Sedang Membaca
Ketika Masjid Digembok
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Ketika Masjid Digembok

Saat perjalanan ke Banyumas pada 2014, saya bersama istri bingung harus menginap di mana. Suasana hujan, jauh dari penginapan, SPBU, dan tak ada teman yang menjawab telepon kami kala itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 WIB dini hari, dan badan sudah lelah.

Akhirnya, ketika sudah sampai Wonosobo, kami sepakat berhenti di masjid sekaligus berencana Salat Isya. Namun, ternyata masjid digembok. Aduh nasib. Padahal saya ingin salat dan istirahat sejenak karena pukul 07.00 WIB harus sampai Banyumas. Suasana dingin dan berkabut pun harus kami hadapi usai Salat Isya kala itu sampai pagi. Kami terpaksa salat di luar masjid meski dengan kondisi dingin.

Saya juga pernah mengalami pengalaman pahit diusir dari masjid. Tahun 2009, usai silaturahmi dari Depok, saya mampir ke kos teman di daerah Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Saat itu hari Jumat, dan saya ke sana setelah jumatan dari Depok. Saat ingin istirahat di sebuah masjid, masjid dalam kondisi ditutup gerbangnya.

Pintu gerbang bisa kami buka, namun pintu utama digembok. Tak selang lima menit, datang seorang laki-laki dengan nada keras. “Mau salat atau cuma istirahat di sini?” kata dia kala itu. Saya pun menjawab agar meyakinkannya “Ya, Pak, mau salat” .

Ia pun masuk ke ruang takmir. Tak lama, ia pun berkata lagi, “Sudah Salat Zuhur belum? Kalau tidak salat tak usah ke sini, pergi saja,” kata orang itu sambil mengusir kami.

Saya heran, ini hari Jumat, la kok bapak tersebut menyuruh kami Salat Zuhur. Apakah dia tadi tidak jumatan atau bagaimana? Pikir saya kala itu. Mungkin ini nasib saya dan dua rekan yang kurang mujur kala itu. Sehingga kami harus diusir karena tidak Salat Zuhur, padahal kami habis Jumatan di Depok.

Saat menjadi mahasiswa, selama lima tahun lebih saya menjadi takmir masjid dan musala sekaligus penjaganya. Seingat saya, pengurus takmir tak pernah memerintah untuk mengembok pintu utama masjid. Paling-paling, yang digembok hanya pintu gerbang, kotak amal, itu pun tidak kami gembok melainkan hanya ditutup saja.

Baca juga:  Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas

Namun, di era sekarang fenomena menggembok masjid tampaknya menjadi kewajiban. Barangkali marak pencurian kotak amal, padahal kotak amal bisa dimasukkan ke dalam almari utama di dalam masjid.

Ada hal mendasar yang harus dibenahi. Ketika menghalangi orang ingin ibadah di masjid justru mendapatkan dosa. Meski menggembok masjid bertujuan mengamankan kekayaan masjid, hal itu justru melecehkan Tuhan. Kok bisa? Jika masjid itu rumah Allah pasti dijaga langsung oleh Allah. Mengapa harus digembok rapat-rapat?

 

Jangan Menuhankan Masjid

Masjid, secara bahasa berarti tempat sujud. Fungsi utamanya untuk ibadah. Semua tempat yang bisa dijadikan sujud, secara substansial bisa disebut masjid. Namun, untuk kenyamanan dan keyakinan ibadah tentu salat diutamakan ke masjid.

Di era sekarang, yang diprioritaskan kebanyakan hanya fisiknya saja. Banyak orang berlomba-lomba membangun masjid megah di tiap RW dan desa, namun setelah jadi yang berjemaah di sana hanya orang-orang itu saja. Seakan-akan, menghidupkan agama hanya urusan membangun, bukan meramaikan dan memakmurkan.

Masjid dibangun indah, namun tiap malam digembok rapat, baik pintu gerbang maupun pintu utama masjid. Model inilah yang disebut “menuhankan masjid”. Menganggap masjid itu suci, tapi tak boleh digunakan ibadah di luar waktu jamaah salat lima waktu.

Sistem dan peraturan yang dibuat takmir harus dibenahi. Artinya, masjid itu terbuka untuk semua kalangan. Bahkan, sekadar untuk tiduran, istirahat, mengisi baterai ponsel, bahkan pipis juga tak ada masalah di luar waktu jemaah salat lima waktu.

Baca juga:  Bulan Ramadan Tahun 748 M Juga Didera Wabah

Justru, di situlah toleransi Islam terhadap umat dan menunjukkan Islam adalah agama rahmat. Khususnya, masjid-masjid yang berada di tepi jalan raya dan kota-kota. Bagi musafir, orang mudik lebaran atau bepergian tentu sangat membutuhkan masjid. Mereka datang ke masjid kapan saja karena kondisi perjalanan.

Jika masjid digembok, justru membuat mereka tak nyaman ketika salat di emperan masjid. Apalagi, semua pintu di masjid digembok, pasti orang mau salat ke dalam akan susah karena tak bisa masuk.

 

Bolehkah Menggembok?

Boleh atau tidaknya menggembok masjid sebenarnya sesuai kondisi, konteks, dan manajemennya saja. Sebab, fenomena mengunci atau menggembok masjid tak hanya di kota, namun juga di desa. Alasan klasik agar benda-benda di masjid aman menjadi alibi para pengurus takmir. Padahal, jika kita percaya masjid itu rumah Allah, mengapa harus dikunci?

Jika ada pencuri ampli, kotak amal atau rukuh, itu urusan Allah bukan urusan manusia. Justru, jika ada orang ingin salat tapi tidak jadi karena masjid digembok, bukankah itu jauh lebih berdosa? Lebih parah lagi, mereka tak jadi salat karena waktunya habis.

Kita harus ingat firman Allah. “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat” (Q.S Al-Baqarah: 114).

Dalil ini relevan diterapkan di bulan Ramadan. Tentu, ramainya masjid harusnya tiap saat, bukan saat Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha, atau saat pengajian saja.

Membangun masjid tak sekadar fisiknya saja. Namun membuka ruang dan waktu untuk digunakan salat semua orang tiap saat adalah wujud membagun masjid. Sebaliknya, jika takmir menghalangi orang salat di masjid lantaran digembok, itulah wujud merobohkan masjid.

Jika masjid selalu digembok, justru membuat warga sekitar malas ke masjid di luar waktu jemaah salat lima waktu. Sebab, orang salat tak semuanya bisa berjamaah karena faktor kerja, tanggung jawab di luar, atau sedang sakit.

Baca juga:  Mudik dan Dahaga Kasih Sayang

Agar tidak menjadi masalah dan memutus potensi orang salat di masjid, harusnya ada manajemen masjid yang toleran. Pertama, penggembokan itu bisa dilakukan khusus almari yang ada ampli, mikrofon, atau benda berharga lainnya. Kedua, penggembokan kotak amal, meski sebenarnya bisa ditaruh di dalam almari tanpa harus digembok tiap saat demi keamanan.

Ketiga, penggembokan itu tak perlu dilakukan, baik itu pintu utama atau pintu gerbang. Takmir atau merbot cukup menutup pintu gerbang/utama masjid saja jika khawatir ada pencurian kotak amal.

Ini penting diperhatikan, apalagi menjelang Ramadan. Mengapa penting? Di beberapa daerah, tradisi zikir, iktikaf di masjid selalu hidup di saat malam Ramadan. Warga bisa datang ke masjid kapan saja menjelang waktu sahur. Apalagi, nanti menjelang lailatulkadar, pasti banyak warga datang ke masjid berburu berkah malam seribu bulan tersebut.

Bagaimana warga bisa iktikaf, berzikir dan berburu lailatulkadar jika masjidnya digembok? Apalagi, bagi masjid yang selalu dijadikan para remaja untuk tiduran karena mereka akan melakukan tong-tong klek dalam rangka membangungkan warga sahur.

Tradisi iktikaf harusnya tak hanya saat Ramadan, melainkan tiap waktu karena tipe jemaah di sekitar masjid dan musafir yang mampir ke masjid bisa kapan saja.

Yang perlu diperhatikan, benda berharga di masjid hanya berupa ampli, mikrofon, kabel, dan kotak amal. Kotak amal bisa digembok dan semua benda-benda itu bisa ditaruh di almari di dalam masjid. Lalu, apa sebenarnya tujuan menggembok masjid?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top