Sedang Membaca
Bubur Sura Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani

Ketua Perpustakaan Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur

Bubur Sura Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani

Sudah jamak diketahui, di bulan Muharram ini terdapat tradisi unik di kalangan orang Jawa. Khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Untuk menyambut datangnya Bulan Muharram, selain mengisinya dengan puasa awal tahun, puasa hari Tasyu’a hingga Asyura. Orang Jawa mempunyai tradisi bubur sura yang khusus menjadi jamuan di malam Asyura.

Penyajian Bubur Sura dibuat dalam dua bentuk yaitu; pertama, bubur Putih dengan bahan: beras, santan dan garam serta racikan tambahan lainnya. Kedua, bubur Merah dengan bahan: beras, santan dan gula serta racikan tambahan lainnya.

Falsafah masyarakat Jawa memaknai warna Bubur Sura dengan keterangan bahwa, putih melambangkan kesucian, kebaikan yaitu rasa syukur atas nikmat Alloh SWT. Sedangkan warna merah melambangkan sifat pembanding ada kebaikan ada keburukan, ada kesenangan ada kesedihan, ada nikmat ada musibah. Atas kejadian musibah kita harus bersabar dan tawakkal kepada Alloh SWT. Terhadap keburukan kita harus menjauhinya.

Biasannya bubur ini disajikan dengan menggunakan wadah yang terbuat dari daun pisang. Sendoknya pun tak menggunakan sedok biasa, melainkan dengan daun pisang atau yang umum disebut suru.

Tradisi bubur suro ini sudah berumur ribuan tahun, semenjak kedatangan wali songo. Namun, tak ada catatan pasti mengenai awal mula tradisi itu berlaku di masyarakat Jawa. Umumnya masyarakat Jawa melakukan tradisi itu di hari ke sepuluh bulan Muharram dan kemudian dibagikan pada tetangga terdekat. Atau terkadang setiap masing-masing keluarga membawa bubur sura hasil racikannya ke musala kampung. Kemudian sesepuh kampung memimpin untuk membaca doa bersama dilanjutkan pembagian bubur sura dengan cara ditukar, artinya setiap orang mengambil bubur buatan orang lain bukan buatannya sendiri.

Baca juga:  Mitologi Nusa Ina, Perempuan sebagai Juru Damai di Maluku

Namun, siapa sangka tradisi yang identik dengan budaya Jawa itu ternyata mempunyai dasar dari kejadian banjir bandang Nabi Nuh yang juga terjadi di Hari Asyura ini.

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi dalam kitabnya Nihayatuz Zain menjelaskan setelah selamat dari banjir bandang Nabi Nuh As. dan kaumnya kelaparan. Sehingga Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan bekal bahan makanan yang masih tersisa untuk dimasak.

Setelah dikumpulkan ternyata terkumpullah tujuh biji-bijian yang kemudian dimasak menjadi bubur untuk makan bersama sebagai rasa syukur kepada Allah SWT karena telah diselamatkan dari banjir bandang. Dan itulah makanan yang pertama kali dimasak di muka bumi setelah kejadian banjir besar.

Berdasar kisah ini, umat Islam setiap hari ‘Asyura memperingatinya dengan membuat bubur biji-bijian. Selain untuk mengenang kejadian tersebut, juga sebagai bentuk tabarrukan dan tafa’ulan dengan peristiwa agung itu. Agar kita semua dapat meneladani tangguhnya pengikut Nabi Nuh yang tetap setia mengimani Nabi Nuh serta agar senantiasa bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top