Sedang Membaca
Karen Armstrong, Beragama Seharusnya Sebuah Kedamaian

Karen Armstrong, Beragama Seharusnya Sebuah Kedamaian

Analisis rasional memang sangat penting bagi matematika, kedokteran atau sains, tetapi tidak bermanfaat untuk memikirkan Tuhan. Selama saya melewatkan waktu saya tenggelam dalam teks-teks suci, hidup dengan sebagian kearifan terbaik dan terbijak yang pernah diraih manusia, terusterusan bergerak dan tersentuh olehnya, saya sesungguhnya memang senantiasa terhubung dengan yang suci. 

Jika pemahaman Anda tentang yang Ilahi membuat Anda lebih ramah, lebih empatik, dan mendorong Anda untuk menunjukkan simpati dalam tindakan nyata, itulah teologi yang baik. Namun, jika pemahaman Anda tentang Tuhan membuat Anda tidak ramah, pemarah, kejam, atau merasa benar sendiri atau jika hal itu malah semakin menggiring Anda untuk membunuh atas nama Tuhan, itu adalah teologi yang buruk.

Karen Armstrong

Sungguh saya dibuat “mabuk” oleh gerojokan kata-kata sarat makna yang disemburkan Karen Armstrong di dalam bukunya, Menerobos Kegelapan. Saya kadang terpaku dan tak dapat beranjak dari apa yang dikata-katakannya. Di lain saat, saya dipaksa untuk bergerak sangat cepat dan kemudian masuk ke dalam diri saya sendiri mencari sesuatu yang hilang. Yang mengejutkan saya, diri saya dengan cepat diubah oleh sebuah rumusaan pendek yang sangat bertenaga yang hanya terdiri atas beberapa kata.

Usai membaca buku Karen Armstrong yang menceritakan pengalamannya bergulat dengan teks-teks suci—terutama ketika dia menciptakan buku berjudul Muhammad dan Sejarah Tuhan—saya tambah yakin bahwa kualitas kata-kata, yang kita pahami dengan kesadaran tinggi, akan menghasilkan sesuatu yang berkualitas pula—khususnya dalam bentuk tulisan atau buku. Bukti ini, secara eksak, telah ditunjukkan oleh seorang ahli linguistik bernama Dr. Stephen D. Krashen dalam karya-bernas yang memuat penelitiannya, The Power of Reading: Insights from the Reasearch.

Saya sadar bahwa ada banyak sahabat kita yang rajin membaca teks-teks suci dan bahkan juga mendengarkan sabda-sabda suci. Namun, mengapa mereka tidak dapat menjadi sebagaimana yang dikatakan oleh Krashen? Mengapa teks-teks suci itu tidak langsung mampu memproses diri-diri mereka menjadi sesosok diri sebagaimana yang dialami oleh Karen? Untuk pertanyaan seperti ini, memang kadang sulit ditemukan jawabannya. Saya biasanya membalik menjadi kalimat tanya lagi yang selesai: Mengapa juga teks-teks suci dapat mendorong seorang Al-Ghazali menciptakan berjilid-jilid buku yang sepertinya buku karyanya itu akan dapat hidup abadi di hati setiap Muslim?

Ketika saya membaca Menerobos Kegelapan, saya ternyata dapat menemukan cara atau metode yang ditempuh Karen sehingga diri Karen dapat menjadi bukti-hidup berkaitan dengan hasil penelitian Krashen. Dan jika saja metode yang ditempuh Karena itu dapat diikuti oleh para penulis yang ingin menghasilkan karya tulis yang berkualitas, sebagaimana karya-karya Karen, tentulah para penulis tersebut dapat menghasilkan sebuah karya yang hampir setara dengan karya Karen. Memang, untuk menjadi sebagaimana Karen, membaca buku-buku yang berkualitas merupakan syarat yang tidak dapat ditawar. Sebagaimana Karen, bagi saya, membaca adalah kegiatan untuk memasukkan hampir seluruh pikiran dan perasaan si penulis yang bukunya kita baca. Setelah itu, lewat sebuah proses yang menakjubkan, saripati pikiran dan perasaan tersebut tertanam dan mengalir di dalam darah kita dalam bentuk kata-kata bermakna.

Baca juga:  Perjumpaan di Pasar dan Hati yang Terbolak-balik

Proses mengalirnya kata-kata bermakna—tentu kata-kata bermakna adalah kata-kata yang berkualitas—ke dalam diri seorang pembaca dilukiskan secara sangat menarik oleh Karen. “saya mulai mengerti bahwa keheningan yang tidak terusik oleh kekesalan dan kecemasan tentang diri sendiri bisa menjadi bagian dari tekstur pikiran Anda, bisa menyelinap ke dalam diri, sejenak demi sejenak, dan perlahan-lahan mengubah diri Anda.” Betapa halus dan mencekamnya rumusan pengalaman Karen ini. Saya benar-benar terkesima membacanya. Tetapi, jangan berhenti di sini. Coba baca lagi apa yang dikatakan Karen:

“Kajian teks-teks untuk Sejarah Tuhan jadi sangat berbeda dari riset-riset yang telah saya lakukan selama tahun-tahun keterlibatan saya di dunia pertelevisian. Ketika itu saya membaca dan mengumpulkan informasi dengan kecepatan sangat tinggi agar tetap selangkah lebih maju dibanding tim produksi. Pada saat itu, saya tetap terjebak di level otak saja, seolah-olah saya sedang membaca buku panduan atau manual instruksi. Bukannya membiarkan imaji dan dogma-dogma itu terserap perlahan, setetes demi setetes ke lubuk pikiran saya yang lebih dalam, ke alam bawah sadar, saya justru mereguknya secara prematur seturut prasangka saya tentang maknanya.”

Bukan kebetulan jika dalam buku The Power of Reading, Krashen juga menyebut-nyebut tentang pengaruh buruk bahasa televisi terhadap bahasa-ungkap seseorang. Tentu, yang ingin saya kutip ini tak ada hubungannya dengan soal pertelevisian yang disebut-sebut oleh Karen. Namun, secara sangat tegas dan jelas, Krashen menunjukkan sebuah hasil penelitian lain yang mengabarkan kepada kita bahwa bahasa televisi telah membawa masyarakat yang gemar menonton televisi, dan tidak menyediakan waktu untuk membaca buku yang berkualitas, menjadi masyarakat yang “miskin” daya ungkap. Masyarakat ini kemudian jatuh ke dalam lembah berpikir dangkal dan tidak mampu untuk membahas isu-isu yang tinggi, seperti soal Tuhan dan semacamnya.

Yang mungkin cukup mengagetkan saya, ketika saya menyelami lebih jauh tentang makna keberagamaan yang dirumuskan Karen, saya seolah-olah dibimbing olehnya untuk mengontekskan agama yang saya peluk dengan situasi masa kini yang melingkungi diri saya. Selama ini saya memang berusaha mencari kaitan keberagamaan saya dengan lingkungan tempat saya tinggal. Misalnya, sewaktu saya menunaikan ibadah haji—yang sebagian hasil peribadatan saya itu kemudian saya cicil untuk saya tampakkan lewat catatan harian saya—saya lebih banyak bertanya “mengapa” dan mencoba menggugat cara-cara saya menjalankan agama saya selama ini, khususnya berkaitan dengan ibadat-ibadat ritual.

Baca juga:  Nilai-nilai Khalifah dalam Konsep Satria Piningit

Secara mengesankan, Karen menunjukkan kepada saya bahwa menjalankan sebuah agama itu berarti menjalankan sebuah kehidupan yang senantiasa berubah. “Alih-alih dituntut untuk menerima sebuah keyakinan yang rumit,” tulis Karen, “kaum Muslim diperintahkan untuk menunaikan beberapa tindakan ritual seperti ziarah haji dan berpuasa Ramadhan, yang bertujuan untuk mengubah diri-diri mereka.” Lantas Karen menunjukkan pula pentingnya seseorang tunduk dan sujud secara fisik di depan Tuhannya. “Disiplin fisik itu dimaksudkan untuk mempengaruhi postur batin mereka.”Lewat pembiasaan tunduk secara fisik itu, arogansi dan semacamnya diharapkan dapat berubah menjadi kerendahhatian dan semacamnya.

“Agama bukanlah soal menerima dua puluh proposisi yang mustahil sebelum sarapan, tetapi soal melakukan hal-hal yang dapat mengubah Anda. Agama adalah estetika moral, sebuah alkimia etika. Kalau Anda berperilaku dalam cara tertentu, Anda akan berubah. Mitos-mitos dan hukum-hukum agama adalah benar bukan karena kesesuaiannya dengan sebagian realitas metafisikal, ilmiah atau historis, tetapi karena sifatnya yang menghidupkan.

“Agama mengajarkan bagaimana laku tabiat manusia, tetapi Anda tidak akan menemukan kebenaran kecuali jika Anda menerapkan mitos dan doktrin ini dalam kehidupan dan mencoba menjalankannya. Mitos tentang pahlawan, misalnya, bukan dimaksudkan untuk memberi kita informasi historis tentang Prometheus atau Achilles—atau tentang Yesus atau Budha. Tujuannya adalah untuk mendorong kita bertindak dalam cara tertentu agar kita pun dapat membangkitkan potensi heroik kita sendiri.”

Betapa inginnya saya mengatakan seperti itu sejak dulu tentang agama yang saya peluk. Betapa asyiknya beragama jika setiap perbincangan agama kemudian ditutup dengan mengevaluasi sudah sejauh mana agama yang kita peluk mengubah diri pemeluknya menjadi orang-orang yang heroik, orang-orang yang mementingkan akhlak yang baik? Betapa hebatnya pengaruh agama jika kemudian para pemeluknya menunjukkan segala hal yang berkaitan dengan moralitas, misalnya?

Sebenarnya yang dikatakan Karen sudah dipahami oleh hampir setiap pemeluk agama. Namun, kenapa di antara para pemeluk agama itu masih saja muncul sebuah perilaku yang berbeda dengan apa yang dipahaminya? Kenapa kadang kekerasan masih suka menonjol-nonjolkan diri? Kenapa kebenaran itu, rasa-rasanya, hanya dimiliki oleh sekelompok orang? “Saya sedang menulis tentang tiga agama Ibrahim tetapi tidak bisa melihat bahwa salah satu di antaranya lebih unggul dibanding yang lain,” tulis Karen. “Saya bahkan sering kali dikagetkan oleh kemiripan luar biasa di antara ketiganya.”

Menerobos Kegelapan merupakan buku yang membicarakan “hal-hal dalam” yang ada di dalam diri manusia secara amat memukau. Saya sungguh kagum atas kemampuan Karen membahasakan “hal-hal dalam” itu dalam bentuk yang mengalir dan menyentuh hati saya. Mungkin saya sudah merasakan, bahkan menemukan, apa yang ingin dirumuskan oleh Karen. Akan sangat sombong jika saya mengatakan di sini bahwa saya mendahului Karen dalam merasakan dan menemukan hal-hal itu. Lewat bahasa Karenlah saya menjadi mampu lebih tajam merasakan, dan kemudian menemukan apa yang ingin saya temukan.

Baca juga:  Mengapa Syekh Nawawi al-Bantani Tak Jadi Pahlawan?

Inilah buku yang layak dijadikan rujukan para penulis yang ingin meningkatkan kualitas hasil tulisannya. Secara apik dan penuh greget, Karen berkisah tentang perjalanannya membuat buku yang banyak mengubah dan mendapat simpati orang, Sejarah Tuhan. Dan perjalanan Karen bukan perjalanan biasa. Karen benar-benar menunjukkan kepada pembacanya tentang sebuah perubahan—perubahan diri. “Diri, pada dasarnya, adalah akar masalah kita,” begitu tulis Karen secara meyakinkan. Dan saya setuju.

Lewat buku ini, Karen ingin mengajak siapa saja untuk membangun dunia dengan rasa kasih sayang yang tinggi. “Jika Anda ingin membuktikan bahwa tradisi Anda sendiri saja yang benar, dan menumpahkan caci maki pada seluruh sudut pandang yang lain, Anda berarti menyelusupkan diri dan egotisme ke dalam kajian Anda dan teks-teks yang Anda pelajari akan menutup diri.” Karena belajar banyak dari para pakar pengkaji agama, seperti Wilfred Cantwell Smit dan Marshal G.S. Hodgson.

Melalui buku terbaru Karen ini, saya juga belajar banyak tentang bagaimana membuat buku yang ajaib. Ternyata, setiap kali Karen ingin membuat buku, dia perlu membuat proposal terlebih dahulu. Jika proposalnya disetujui, dia akan mendapatkan uang muka dan barulah sebuah riset dilakukan. Yang mengejutkan saya, setiap kali dia punya keinginan menulis buku, dia tentu mengawali keinginannya itu dalam kondisi yang “blank”. “Tanpa mengerti benar apa yang saya lakukan, saya telah mengambil langkah pertama di jalan yang akan membawa saya ke arah yang benar-benar tak terduga.” Dan, “pada saat itu, saya sudah memiliki cukup pengalaman untuk mengetahui bahwa hasil akhir selalu berbeda dari proposal awal saya,” tulis Karen.

Menerobos Kegelapan adalah sebuah pesan—ubahlah dunia yang keras dan saling curiga menjadi dunia yang ramah dan saling mengasihi. Singkirkan segera rasa untuk mementingkan diri sendiri—” …  mengedit ego—kini baru saya sadari—merupakan prasyarat penting bagi pengalaman religius,” tulis Karen. Dan pesan itu begitu dalam, kuat, dan menyentak diri saya. Semoga pesan itu menyentak juga ke jantung terdalam diri Anda dan memaksa diri Anda berubah sesuai kemampuan yang ada pada diri Anda.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top