Sedang Membaca
Guru Penggerak demi Siswa Berkompeten dan Berkarakter
Ari Ambarwati
Penulis Kolom

Pengajar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang. S1: Sastra Inggris Universitas Negeri Jember, S2 dan S3: Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Pernah menjadi wartawan olahraga di Tabloid GO. Tim Penyusun Buku panduan praktik baik pendidikan karakter SMK 2018-2019, Direktorat Pembinaan SMK-Kemdikbud. Penulis Buku Nusantara dalam Piringku, penerbit Gramedia Pustaka Utama, Juni 2019. Tim Supervisi Bahasa dan Konten iklan layanan masyarakat kampanye Antistunting Kementerian Kominfo (2017-2018). Saat ini juga bergiat di literasi pangan dan sastra untuk pendidikan toleransi.

Guru Penggerak demi Siswa Berkompeten dan Berkarakter

Img 20150807 105742

Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik mengubah padi menjadi jagung’, atau sebaliknya (Buku Keluarga, 1938, Ki Hadjar Dewantara).

Pendidikan adalah proses menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan menuntun pada perilaku menjunjung tinggi penghormatan terhadap manusia dan alam semesta.

Proses penumbuhan nilai tersebut saat ini dimaknai sebagai #MerdekaBelajar oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Poin penting dari #MerdekaBelajar (dalam konteks pendidikan dasar dan menengah) adalah menempatkan siswa sebagai orientasi utama dalam pembelajaran.

Jika yang dilakukan guru akan menguntungkan dan membawa kebaikan bagi siswa, kerjakan, jika sebaliknya, hentikan. Pendeknya, #MerdekaBelajar adalah upaya menjadikan (kepentingan dan kebutuhan) siswa sebagai pusat sekaligus arah pembelajaran. Maka kemudian Mendikbud Nadiem meminta guru bertransfomasi menjadi sosok penggerak.

Prasyarat Guru Penggerak

Dalam buku Pusara (1940) Ki Hadjar Dewantara (KHD) mengingatkan bahwa tidak perlu menyeragamkan semua hal dalam pendidikan. Ketidaksamaan dalam hal bakat dan latar belakang kehidupan anak harus diperhatikan dan diakomodasi.

Guru harus mampu melayani semua kebutuhan siswa yang unik dan berbeda-beda. Siswa datang dan pergi, tetapi guru tetap di tempatnya untuk mereformulasi pembelajaran dan pola pendidikan yang akan diberikan pada siswa.

Seharusnya reformulasi pembelajaran dan pola pendidikan untuk siswa, mewajibkan guru  terus bergerak mencari model belajar dan menyesuaikannya dengan karakter siswa yang berbeda, tanpa harus ada tagline guru penggerak. Setiap karakter generasi pemelajar (siswa) memberi tantangan, tugas, serta tuntutan peran yang berbeda pada guru.

Baca juga:  Dialog al-Jubai dan Muridnya: Pengikut Muktazilah yang Percaya Ramalan

Tetapi faktanya, tugas-tugas administratif keguruan dan evaluasi pembelajaran seragam sekaligus serentak membelenggu guru untuk lincah bergerak merumuskan kembali perangkat pembelajaran yang digunakan, untuk memfasilitasi siswa belajar. Guru kemudian terjebak melakukan penyeragaman model, strategi, materi, dan penilaian belajar terhadap siswa.

Pernyataan Mendikbud Nadiem pada guru Indonesia agar bertransformasi menjadi guru penggerak, sebenarnya adalah upaya mengembalikan peran guru sesuai ajaran KHD. Guru ibaratnya adalah petani, pemulia tanaman. Kalau tugas petani memastikan jagung, padi, maupun sorgumnya tumbuh dengan baik, maka tugas guru adalah memastikan siswa-siswanya dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya masing-masing.

Guru bergerak mengidentifikasi minat, bakat, kebutuhan, dan preferensi siswa, serta membuat pengelompokan sesuai kesamaan hasil identifikasi siswa. Ia kemudian menyusun perangkat pembelajaran sesuai hasil pengelompokan siswa, menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang bisa langsung dipahami dan dipraktikkan siswa.

RPP dibuat untuk kepentingan siswa, sehingga RPP harus dipastikan dapat dipahami dan bermanfaat untuk meningkatkan performa belajar siswa. Guru bebas memilih, membuat, menggunakan, serta mengembangkan format RPP yang disarankan cukup satu halaman saja.

RPP berisi tiga komponen inti, yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen pembelajaran. Kemdikbud RI berargumen, kegiatan menyusun RPP yang biasanya berisi 10-20 halaman dan menyita waktu yang cukup lama, bisa dialihkan untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran.

Baca juga:  Dedongengan Paku Alaman dan Cerita Putera-putera Bangsa

Transformasi menjadi guru penggerak mensyaratkan guru untuk membekali diri dengan sumber referensi yang memadai. Karakter belajar generasi Z maupun genarasi Alpha harus dikuasai betul. Tiap generasi pemelajar datang dengan tantangan sekaligus problematikanya tersendiri.

Tugas guru mencari tahu formula, yang dapat dilakukan melalui eksperimen dan penelitian tindakan kelas untuk menemukan strategi, model, pembelajaran, menyusun bahan ajar, serta melakukan asesmen yang paling sesuai dengan kebutuhan siswa. Tidak ada lagi alasan disibukkan dengan penyusunan RPP, yang berlembar-lembar maupun drilling soal-soal untuk USBN maupun UN.

Ada lebih banyak waktu bagi guru untuk bergerak dan menggerakkan siswa sekaligus kelasnya menjadi komunitas belajar yang menyenangkan dan unggul sesuai dengan keunikan dan karakter siswa dan sekolah masing-masing.

Merdeka dan Berkarakter

#MerdekaBelajar sebagai prakondisi guru untuk bersalin rupa menjadi guru penggerak, sudah digaungkan. Gaungan kemerdekaan belajar itu,  untuk sementara ditandai dengan empat arahan kebijakan baru.

Pertama, USBN diganti dengan asesmen oleh sekolah sendiri. Kedua, UN pada 2021 diganti menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKMSK). Ketiga,  penyederhanaan RPP. Keempat,  Peraturan Peneriman Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi menjadi lebih luwes untuk mengakomodasi ketimpangan kualitas dan akses di berbagai daerah.

Mendikbud Nadiem menyatakan bahwa redefinisi pendidikan perlu dilakukan, mengingat pola pendidikan hari ini bukan lagi didasarkan pada penguasaan materi sebanyak-banyaknya (aspek pengetahuan dan kognitif) (Kompas, 7 November 2019).

Baca juga:  Mari Sudahi Agitasi Waktu Subuh

Pendidikan kita hari ini lebih bertumpu pada keterampilan lunak yang menjadi bagian dari pendidikan karakter. Keterampilan itu misalnya berempati, berkolaborasi, mahir berkreasi (kreatif), cakap berinovasi, mahir berkomunikasi, percaya diri dalam mengambil keputusan, disiplin dan menghargai waktu, komunikatif dan artikulatif dalam menyampaikan pendapat, dan kemauan untuk terus belajar.

Pendidikan karakter, yang selama ini terintegrasi dalam proses pembelajaran, tetapi tidak diukur sebagai bagian dari proses pembelajaran dalam UN, dimasukkan menjadi komponen yang tidak terpisahkan dari penilaian kompetensi. Memajankan dan melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan yang membiasakan karakter baik tumbuh, sama pentingnya dengan memajankan Bahasa, Matematika, Ilmu Sosial Humaniora, Sains, Seni Budaya, dan matapelajaran lain.

Kompetensi yang tidak ditunjang dengan pembiasaan tumbuhnya karakter baik adalah penafikan tujuan pendidikan, yaitu menciptakan manusia merdeka, seperti yang dicetuskan KHD. Menurut KHD, pendidikan karakter (budi pekerti) merupakan ikhtiar pendidikan yang sebenar-benarnya, sebab pendidikan bukan sekadar meminta guru mengajar dan mentransfer ilmu pengetahuan. Mendidik bukan semata mengajar, tetapi juga melatihkan dan mengondisikan penciptaan ruang untuk bertumbuhnya karakter baik.

Dalam terang pemahaman ini, guru penggerak berperan mengondisikan kemerdekaan belajar siswa di sekolah agar berkompeten, sekaligus menciptakan ruang-ruang perjumpaan bagi siswa untuk aktif menumbuhkan dan membangun karakter baik. Guru adalah penggerak yang memampukan siswanya berkompeten dan berkarakter. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top