahal Allah menciptakan alam ini untuk diberdayagunakan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena hanya manusia yang mampu mengemban amanah tersebut, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72).

Sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia janganlah melakukan perbuatan yang dapat merusak alam. Ketika alam ini telah rusak, yang akan menanggung kerusakan juga manusia itu sendiri. Misalnya, ketika manusia hobi membuang bungkus makanan di gorong-gorong, maka lama kelamaan bisa berakibat pada tersendatnya aliran air, yang itu bisa memicu banjir ketika hujan, karena drainase tidak berfungsi dengan baik.

Lalu, soal pencemaran sungai, itu akan berakibat pada ekosistem di area sungai menjadi terganggu, banyak ikan yang mati dan penurunan kualitas air. Pencemaran sungai sangatlah mengganggu kenyamanan serta kesehatan, terlebih lagi bagi warga sekitar yang memanfaatkan air sungai tersebut.

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (5): Ikhwan al-Shafa Mengatakan, Musik Itu Barang Curian dari Surga

Menjaga lingkungan itu termasuk bagian dalam menjaga agama. Agama mengajarkan setiap umatnya untuk peduli terhadap lingkungan. Secara implisit, Agama mengajarkan umat beragama untuk mengetahui, dan menyadari arti penting menjaga lingkungan sehari-hari. Bahwa setiap kerusakan alam, lingkungan pada akhirnya akan memberikan dampak buruk jangka panjang kepada diri manusia sendiri. Seperti yang terdapat dalam surat Ar-Rum ayat 41 :

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. al-Rum: 41).

Manusia yang memiliki akal sehat, sadar bahwa dirinya hidup di bumi, seyogianya juga memperhatikan serta merawat alam semesta ini dengan sebaik-baiknya. Kerusakan lingkungan ini tidak hanya berdampak negatif bagi generasi saat ini, tapi juga akan dirasakan generasi yang akan datang. Maka tinggalkan lah jejak yang baik bagi generasi berikutnya.

Kita beragama, kita menjalankan sholat lima waktu, kita hobi berpuasa, kita juga rajin menyantuni fakir miskin, misalnya, tapi makna hidup kita akan terasa kurang atau menjadi biasa-biasa saja jika masih menjadi pelaku pengrusakan lingkungan. Wallahu’alam bissawab. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top