Sedang Membaca
Inilah Kisah Habib atau Keturunan Nabi di Iran
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Inilah Kisah Habib atau Keturunan Nabi di Iran

Akhir pekan kemarin, tepatnya tanggal 13 Jumadi Tsani, warga Iran sedang memperingati haul Siti Fatimah, putri Rasulullah saw. Dalam tradisi masyarakat Iran, Siti Fatimah memiliki kedudukan penting, terutama dalam menjaga kelangsungan keturunan Nabi sampai saat ini.

“Siti Fatimah adalah Ibu dari para sayid,” begitu sanjungan yang sering saya dengar. Sayid adalah sebutan untuk para habib yang diyakini nasabnya bersambung kepada Nabi Muhammad. Sejak kapan sebenarnya para sayid ini hidup di tengah bangsa Persia?

Jika dilacak secara historis, kedatangan nenek moyang sayid bersamaan dengan masuknya Islam ke tanah Persia, terlebih setelah kedatangan Imam Ali Ar-Ridha atau dikenal dengan Imam Reza, yang datang ke kawasan Khorasan sekitar abad ke 2 Hijriah. Anak cucu Imam Reza ini lalu menikah dengan masyarakat setempat dan menyebar ke berbagai wilayah di Iran. Meskipun tidak persis, barangkali gambarannya seperti penyebaran Islam di era Wali Songo.

Secara umum, keturunan para Imam ini disambut dan dihormati dengan baik oleh masyarakat setempat. Bahkan, setelah meninggal, makam-makam mereka dibangunkan kubah dan dikenang sebagai “Imamzadeh” (anak keturunan Imam). Menurut sebuah sumber, ada sekitar 8167 makam Imamzadeh yang tersebar di seluruh wilayah Iran. Lalu bagaimana kehidupan para sayid atau habib di Iran saat ini?

Sampai sekarang pun, sebagian besar masyarakat Iran masih memberikan penghormatan kepada para sayid. Bentuk penghormatannya dalam berbagai bentuk.

Di kalangan pelajar atau santri di sana, misalnya ada perbedaan warna amamah atau sorban panjang yang dililitkan di kepala. Biasanya dipakai oleh calon ustaz atau ustad yang sudah nyantri lebih dari 10 tahun.

“Amamah hitam hanya dipakai untuk sayid saja, sedangkan yang bukan sayid memakai amamah putih,” begitu penjelasan suami saat saya baru beberapa hari tiba di Iran sekitar 16 tahun lalu.

Tiap musim haji, tepatnya pada tangal 18 Dzulhijah, ada peringatan semacam lebaran para sayid yang lebih dikenal dengan “Eid Ghadir”. Biasanya, mereka mengundang dan menjamu para kerabat dan teman terdekat.

Baca juga:  Saling Peduli Cegah Corona

Sebagai ungkapan kegembiran, mereka juga membagikan hadiah berupa uang kepada anak-anak, terutama anak yatim. Setelah pindah ke Teheran, saya jarang mendapat undangan acara semacam ini. Di Teheran, saya juga mulai menjumpai sisi lain kehidupan para sayid.

Dulu saya mengira, para sayid di Iran ini berada si strata sosial yang mapan. Kenyataannya tidak selalu demikian. Saya pernah bertemu sopir taksi share yang ternyata seorang sayid.

Dulu juga saya mengira, para sayid lebih banyak berprofesi sebagai pendidik atau ulama. Namun faktanya, sayid juga adalah manusia yang punya keinginan dan pilihan dalam hidupnya. Banyak artis papan atas Iran diramaikan oleh nama-nama sayid, misalnya Shahab Hosseini yang baru-baru ini filmnya, “The Salesman” menyabet Academy Award.

Dalam soal pernikahan dengan di luar sayid, ternyata aturan di Iran tidak terlalu ketat. Banyak para sayid yang menikahkan anak perempuannya dengan bukan sayid.

Contoh yang sering dijadikan rujukan, pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khamanei sendiri yang seorang sayid, menikahkan putrinya dengan bukan sayid. Karena selama ini ada semacam anggapan, jika perempuan keturunan habib yang menikah dengan laki-laki bukan habib, maka garis keturunannya akan hilang. Sehingga persoalan menikah kerap menjadi polemik di kalangan habaib atau sayid. Suami juga cerita tentang koleganya yang bukan sayid, tapi istrinya sayidah.

Baca juga:  Jihad itu Mudah, Syahid itu Sulit

Satu hal lagi yang baru saya ketahui. Karena mayoritas penduduk Iran bermazhab Syiah, saya mengira semua sayid di Iran adalah penganut syiah. Ternyata, kesimpulan saya ini tidak benar. Tahun lalu, seorang kawan mengajak kami mengunjungi seorang ulama dan Imam Jumat Ahlu Sunnah kota Kermanshah yang ternyata seorang sayid. Molla Mohammadi, begitu penduduk lokal memanggilnya.

Kami bersama Habib dan Pimpinan Ahlu sunnah

Saya merasa beruntung bisa langsung bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Kata-katanya begitu teduh dan mendamaikan. Berkali-kali ia menekankan tentang pentingnya persatuan umat.

Tradisi sowan kepada para habaib, sebenarnya bukan hal baru buat saya. Waktu kecil beberapa kali saya diajak Abah untuk silaturahim kepada para habib. Meskipun kadang harus menunggu lama, tapi terganti oleh jamuan, nasihat, bahkan doa-doa yang dipanjatkan khusus buat kami.

Habib, dalam memori kecil saya adalah ulama yang selalu memberikan petuah sejuk. Apalagi kalau pulangnya dapet sangu. Senangnya bukan main.

Baca juga:

Abah selalu mengingatkan, mereka adalah dzuriyyat (keturunan) yang tersambung kepada Rasulullah sambil mengulang asbabun nuzul surat al-Kautsar. Bagaimana kaum musyrik mengejek Nabi Muhammad saw yang akan terputus keturunannya karena tidak memiliki anak laki-laki. Kata Abah waktu itu, lewat Siti Fatimahlah, justeru keturunan Nabi tersambung sampai hari ini.

Sayangnya, cerita para sayid ini ternyata tak selalu manis. Pengalaman hidup saya membawa pada kesimpulan, baik di Iran maupun di Indoensia, ada saja cerita para habib yang memanfaatkan trah mereka untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata.

Di, Iran tahun 2009 pernah ada demo yang dimotori seorang sayid berpengaruh dan berujung pada kerusuhan besar. Di Indonesia, kita juga kerap mendengar penghasutan dan penyerangan kepada kelompok lain justru dipimpin oleh seorang yang mengaku keturunan habib.

Baca juga:  Di Balik Pembunuhan Mayor Jenderal Qassim Soleimani

Kalau sudah begini, izinkan saya mengamini pernyataan Haidar Bagir, seorang habib idola saya yang justeru tidak pernah menggunakan nama klan keluarganya, namun selalu bergerak menyebarkan Islam yang rahmatal lil alamin.

Dalam beberapa cuitannya di Twitter, Haidar Bagir menegaskan: “Saya Haidar Bagir (Alhabsyi), Menurut saya, hanya orang penuh cinta, hikmah, dan akhlak mulia yang layak dipanggil ‘habib’. Karena makna habib adalah orang-orang yang dicintai”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top