Sedang Membaca
Moderasi Beragama yang Pincang
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Moderasi Beragama yang Pincang

Img 20200629 Wa0012

Di antara warisan Lukman Hakim Saifuddin ketika menjabat menteri agama 2014-2019 yang paling penting adalah pelembagaan pandangan moderasi beragama. Di masa kepemimpinannya istilah “moderat” bahkan dicanangkan menjadi salah satu visi Kementerian Agama (“masyarakat Indonesia taat beragama, moderat, cerdas, dan unggul”).

Harus diakui ini adalah pencapaian yang luar biasa, meski saya tidak tahu bagaimana nasibnya kini di bawah menteri agama yang baru, Fachrul Rozi.

Akan tetapi, setelah saya membaca Moderasi Beragama (2019) terbitan Kementerian Agama yang merupakan buku panduan pandangan tersebut, ada beberapa hal yang menarik didiskusikan lebih lanjut. Dalam buku itu dikatakan bahwa moderasi beragama adalah sebuah pandangan yang mau mengatasi kecenderungan konservatif dan liberal. Dua kecenderungan ini dianggap tidak sesuai dengan tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat Indonesia.

Yang menarik adalah asumsi yang digunakan mengenai masyarakat Indonesia itu sendiri. Di halaman 60-61 buku tersebut mengatakan bahwa pada tahun 1930-an dan 1940-an Indonesia adalah lokus terbaik “masyarakat plural”. Meski tidak ada rujukan yang jelas, saya menduga pernyataan itu mengacu pada teori J. S. Furnivall dalam buku Netherlands India: A Study of Plural Economy (1939). Lebih lanjut Moderasi Beragama menggambarkan bahwa sejak saat itu masyarakat Indonesia yang plural sudah mempunyai harmoni di mana setiap orang saling menghormati dan menghargai kebudayaan yang beraneka ragam.

Baca juga:  Berharap Tuah Singa-Singa Muda

Jika dugaan saya benar, maka cukup pasti para penulis Moderasi Beragama kurang sungguh-sungguh dalam membaca buku J. S. Furnivall tersebut. Seperti telah saya ulas sebelumnya di Alif.ID, Furnivall menyebut Indonesia sebagai masyarakat plural bukan dalam intonasi yang positif. Alih-alih ideal, masyarakat plural adalah sebuah problematik karena di dalamnya masing-masing kelompok sosial hidup bersama pandangan kulturalnya sendiri-sendiri tanpa adanya kehendak bersama di antara mereka. Konsep masyarakat plural hampir sama dengan konsep multikulturalisme dalam tradisi komunitarian yang entah mengapa juga dipromosikan sebagai strategi dalam mencapai moderasi beragama menurut buku itu.

Karena kekurangtepatan dalam memahami konsep masyarakat plural dan multikulturalisme, maka konsep moderasi keagamaan terasa pincang. Ia melulu berbicara persoalan subjektif dalam beragama, tetapi melupakan kondisi objektif yang mengitarinya. Penekanannya hanya pada bagaimana mengatasi konservatisme dan liberalisme dalam pemikiran keagamaan, tetapi tidak bertanya lebih jauh mengapa pembelahan pemikiran tersebut muncul. Dengan kata lain, moderasi keagamaan a la Kementerian Agama terlalu “kulturalis”, sementara aspek-aspek “struktural” dari masyarakat di mana agama hidup dalam laku praktik sosial sehari-hari kurang dianggap sebagai faktor yang penting dalam menciptakan manusia Indonesia yang moderat.

Karena kekurangtepatan konseptual itu pula, pelembagaan moderasi beragam menjadi bersifat administratif semata. Ketika dibawa ke isu kesejahteraan, turunannya adalah program haji dan makanan halal. Memang tidak salah, tetapi orientasinya lebih mengacu pada penataan manajerial daripada struktural. Seolah-olah tidak ada yang salah dengan tatanan ekonomi politik yang mendasarinya.

Baca juga:  Gerakan Masyarakat Sipil: Asa di Tengah Pandemi Covid-19

Tentu saja saya cukup mengerti kesulitan birokratik yang dihadapi. Dalam hukum besi birokrasi, agama menjadi sekadar urusan Kementerian Agama. Kementerian lainnya dianggap tidak mempunya urusan dengan agama.

Kalau demikian halnya, saya cukup khawatir pandangan moderasi keagamaan yang diwariskan oleh Lukman Hakim Saifuddin itu sulit menemukan wujudnya. Pelembagaan terhadapnya hanya akan menjadi jargon program pemerintah yang tidak terkait secara langsung dengan problematik moderasi yang lebih mendasar. Belum lagi kesungguhan politis pemerintahan Jokowi sendiri yang dalam hal ini masih dalam pertanyaan.

Agar tidak menjadi warisan yang hanya berupa jargon, maka perlu kiranya para pemegang kebijakan yang terkait dengan moderasi agama sekarang mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi dasarnya. Pertama-tama harus dipahami bahwa konsepsi masyarakat plural itu adalah sebuah problematik. Harmoni yang dibayangkan hidup dalam masyarakat plural adalah harmoni palsu yang tidak berdasar atas kehendak untuk hidup bersama. Akan tetapi, bagaimana mau hidup bersama jika masyarakat plural itu sendiri tersekat-sekat sedemikian rupa oleh identitas kultural dan kelas sosial yang saling bertolak belakang. Di belakangnya terdapat isu rasial yang sejak era kolonial hingga sekarang belum terpecahkan.

Maka, moderasi beragama akan pincang kalau hanya terfokus pada pemahaman keagamaan yang mau melampaui konservatisme dan liberalisme. Dua isme ini adalah respons intelektual yang tidak terhindarkan ketika kita dihadapkan pada kondisi objektif di mana masyarakat masih tersekat oleh berbagai hambatan struktural untuk menciptakan tatanan hidup bersama yang lebih baik. Jika dipahami seperti ini, baik konservatisme maupun liberalisme tidak perlu dilihat sebagai ancaman, tetapi malah merupakan interlokutor gagasan yang bisa memperkaya pandangan moderasi keagamaan itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top