Sedang Membaca
Rokat Pamengkang di Madura, Ikhtiar Merawat Islam dan Tradisi
Ahmad Naufal
Penulis Kolom

Penulis Lepas dan Peneliti di Forum Libertarian Indonesia. Pendidikan: SI Instika Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Pekerjaan: Wiraswasta. Tinggal di Guluk-Guluk Sumenep. Facebook: Naufal Madhure

Rokat Pamengkang di Madura, Ikhtiar Merawat Islam dan Tradisi

Madura selalu menarik diperbincangkan, baik hubungannya dengan tradisi ataupun dengan agama. Tradisi dan agama tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Madura. Kurang afdhal kiranya jika membincang Madura tanpa mengaitkannya dengan tradisi dan agama. Keduanya setali mata uang.

Madura yang memiliki kekayaan tradisi dan memegang teguh doktrin-doktrin agamanya (baca: Islam) tidak pernah mengesampingkan keduanya. Agama dan tradisi selalu dapat dikonpromikan tanpa ada konfrontasi antara keduanya. Salah satu contohnya adalah “rokat pamengkang”.

Rokat pamegkang adalah tradisi masyarakat Madura yang dilaksanakan setiap memasuki bulan baru hijriah, masyarakat Madura menyebutnya bulan Sorah (Muharam). Rokat pamengkang merupakan sebuah ritual yang memadukan antara tradisi dan ajaran Islam.

Apa saja yang dilakukan pada saat rokat pamengkang tersebut?

Baik, izinkan saya sedikit memaparkan tentang itu. Saya mulai ya. Setiap orang ataupun keluarga di Madura memiliki tanah pekarangan. Mereka lazim menyebutnya “tana pamengkang” yang diwarisi dari para leluhurnya. Perlu diketahui bahwa tana pamengkang itu adalah tanah yang di atasnya di bangun rumah.

“Tana pamengkang” bagi masyarakat Madura, sebagai warisan para leluhurnya adalah anugerah terbesar yang dilimpahkan Tuhan kepadanya. Maka, tanah tersebut harus dirokat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa dan sebagai bentuk terima kasih kepada para leluhur, tentu dengan ritual yang khas.

Baca juga:  Bagaimana Kolonial Belanda Generasi Awal Melihat Islam Nusantara?

Jadi setiap orang atau keluarga yang memiliki tana pamengkang harus mengadakan rokat pamengkang, karena jika tidak, berarti dia tidak mensyukuri karunia Tuhan dan akan terkena bala atau bencana dan tanah pekarangan yang ditempati tidak akan berkah. Semacam terkena kutukan para leluhur gitu lah. Mengapa?

Karena bagi masyarakat Madura, tanah warisan leluhur itu sakral, sesakral perintah-perintah agama itu sendiri,

Apa saja yang dilakukan di dalam rokat pamengkang tersebut? Mungkin ini yang terlintas di dalam benak kawan-kawan yang belum pernah tahu tradisi tersebut. Sebenarnya sama dengan aktivitas selamatan pada umumnya, yaitu membaca Alquran surah Yasin bersama para tetangga, membacakan dzikir-dzikir khusus rokat pamengkang serta berdoa bersama, tentu juga dengan doa yang khas.

Eits, jangan lupa masih ada syarat (saya menyebutnya ritual) yang harus dipenuhi sebelum acara tersebut digelar, yaitu menyembelih ayam ‘kampung’ tepat di halaman rumah (baca: tana pamengkang) yang dagingnya harus dihidangkan kepada para sanak tetangga yang diundang. Sedangkan darah dan bulu ayam tersebut harus dikubur bersama dalam lubang yang digali di tana pamengkang.

Makna filosofis yang terkandung dalam penyembelihan ayam kampung hingga penguburan darah dan bulu di halaman rumah adalah bentuk penguburan bala, mara bahaya dan pemusnahan segala bentuk kejahatan dari muka bumi, khususnya dari ‘tana pamengkang’. Di dalam Islam, ini masyhur dengan istilah tafa’ulan, yaitu berharap kebaikan dan keberkahan selalu menyertainya dan tana pamengka-ngnya.

Baca juga:  Mematuhi Pamali: Menjaga Kestabilan Alam

Tradisi ‘rokat mengkang’ adalah salah satu bentuk perkawinan dan harmonisasi antara ajaran Islam yang berupa tasyakuran, membaca Alquran dan berdoa memohon keselamatan dengan warisan tradisi ajaran para leluhur yang berupa penyembelihan ayam kampung, penguburan darah dan bulu-bulunya di tana pamengkang (baca: pekarangan rumah), dan hal ini konon adalah tradisi masyarakat Madura pada masa Hindu-Budha.

‘Rokat pamengkang’ sampai hari ini terus dirawat, dilestarikan dan istikamah diajarkan kepada para generasi Madura sebagai ikhtiar merawat Islam dan tradisi. Karena bagaimanapun, Islam tak dapat dipisahkan dari tradisi mengingat kedatangan Islam dan tersebarnya hingga ke seluruh pelosok Madura, tidak lantas menghapus dan meluluh lantakkan kearifan lokal masyarakat setempat.

Islam datang dengan ramah, mengakomodasi kearifan lokal dan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya, sehingga Islam mudah diterima dan hari ini menjadi agama resmi masyarakat Madura.

‘Rokat pamengkang’ menjadi keindahan dan keberkahan tersendiri bagi saya dan masyarakat Madura lainnya. Di samping karena sebagai bentuk menunaikan ajaran Islam dan merawat tradisi, kita juga bisa makan gratis nyaris setiap hari di saat masyarakat yang lain ramai dan teriak-teriak harga kebutuhan pokok naik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top