Sedang Membaca
Israel, Air, dan Kita
Erik Erfinanto
Penulis Kolom

Bekerja sebagai editor di penerbit Turos Pustaka. Alumni di Al-Azhar Kairo. Kini tinggal di Jakarta.

Israel, Air, dan Kita

Movo Horon, Tepi Barat Israel, Reuter

Saat rombongan Bani Israel menyusuri padang tandus di Afrika Utara, berbondong kabur dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan, mereka merasa dahaga teramat sangat. Beruntung, rombongan ‘bedol negara’ ini dipimpin seorang Nabi. Musa, nama Sang Nabi, mampu membelah batu menjadi 12 mata air yang memancar.

Sekitar seribu tahun sebelumnya, di tanah yang juga tandus, seorang perempuan mondar-mandir berlari. Ia, namanya Siti Hajar, mencari seteguk air untuk mengusir dahaga putranya yang masih batita, kelak dikenal sebagai Nabi Ismail. Kuasa Tuhan kembali dikirim melalui malaikat Jibril. Mata air Zamzam memancar.

Seribu tahun sebelum Ismail, sebuah bahtera mengapung di atas air bah yang juga kiriman Tuhan, untuk menenggelamkan kaum kufur. Termasuk mengazab anak dari Nuh, sang nahkoda bahtera itu. Saat itu, konon, bumi ini nyaris tak berpenghuni. Kecuali mereka yang patuh pada ajaran sang nahkoda.

Kisah manusia dan air selalu menghiasi perjalanan sejarah kehidupan. Tak satu pun peradaban, mampu luput dari air. Mengingkari kuasa air, berarti melawan kuasa Tuhan. Manusia, bisa mengais berkah dari air, namun juga bisa menjadi korban dari dahsyatnya kuasa air. 

Empat abad setelah 12 pancaran mata air di Afrika Utara tadi berlangsung, tak satupun sumur-sumur itu dapat diambil airnya. Namun bangsa Israel pantang berputus asa. Meski berkah air itu telah sirna, mereka mampu mengendalikan air. Tentu, dengan bantuan teknologi.

Hingga beberapa tahun terakhir, TV dan radio di Israel melalui iklan layanan masyarakat, gencar menyerukan peringatan bahwa negara gurun ini bakal kekeringan. Ngirit air merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.

Baca juga:  Memahami Cinta Ibu

Salah satunya, iklan yang dibintangi oleh artis cantik Bar Refaeli bersama aktor Moshe Ivgy. Dalam iklan layanan masyarakat itu betul-betul menekankan bahwa tidak lama lagi kekeringan akan segera tiba, akibat dari kondisi gurun tandus.

“Saya tidak sadar, ternyata iklan layanan masyarakat itu sudah tidak lagi tayang di TV dan radio Israel,” kata Alexander Kushnir, Kepada Otoritas Bagian Air Israel pada sebuah wawancara di The Times of Israel (26/2/2013).

“Bagaimana itu bisa terjadi,” lanjut Kushnir, “Apakah Israel tidak perlu memperhatikan pemakaian air lagi? Bukankah wilayah ini merupakan satu di antara yang terkering di dunia? Bukankah sejak lama kami mengingatkan bahwa masa depan peperangan di Timur Tengah adalah perang memperebutkan air?”

“Ya, secara empati, memang benar kami memang tinggal di gurun yang mana sumber air alami sulit didapat. Dan benar bahwa sejak lama kami telah memperhitungkan betapa krisis air dapat memicu konflik. Tapi, krisis air bagi Israel telah berakhir,” kata Kushnir lagi. “Bukan karena cuaca memihak pada kami. Melainkan, kami tak sudi membiarkan negara ini menderita akibat kekurangan sumber air alami. Kami melakukan sesuatu, dan itu sudah ada sejak era 1950an, saat David Ben-Gurion berkuasa.”

Nyatanya, bukan cuma Israel yang mesti bijak dalam pemakaian air. Jika krisis air bakal mengancam manusia sejagad, lalu apa salahnya bila kita belajar dari Israel, soal air? Caranya? Pertama-tema Israel membangun pengolahan air dalam skala besar. 

Baca juga:  Berebut Rumah Tuhan di Yerusalem: Sebuah Catatan Perjalanan

Disusul pembangunan proyek desalinasi atau menghilangkan kadar garam berlebih dalam air agar bisa dikonsumsi manusia, binatang, dan tanaman. Maka, pada 2013 lalu, Israel berani mengatakan bahwa negara ini berhasil mengalahkan kekeringan dengan cara yang diupayakan sendiri. Bahkan tanpa diuntungkan oleh alam. Dan, Kushnir mengklaim, “Kami tidak bergantung pada takdir.”

Kini Israel mampu memproduksi air bersih, lebih dari yang mereka butuhkan. Bahkan mampu mengekspor 100 juta meter kubik air. Prosentase kiriman air yang diterima Yordania sebanyak 70 juta. Sisanya yang 30 juta, malah dipakai oleh penduduk Palestina.

Bukan bermaksud membanggakan negaranya Benyamin Netanyahu. Tapi nyatanya, proyek pengolahan air di Israel mampu menghasilkan 2 juta meter kubik per hari. Padahal rata-rata curah hujan di Israel hanya 1.2 miliar meter kubik per tahun. Jumlah ini menipis pada tahun-tahun panas yang kering, hingga 900 juta meter kubik. 

Upaya meningkatkan jumlah debit air, Israel menggunakan kemajuan teknologi. Jangan lupa, jumlah mata air di Israel sedikit, sementara kebutuhan pertaniannya semakin besar. Maka, Israel pun meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan cara memutakhirkan teknik irigasi. Dengan begitu, Israel menjadi yang terdepan dalam hal irigasi efisien.

Kini, Israel boleh tepuk dada, karena menempati posisi sebagai negara maju dalam bidang agrikultur. Betapa tidak, dari tanah tandus, negara ini mampu memenuhi 95 persen kebutuhan pangannya. Dari sektor pertaniannya saja, negara ini mampu menyumbang 2.5 persen nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Israel, dan 3.7 persen untuk nilai ekspor.

Baca juga:  Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi (3): Food Estate dan Peran Pesantren dalam Ketahanan Pangan

Rupanya, Israel tak mau jumawa. Mereka justru mengaku tak mau gegabah, dan tetap malah lebih berhati-hari dalam penggunaan air agar tidak merusak alam. Maka jalur yang dipilih adalah mengurangi suplai air yang berasal dari sumber alam seperti sungai dan mata air. 

“Di tempat lain, urusan perairan ini dikelola dengan buruk dengan jumlah pengeboran terlalu banyak. Bahkan terlalu banyak digunakan (over using). Sehingga semua itu akan menyebabkan kerusakan alam yang lebih besar,” tukas Kushnir.

Sebagai contoh, lanjut Kushnir, Suriah menggali sumur di mana-mana dengan merusak bebatuan. Sementara aturan mengenai air sendiri sangat buruk, terlebih pemerintah setempat tidak banyak membuat Undang-undang terkait air. Persoalan ini bahkan sudah berlangsung jauh sebelum konflik.

Israel menghabiskan 2 miliar kubik meter air, per tahun. Angka ini menurun dibanding satu dekade lalu. Apakah rakyatnya disuruh puasa minum? Tentu tidak. Melainkan berkat pemakaian air pada pertanian yang efisien yaitu hanya sebesar 700 juta kubik meter per tahun, serta kesadaran pemakaian air yang semakin tinggi.

“Di wilayah kami, irit air itu sebuah keniscayaan. Kami harus menggunakan air sebijaksana mungkin. Tetapi saat ini saya tidak perlu berteriak untuk memperingati warga,” tutup Kushnir.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top