Sedang Membaca
Makam Syekh Safiuddin, Jejak Sufisme Dinasti Safavid
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Makam Syekh Safiuddin, Jejak Sufisme Dinasti Safavid

Ruangan Dar Huffaz

Anda mungkin familiar dengan dinasti Safavid, salah satu silsilah kerajaan Islam Persia yang meninggalkan banyak bangunan dengan arsitek menawan. Di kota Isfahan, warisan budaya berupa masjid, taman-taman, hingga jembatan menjadi incaran banyak wisatawan mancanegara.

Tapi, tampaknya tidak banyak yang tahu, kusuksesan dinasti yang bercorak Islam moderat ini, sesungguhnya berhutang pada sebuah tarikat sufi kecil bernama Sufiyah yang didirikan oleh Syeikh Safiuddin Ardabili (1252-1334). Lingkaran ini makin menguat sampai 170 tahun kemudian berdirilah sebuah negara yang dibangun oleh salah seorang cucunya, raja Ismail I (1487-1524). Maka, Syeikh Safiuddin, bisa disebut sebagai cikal bakal berdirinya dinasti Safavid.

Di sinilah sekarang saya berdiri, di kompleks makam Syeikh Safiuddin yang berlokasi di provinsi Ardabil, Iran. Dahulu, tempat ini hanya ruangan sederhana tempat mursyid membagi ilmu kepada murid-muridnya serta menjalani ritual bersama. Di salah satu sudut bangunan, masih bisa kita saksikan tempat yang dulu digunakan berkhalwat.

Menariknya, selain untuk beribadah, kompleks ini juga dahulu dikenal sebagai tempat berlindung fakir miskin. Bahkan, di akhir hayatnya, Syeikh sangat menekankan untuk terus membantu mereka. Barangkali, inilah salah satu magnet yang membuat masyarakat setempat sangat menaruh hormat kepada Syeikh sehingga turut berpartisipasi dalam pembangunan makam sang mursyid.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (1): Kairouan-Tunisia, Kota Suci Islam Keempat

Kompleks bangunan megah ini, kini tidak hanya menyita perhatian masyarakat Ardabil dan Iran saja. Dengan masuknya bangunan ini menjadi salah satu situs warisan budaya UNESCO pada tahun 2010, masyarakat dari berbagai negara juga mulai mendatangi tempat bersejarah ini.

Ketika saya berada di lokasi, sempat berpapasan dengan turis-turis dari kawasan Eropa. Mereka juga seperti saya, terlihat antusias melihat setiap detail bangunan. Dari luar, tugu dan kubah bertuliskan lafaz Allah…Allah…tampak sederhana, namun menyimpan magis tersendiri.

Di bagian dalam, kita akan dikejutkan oleh lukisan dinding kubah yang spektakuler. Ruangan ini terbagi dua, salah satu bernama Dar al-Huffaz, yang berusia sekitar 800 tahun. Di ruang inilah, Syeikh Safiuddin dimakamkan bersama kerabatnya, termasuk raja Ismail I (1487-1524), pendiri awal dinasti Safavid. Dinamakan Huffaz, karena pada sebuah periode tertentu, tempat ini digunakan untuk menyimak hafalan Quran para hafiz.

Ruangan lainnya bernama Chinikhane, yaitu ruangan tempat penyimpanan hadiah berupa keramik dan buku-buku berharga. Syeikh Bahai, arsitek muslim Persia, atas undangan Raja Abbas (1571-1669) menambahkan dekorasi ceruk pada dinding. Karya Syeikh Bahai memang selalu memukau, indah namun tetap fungsional.

Fungsi ceruk tersebut untuk menyimpan puluhan keramik hadiah dari kaisar China. Sayangnya, sebagian besar barang berharga tersebut, turut diboyong oleh Rusia ke negaranya saat menginvasi Iran. Kini, hanya tersisa beberapa yang dipamerkan di dalam ruangan museum.

Baca juga:  Rindu Rasulullah dan Baitullah, Lelaki Jambi dan Balitanya Naik Motor ke Arab Saudi

Saat pemandu kami menjelaskan tentang ornamen dinding yang terbuat dari lapisan emas, saya tak bisa menahan pertanyaan, “Bukankan Syeikh Safiuddin sendiri seorang guru sufi, mengapa bangunan ini dibuat begitu megah?”.

Begini jawaban mereka, “Tentu ia tidak menginginkannya. Raja pada masa itu dan masyarakat yang merasa aman dalam perlindungannya, memberikan sumbangsih untuk mempercantik bangunan ini setelah Syeikh wafat”. Anda boleh tidak puas dengan jawaban ini. Tapi kemudian saya kembali berpikir, kalau seandainya bangunan ini dibiarkan begitu saja, mungkin tim UNESCO tidak akan tertarik melakukan pendataan dan nama Syeikh tidak akan dikenal luas.

Satu lagi catatan yang saya temukan setelah berkunjung ke tempat ini. Dulu saya sering bertanya, mengapa pada masa Safavid, corak keragaman terlihat kental dan kebebasan berekspresi dalam karya seni lebih lentur? Hari ini saya menemukan jawabannya.

Barangkali, karena dalam dinasti Safavid, betapapun kecilnya, pengaruh sufistik turut mewarnai perjalanan lahirnya silsilah kerajaan ini. Warna sufisme jugalah yang sedikit banyak memberi spirit moderat dalam dinasti Safavid di tengah berbagai pengerasan teologis pada masanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top