Sedang Membaca
Diaspora Santri (7): Dari Ghazali hingga Euler, Bagaimana Sosok Jenius Terlahir dari Guru yang Hebat
Ahmad Ataka
Penulis Kolom

Ahmad Ataka lahir di Banyuwangi 24 Juli 1992. Ia menyelesaikan S3 di bidang Robotika di King’s College London. Bersama satu istri dan satu anak, Ataka tinggal di London hingga Maret 2020 sebelum kembali ke Indonesia. Ia aktif sebagai penulis, peneliti, serta pecinta robot dan fisika. Vidio-vidio tentang robotika dapat di tengok di bit.ly/jagorobotika.

Diaspora Santri (7): Dari Ghazali hingga Euler, Bagaimana Sosok Jenius Terlahir dari Guru yang Hebat

Dalam sejarah, ada tokoh-tokoh yang saking jeniusnya bisa menjadi pakar di lebih dari satu bidang ilmu. Sumbangsih mereka pun bukan sekedar biasa-biasa saja, tapi termasuk revolusioner di bidang-bidang ilmu yang mereka geluti. Sampai-sampai karya si tokoh pun menjadi bacaan wajib bagi yang mempelajari bidang ilmu itu atau bahkan namanya diabadikan menjadi nama teori yang ia kembangkan.

Salah satu contoh dari tokoh-tokoh jenius ini dalam ilmu keislaman adalah Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Salah seorang kawan yang menggeluti islamic study pernah bercerita, mulai dari masa-masa pesantren di Indonesia sampai studi master di Inggris, nama Al-Ghazali selalu muncul. Syaikh Hamza Yusuf pernah mencontohkan: belajar fiqih ketemu Al-Wajiz, belajar ushul fiqih ketemu Al-Mustashfa, belajar aqidah ketemu Iqtishad fil I’tiqad, belajar falsafah ketemu Tahafut al-Falasifah, dan tentu saja belajar tasawuf/tazkiyah ketemu Ihya’. Semua karya Al-Ghazali. Dia lagi, dia lagi!

Dalam bidang ilmu teknik/engineering, fisika, dan applied mathematics, salah satu nama yang termasuk ke golongan “dia lagi, dia lagi” ini adalah Leonhard Euler (baca: oiler), seorang matematikawan asal Swiss. Saya pertama kali mendengar namanya saat SD: rumus matematika yang menghubungkan jumlah sudut, sisi, dan rusuk dari suatu bangun ruang dikenal sebagai Euler Polyhedron Formula. Ketika bergelut di Olimpiade Fisika semasa SMP-SMA, ketemulah dengan salah satu angka ajaib di matematika, “e” atau Euler number. Sampai saat ini, angka ini bisa ditemukan di mana-mana, mulai dari fisika nuklir sampai ke model intervensi pandemi COVID-19.

Baca juga:  Era "Klambrangan", Era Desas-desus

Di era yang sama, saya dikenalkan dengan persamaan Euler-Lagrange yang bisa digunakan untuk memprediksi dinamika pergerakan beragam macam barang, mulai dari roket hingga robot. Di masa-masa kuliah S1, ketemu lagi dengan mbah Euler ini ketika belajar tentang transformasi: orientasi (arah) suatu benda bisa dideskripsikan dengan sudut yang disebut sudut Euler.

Bahkan ketika S3, ketemu lagi dengan karya orang ini: persamaan Euler-Bernoulli yang memodelkan dinamika benda fleksibel. Tak heran kalau salah satu persamaan yang disebut-sebut sebagai “rumus matematika paling cantik” juga buah tangan mbah Euler ini. Rumus ini “cantik” karena berhasil menghubungkan 5 angka ajaib matematika (angka 1, angka 0, angka pi=3,14, bilangan imajiner i=akar dari -1, dan tentu saja bilangan e atau bilangan Euler sendiri) dalam 1 persamaan sederhana.

Al-Ghazali dan Euler baru 2 nama saja. Ada banyak sosok-sosok polymath yang lain yang kontribusinya terlalu luas untuk dikekang sekat-sekat keilmuan. Yang sering kita lupa, tokoh-tokoh jenius ini tidak lahir dari ruang hampa: mereka ditempa dan dididik oleh guru-guru hebat. Al-Ghazali bisa menjadi raksasa keilmuan Islam tak lepas dari asuhan gurunya yang juga intelektual raksasa di eranya, Imam Al-Haramayn Al-Juwayni. Euler di masa mudanya berinteraksi dekat dengan keluarga legendaris Bernoulli yang melahirkan tidak kurang dari 8 matematikawan besar. Ayah sekaligus guru pertama Euler, Paul, adalah murid Jakob Bernoulli. Adik Jakob, Johann Bernoulli, kelak menjadi pembimbing studi doktoral Euler. Anak Johann, Daniel Bernoulli, juga adalah kolega dan kawan baik Euler yang sering bertukar surat mendiskusikan matematika dengan Euler.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Muatan dan Pola Pikir Nahdliyin

Sebagaimana Al-Ghazali dan Euler, kita pun tak lahir di ruang hampa. Siapa pun kita, di mana pun kita berada, berapa pun gaji kita saat ini, semuanya tak lepas dari peran guru-guru kita selama ini. Bukan hanya peran mereka dalam transfer ilmu yang berkontribusi dalam membuat kita “who we are today”, tapi lebih luas lagi: doa, restu, nasehat. Bahkan, sangat mungkin yang membawa kita ke mana kita berada sekarang bukanlah usaha-usaha kita yang tak maksimal ataupun doa-doa kita yang tak khusyu’. Bisa jadi faktor utamanya justru karena Tuhan mendengar permohonan guru-guru kita yang penuh ikhlas memohonkan kesuksesan kita di sepertiga malam.

Hari ini, mari kita ganti berkirim doa untuk guru-guru kita. Semoga Allah melipatgandakan semua kebaikan mereka dan membalas ketulusan mereka dengan ampunan dan rahmat-Nya yang tak bertepi.

Yogyakarta, 22 Oktober 2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top