Sedang Membaca
Ibu Berakreditasi A
Lifa Ainur Rahmah
Penulis Kolom

Lahir di kota Pahlawan, 16 Februari 2000. Anak pertama dari tiga saudara. Punya dua adik, tidak punya kakak. Gadis amatir yang jatuh cinta pada kopi, senja, gerimis, dan hujan, dan sedang mengupayakan bahagia paling awet untuk ayah ibunya

Ibu Berakreditasi A

Pengantar: Mulai 21 Januari 2019 hingga 20 hari ke depan, kami memuat 20 esai terbaik Sayembara Esai Nasional Tingkat SMA/Sederajat 2018. Pemuatan tulisan dimulai dari terbaik pertama, dan tulisan Lifa Ainur Rahmah ini adalah tulisan terbaik ketiga. Editing tidak mengubah konten dan gaya bahasa.

——–

Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya juga ke dapur, kasur, dan sumur’

Pernyataan di atas masih kerap kita dengar, karena terus digulirkan dan diwariskan, bahkan hingga kini di era industri 4.0. Padahal, kita mafhum bahwa dalam episode panjang perjalanan sejarah umat manusia, kita telah menyaksikan monumen-monumen kecerdasan dan pengetahuan jauh lebih lama bertahta daripada monumen-monumen kekuasaan dan kekuatan tangan.

Bukankah syair-syair Homer dari Yunani itu masih mampu bertahan selama dua puluh lima abad, bahkan tanpa kehilangan satu suku kata atau huruf pun,  tatkala istana-istana megah, kuil-kuil keagamaan, kastil-kastil mewah, dan kota-kota besar dalam sejarah telah  hancur dan runtuh?

Dewasa ini, kita bisa menyaksikan bagaimana wajah Indonesia yang dipandang sebagai negara paling damai dan menjadikan musyawarah sebagai cara menyelesaikan masalah terdepan, menjadi ternodai. Banyak di antara kita, warga Indonesia, suka adu mulut dengan saudara senegaranya. Kian hari karakter lemah lembut sekaligus tegas yang dimiliki masyarakat Indonesia itu kian terkikis. Sedikit demi sedikit.

Fenomena radikalisme dan bahkan ekstrimisme atas nama agama yang tampil menguat pada dua dekade terakhir, selain mengejutkan banyak pihak, juga menimbulkan dampat tak terkira. Menguatnya sikap keberagaman yang radikal dan ekstrem pada tingkat tertentu dapat memprovokasi konflik horisontal. Namun, lebih dari itu, gejala politik-keagamaan ini, bukan tidak mungkin merongrong eksistensi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai ideologi negara, seperti saya kutip dalam buku Kaum Muda Muslim Milenial (editor Chaider S Bamualim, Hilman Latief, dan Irfan Abubakar).

Baca juga:  Insecure Dapat Menjadikan Kita Ekstremis?

Pendidikan dalam Keluarga

Keluarga masih diyakini sebagian orang sebagai faktor yang dominan dalam pendidikan anak, termasuk dalam pendidikan agama. Sebagaimana Hadis yang dikutip oleh Syaikh Ibrohim bin Ismail dalam kitab fenomenal yang dikaji oleh (hampir) semua santri pesantren Nusantara,  Ta’lim Muta’lim:

كل مولود يولد على فطرة الاسلام الا ان ابواه يهودانه وينصرانه ويممجسانه

Setiap anak (manusia) dilahirkan atas fithrah Islam. Kecuali, orang tuanya akan menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Senada dengan itu, pepatah mengatakan, ‘Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seorang anak akan menjadi pribadi yang penuh asih, jika demikian perlakuan orang tuanya, dan sebaliknya.

Membahas peran orangtua di dalam keluarga, fokus karakter lebih cenderung tertanam dari sifat ibu. Bagaimana peran ayah? Ia juga berpengaruh, tapi, dalam hitungan persen, ibu memiliki angka tertinggi dalam peranan ini.

Peran Perempuan dan Ibu

Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari dalam kitab Fathul Muin menyebutkan klasifikasi wanita yang pantas dinikahi berdasarkan beberapa Hadis, yakni:
1. Wanita yang baik agamanya
2. Yang baik nasabnya
3. Yang cantik parasnya
4. Yang masih perawan
5. Yang bisa memberikan keturunan
6. Yang cerdas dan yang baik budi pekertinya

Pada paragraf berikutnya, Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari menuliskan, “Terjadinya (klasifikasi) keutamaan pada wanita tersebut (kecuali yang baik agamanya) adalah jika sifat iffah (dapat menjaga harga diri dalam urusan agama) tidak dimiliki oleh selain mereka. Jika sifat iffah dimiliki oleh selain mereka, maka yang lebih utama  adalah menikahi wanita dengan sifat iffah ini”.

Di paragraf lain, Syaikh Zainuddin mengutip hukum dari kitab Syarhul Irsyad yang menyatakan bahwa dari semua klasifikasi di atas, yang paling utama adalah wanita yang mampu memberikan keturunan dan memiliki kecerdasan yang cemerlang. Sebab, menikah bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan biologis. Tapi untuk memperbaiki keturunan, dan membawa peradaban besar pada suatu bangsa.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (4)

Dari  referensi di atas, juga masih banyak lagi referensi lain, kita bisa mengatakan dengan yakin bahwa perempuan dan ibu sangatlah krusial dalam pendidikan anak-anaknya dan lebih luas lagi anak-anak bangsa di masa depan.

Ibu adalah madrasah pertama. Bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik. Kurang lebih begitulah terjemahan syair Arab yang  mengemukakan pentingnya peran seorang ibu bagi generasi berikut.

Ibu adalah gudang ilmu, pusat peradaban, dan wadah yang menghimpun sifat- sifat mulia. Peran yang sangat penting ini menuntut seorang ibu untuk terus berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Sebab, untuk menciptakan generasi yang berkualitas juga membutuhkan ibu yang berkualias. Hal ini mengindikasikan bahwa calon ibu tidak boleh berhenti belajar.

Pepatah tersebut terbukti di banyak kisah hidup ilmuan-ilmuan ternama di dunia. Thomas Alfa Edition, misalnya. Seperti dikutip di banyak media, Thomas dikabarkan pernah dikeluarkan dari sekolah. Alasannya, sekolah Thomas tak cukup mampu menampung otaknya yang levelnya di bawah rata-rata. Thomas pun bertanya pada ibunya, sebodoh apakah ia.  “Thomas terlalu cerdas. Sekolah itu kurang layak untuk anak secerdas Thomas.  Jawaban ibu Thomas itu niscaya telah melecut Thomas menjadi ilmuan ternama.

Dilansir dari Readers Digest, seorang ahli saraf bernama David Perlmutter MD mengatakan, perkembangan otak manusia ketika berusia lima tahun menjadi lebih tajam. Setiap pengalaman yang dialami anak akan membentuk sinaps. Itulah mengapa, otak manusia akan disesuaikan dengan lingkungan.

Baca juga:  Membincang Nama Islami

Thomas menjadi cerdas betulan. Ketika  sudah menjadi ilmuan ternama, dan ibunya meninggal dunia, ia menemukan  surat dari sekolah itu, yang membuat ia menangis karena merindui ibunya. Sampai hari ini, namanya kekal sebagai Bapak Penerang dunia.

Epilog

Indonesia terus berbenah diri. Pada 3 November 2014 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyalurkan bantuan untuk anak Indonesia yang putus sekolah, atau memiliki hambatan dalam pembiayaan sekolah melalui kartu indonesia pintar. Program ini menjanjikan banyak hal untuk masa depan Indonesia. Membentuk nalar cerdas di tiap kepala, juga menghancurkan prinsip bahwa wanita tak perlu sekolah.

Kembali lagi ke peran keluarga, program cemerlang perintah ini tidak akan berjalan baik jika masih ada masyarakat yang berprinsip “wanita tidak butuh sekolah”.  Doktrin itu akan menjadi sejarah. Sebab, Indonesia bukan hanya butuh sekolah, pendidikan tinggi, atau sekolah yang berakreditasi A, melainkan (juga) Ibu Berakreditasi A.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top