Sedang Membaca
“It’s Beyond Politics”: Ketika Humanisme Barat Dipertanyakan
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

“It’s Beyond Politics”: Ketika Humanisme Barat Dipertanyakan

Img 20210516 Wa0008

Konflik Israel-Palestina melahirkan kritik dari beragam sudut pandang yang terus berkembang. Tidak cukup dipahami dari sudut pandang konflik agama dan politik, kini ramai publik internasional melihatnya sebagai konflik kemanusiaan. Persoalan utamanya adalah tentang siapa yang paling berhak memiliki tanah.

Berbicara negara Israel, perlu sejenak kita merunutnya dari sejak berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945). Blok Barat yang terdiri dari Amerika, Ingris, dan Perancis keluar sebagai pemenang.

Dunia pun “terpaksa” berada di bawah hegemoni dan kontrol Blok Barat ini. Bukan semata di bidang militer melainkan juga di bawah hegemoni ilmu pengetahuan produk mereka. Termasuk absah tidaknya kolonialisasi Israel atas tanah Palestina.

Tiga tahun kemudian, 14 Mei 1948, Israel membacakan teks proklamasi kemerdekaannya di bawah presiden pertamanya David Ben-Guiron.

Hal ini terjadi karena ada mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) satu tahun sebelumnya, 1947, yang menyetujui Pembagian Palestina menjadi dua wilayah: satu negara Yahudi dan satu negara Arab. Lagi-lagi pengatur dunia adalah Blok Barat.

Beberapa hari yang lalu pun, U.S. Department of State memposting sikap Antony J. Blinken (Secretary of State) yang mengatakan: religious freedom is a human right.

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia. Pernyataan Blinken ini tidak terpisahkan dari klaim-klaim Israel bahwa hak mereka atas tanah Palestina berakar dari konsep Eretz Yisrael (Tanah Israel yang Dijanjikan Tuhan).

Artinya, klaim Israel yang berbasis religius adalah bagian dari hak asasi manusia di mata Amerika Serikat.

Pernyataan dan sikap Amerika dalam membela Israel atas nama hak asasi sebenarnya melanggar hak asasi itu sendiri. Noam Comsky mencontohkan, dukungan Amerika kepada Israel bertentangan dengan Konstitusi Amerika itu sendiri, Hukum Leahy.

Baca juga:  Jangan Diam, Lawas Teroris!

Selain itu juga melanggar hukum internasional (Noam Chomsky, Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians, Pluto Press; 3rd edition, 2016).

Sebab, perjanjian utama pasca perang dunia adalah Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekuatan militer dalam urusan internasional. Namun, Amerika terus saja memberikan bantuan militer dan ekonomi pada Israel. Bantuan ini dimanfaatkan untuk menodai nilai-nilai kemanusiaan.

Selain melanggar Piagam PBB, menurut Noam Chomsky, Hukum Leahy juga melarang bantuan militer untuk unit yang sedang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.

Padahal, Angkatan Bersenjata Israel mempertontonkan pelanggaran HAM ini secara terus-menerus, dengan satu alasan yang diulang-ulang, yakni hak atas tanah Palestina sebagaimana dijanjikan Tuhan.

Bagi Noam Chomsky, konflik Israel-Palestina sudah beyond politics, melampaui politik, dan sepenuhnya humanitarian concern, urusan kemanusiaan.

Saya sependapat dengan Chomsky, dengan berpijak pada langkah-langkah yang pernah diambil oleh Gus Dur (Abdurahman Wahid, Mantan Presiden Indonesia), yang hari ini dilanjutkan oleh Gus Yahya Cholil Staquf.

Bangsa Indonesia terus mengupayakan langkah-langkah solutif dengan pendekatan humanisme, di luar perspektif politik.

Gus Dur telah mencoba untuk menjalin hubungan akrab dengan Israel, guna menyuarakan kepentingan Palestina. Tetapi, pihak Israel mematok persyaratan yang cukup berat bagi bangsa Indonesia, yakni dibentuknya Kedutaan Israel di Ibu kota Negara.

Tanpa terpenuhinya syarat tersebut maka apapun suara Indonesia demi kepentingan Palestina akan mudah dipatahkan. Lihat saja, perjuangan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di DK PBB selalu diblokir, di antaranya oleh Amerika yang Pro-Israel.

Baca juga:  Santri Pojokan dan Gagasan yang Menyertainya

Solusi-solusi politis sudah nyaris tertutup. Yang terbuka tinggal langkah-langkah kemanusiaan.

Pertanyaannya, sejauh mana akan efektif? Noam Chomsky telah memaparkan bahwa Amerika tidak peduli melanggar konstitusinya sendiri (Hukum Leahy) juga tidak peduli melanggar Piagam PBB.

Padahal, dua peraturan perundang-undangan ini sama-sama melarang Amerika memberikan bantuan militer kepada siapapun yang digunakan untuk melanggar hak asasi manusia itu sendiri.

Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terus-menerus oleh Israel dengan dukungan Amerika ini, mengingatkan kita pada banyak pelanggaran hak asasi manusia lainnya dalam pentas sejarah.

Seperti Genosida di Armenia, Holocaust ala Nazi di Jerman, Revolusi Kebudayaan di China, Genosida oleh Komunis Khmer Merah di Kamboja, dan pembersihan etnis Rohingya di Myanmar.

Artinya, Israel harus sadar diri bahwa tindakannya terhadap Palestina sepadan dengan tindakan Nazi Jerman terhadap mereka dalam peristiwa Holocaust.

Padahal, Rakyat Palestina tidak pernah sekejam Nazi dan tidak memiliki dosa seperti Nazi terhadap etnis Yahudi. Lantas, mengapa Israel kehilangan hati nurani dan berperilaku sekejam Nazi?

Jika Israel merasa benar dengan tindakannya, karena didasarkan pada klaim kitab suci mereka, tentu Nazi harus dibenarkan atas nama nilai-nilai filosofis Ras Arya pada peristiwa Holocaust.

Kita semua tahu bahwa tindakan Nazi dalam Holocaust tidak dapat dibenarkan, sebagaimana genosida Israel atas Palestina juga tidak dapat dibenarkan.

Namun, bantuan militer dan ekonomi Amerika membuat Israel semakin pongah. Anehnya, Amerika rela dengan tulus hati mengkhianati konstitusinya sendiri maupun Piagam PBB, hanya demi membela Israel.

Baca juga:  Menyelami Konflik Israel-Palestina dalam Konteks Sejarah Islam dan Politik Timur Tengah

Tanpa dukungan Amerika, bangsa Israel sejatinya adalah bangsa yang bermental minder, tidak percaya diri. Kejahatannya atas Palestina adalah dosa dan kesalahannya, yang tak dapat dibenarkan secara manusiawi.

Hari demi hari, citra Amerika dan Israel di mata internasional semakin memburuk. Seandainya mereka tidak memiliki kecanggihan teknologi dalam angkatan bersenjatanya, niscaya sudah ditinggalkan sejak jauh hari.

Sebab, segala prinsip nilai ideal mereka selalu menerapkan standard ganda. Menyuarakan kebebasan agama dan menjunjung tinggi prinsip humanisme, hanya jika menguntungkan. Jika tidak maka dilanggarnya sendiri. Seperti yang terjadi dalam konflik Israel-Palestina.

Akhir kata, konflik Israel-Palestina ini memang tidak bisa direduksi sebatas persoalan politik, melainkan sepenuhnya tentang kemanusiaan. It’s beyond politics.

Jadi, mereduksi penindasan atas bangsa Palestina dengan hanya melihat dari sisi politik saja, adalah laku yang tidak bernurani dan tidak memiliki etika kemanusiaan.

Jadi sikap yang reduksionis ini mirip genosida di Armenia, Holocaust oleh Nazi, Revolusi Kebudayaan di Cina, pembantaian di Kamboja, Rohingya dan kejahatan kemanusiaan di negara mana saja dan atas bangsa lain.

Dan, masalahnya masih saja sama, siapapun yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia sering “kalah” jika tidak ditopang oleh kekuatan militer dan ekonomi.

Sebagaimana yang sering terjadi, piagam PBB sebagai hukum internasional ikut dilecehkan, dilanggar dan diacuhkan. Konstitusi Negara Amerika dikhianati. Hanya demi satu tujuan: membela egoisme Israel.

Di masa depan, jika brutalisme Israel-Amerika tidak berakhir, humanisme jadi omong kosong. Wallahu a’lam bis shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top