Sedang Membaca
Kisah-Kisah Wali (10): Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan Presiden Soeharto

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Kisah-Kisah Wali (10): Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan Presiden Soeharto

11

Masih saja ada yang beranggapan bahwa peran Kiai As’ad dalam Munas & Muktamar 1983-1984 itu hanya sekadar sebagai tuan rumah yang hanya menyediakan sarana dan prasarana acara. Tentu ini anggapan yang paling cenderung ahistoris atau jauh dari fakta yang sebenarnya.

Peran Kiai As’ad dalam Munas dan Muktamar paling bersejarah itu sangat sentral dan cukup krusial, lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan logisitik dan akomodasi para muktamirin. Penentuan tempat muktamar di saat rezim militer itu semua dipertimbangkan, mulai dari sisi politis, sosial hingga spiritual. Jadi jangan membayangkan seperti kita memilih tempat istirahat saat jam istirahat kantor.

Jamak diketahui bahwa hasil putusan Munas dan Muktamar yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal sekaligus memberi penegasan tentang hubungan Pancasila dengan Islam yang dirumuskan di Pesantren Sukorejo itu pernah dibicarakan langsung oleh Kiai As’ad dengan Presiden Soeharto pada tahun 1982. 

Pada kesempatan itu, Kiai As’ad bertemu Pak Harto ingin klarifikasi langsung mengenai buku PMP (Pendidikan moral Pancasila) yang kala itu sedang ramai dibicarakan. Kiai As’ad dengan tegas, meminta Pak Harto sudi membenahi materi buku Pancasila itu, terutama yang menyangkut penafsiran atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Dalam buku PMP yang diajarkan di banyak sekolah pada waktu itu disebut bahwa “Agama pada hakekatnya sama baiknya atau semua benar”. Poin inilah yang menjadi titik keberatan banyak orang pada waktu itu, termasuk Kiai As’ad. Maka Kiai As’ad memberi usulan agar kata-kata penafsiran itu diubah menjadi, “Bahwa semua agama hakikatnya sama baiknya menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing”. Memang menyangkut perkara akidah dan prinsip-prinsip dasar dalam Islam, Kiai As’ad selalu bersikap tegas dan tanpa kompromi. 

Poin lain yang dibahas dalam pertemuan itu adalah masalah rencana Pemerintah tentang asas tunggal Pancasila. Dalam hemat pribadi Kiai As’ad, dirinya tak mempersoalkan rencana itu. Hanya saja beliau meminta diberi kesempatan untuk membicarakan dengan para ulama NU. Sehinga sejak saat itu, isu penerimaan Pancasila terus menggelinding di internal Nahdlatul Ulama. 

Baca juga:  Polemik Haji di Indonesia: dari Masa Kolonial hingga Era Pandemi

Pada waktu itu, sempat ada kegelisahan dari banyak kiai NU terhadap berita bahwa Pancasila sebagai agama. Sontak saja, Kiai As’ad kembali menemui Pak Harto. Dalam pertemuan itu, Kiai As’ad mengonfirmasi, “Apakah benar Pancasila akan dijadikan agama, sehingga Islam tidak ada, Kristen tidak ada? “Jika demikian, maka sudah sampai di sini saja, kita berpisah!” ujar Kiai As’ad memberi ultimatum kepada Presiden. 

Pak Harto buru-buru menjawab bahwa tidak demikian yang dimaksud. “Owh, tidak pak kiai, sekali-kali tidak (Pak Harto mengatakan sambil angkat tangan)”. Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila, kiai.”

“Sekarang harus jelas, mana Pancasila dan mana Agama. Pak Harto mau tahu? Pancasila adalah asas bernegara sementara agama adalah asas kehidupan kita bersama,” ujar Kiai As’ad memberi penegasan kepada Pak Harto.  

Pada tahun 1983, Kiai As’ad kembali menemui Presiden Soeharto dalam rangka minta izin pelaksanaan MUNAS NU di pesantrennya. Dalam kesempatan itu, Kiai Asad menanyakan apakah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, benar-benar mengakui Tauhid. Soeharto mengiyakan. Sejak saat itu Kiai As’ad begitu yakin bahwa menerima asas tunggal tidak bertentangan dengan agama. 

Kiai As’ad memang memiliki posisi khusus dalam sanubari Presiden Soeharto, maka tak heran ia bisa bolak-balik menghadap Presiden kedua Indonesia itu untuk membicarakan masa depan bangsa. Kiai As’ad benar-benar menjadi penyambung komunikasi antara umat Islam dengan pemerintah, dalam hal ini Presiden Soeharto.

Dalam cerita Kiai Hariri Abd. Adhim, salah seorang cucu menantu Kiai As’ad, Pak Harto memang begitu menghormati Kiai As’ad. Bahkan saking hormatnya, Pak Harto pernah memiliki rencana untuk besanan dengan pengasuh kedua Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo itu. Namun Kiai As’ad dengan halus menolaknya.  

Chalid Mawardi, mantan Ketua Umum GP. Anshor juga mengakui kedekatan Pak Harto dengan Kiai As’ad. Dalam amatannya, Pak Harto melihat Kiai As’ad sama beratnya dengan guru-gurunya dalam aliran kepercayaan. “Saya kalau berhadapan dengan Kiai gemetar,” ujar Pak Harto dalam sebuah kesempatan. Kesan Mawardi, Pak Harto sangat tulus dan percaya pada kiai, wabil khusus Kiai As’ad. 

Baca juga:  Tidak Ikut Muhammadiyah? Tidak Nahdlatul Ulama?

Langkah pertama setelah Kiai As’ad meyakini bahwa penerimaan asas tunggal tidak bertentangan dengan agama adalah bagaimana membahasakan itu semua kepada para kiai di daerah yang memiliki otonomi berpikir dan menaruh kecurigaan pada Presiden Soeharto. Ini tentu bukan pekerjaan mudah; Kiai As’ad berdiri di tengah dan berusaha bagaimana dua kutub, pemerintah dan para kiai tidak ada gesekan dalam masalah ini. Sebab salah komunikasi sedikit saja, akan ada pihak yang dirugikan. Maka dengan penuh hati-hati dan pertimbangan matang, Kiai As’ad melakukan sosialisasi di hadapan para kiai dan masyarakat luas. 

Dalam posisi ini, posisi Kiai Achmad Shiddiq menjadi sangat penting. Sebab Kiai As’ad meminta beliau memberikan pendasaran normatif-ideologis tentang Pancasila dengan agama. Kiai As’ad juga meminta agar Kiai Achmad mematangkan argumennya dengan berdiskusi dengan para kiai sepuh, seperti Kiai Mahrus Aly, Kiai Ali Maksum, dan Kiai Masykur. 

Sembari menyiapkan banyak tekhnis Munas di pesantrennya, Kiai As’ad terus blusukan ke kiai-kiai di daerah terutama Madura menjelaskan ihwal rencana penerimaan asas tunggal Pancasila dalam Munas yang akan digelar. Tentu berkat kearifan, kharisma, serta komunikasi yang apik, pada akhirnya semua dapat diatasi. Memang harus diakui bahwa jalannya sidang, diskusi dan perumusan masalah berjalannya cukup alot, tegang dan agak panas. 

Namun, semua bisa dicarikan titik temu dan jalan keluar. Forum tertinggi dalam Nahdlatul Ulama itu resmi menerima Pancasila sebagai asas tunggal bahkan forum mengeluarkan deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam yang berisi pertautan mesra antara agama dan Pancasila, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama dan bahkan ia selaras dengan agama. 

Itu semua tak bisa dipisahkan, salah satunya dengan peran Kiai As’ad Syamsul Arifin sebagai ulama sepuh yang disegani. Sebab, konon ketika perdebatan mencapai titik klimaks dan menyebabkan mauquf/deadlcok, Kiai As’ad hadir dan memberi pernyataan, “Sudah, terima saja Pancasila ini, kelak saya yang mempertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. 

Baca juga:  Andalusia Era Islam (5): Abbasiyah, Umayyah II, dan Perang Proksi

Munas akhirnya selesai dan agenda utama penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal berjalan dengan lancar. Satu persatu para muktamarin, para kiai, seluruh pengurus NU, awak media, dan seluruh tamu yang hadir ke arena MUNAS pulang dengan wajah bahagia karena ancaman disintegrasi bangsa yang sudah di depan mata dapat diselesaikan dengan forum ini. 

Namun tidak bermakna urusan sudah selesai, kediaman Kiai As’ad yang sederhana itu, hampir tiap hari kedatangan banyak kiai dan beberapa ulama, yang merasa berat, tidak terima, atau kurang sreg dengan keputusan Kiai As’ad yang menerima keputusan forum. Mereka menaruh kecurigaan bahwa Pancasila benar-benar menggantikan agama. Dengan sabar Kiai As’ad meyakinkan kembali para tamu, Kiai As’ad menjelaskan bahwa pilihannya sudah tepat dan ia siap mempertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. 

Kediaman Kiai As’ad bukan hanya ramai dengan para kiai, masyarakat yang meminta penjelasan tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal akan tetapi kediamannya juga banyak menerima surat-surat kaleng yang berisi cacian, hinaan dan tudingan bahwa Kiai As’ad adalah antek rezim orde baru, Kiai As’ad disogok pemerintah dan tuduhan lainnya. Tapi bagaimana sikap Kiai As’ad? Ia tetap memilih tegar, ia tetap yakin dengan pilihannya. Sebab sedari awal, yang dijadikan pondasi dalam segenap langkah perjuangan adalah keikhlasan dan rida Allah, maka cacian dan pujian tak membuat surut langkahnya. Ia sadar betul bahwa setiap pilihan memiliki resiko dan ia siap dengan resiko itu. 

Kiai As’ad selalu mengatakan bahwa apa yang ia kerjakan dan perjuangkan diniatkan untuk ibadah dan mencari keridoaan Allah. Karena itu, ia tak pernah sibuk dengan respons orang; baik yang memuji atau yang mencaci. Keduanya sama, tak ada bedanya, yaitu sebagai bumbu perjuangan. 

“Keduanya (cacian dan pujian) tak ada pengaruhnya pada diri saya dalam berjuang. Apa yang saya jalankan merupakan pengabdian dan tanggung jawab kepada Allah Swt.” ujar beliau kepada salah satu wartawan. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top