Sedang Membaca
Hari Santri dan Presiden Jokowi
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Hari Santri dan Presiden Jokowi

Nikmati Matahari Terbit Jokowi Pakai Sarung Duduk Di Pinggir Pantai

Hari santri tahun ini terasa berbeda. Selain diselenggarakan di tengah pandemi, sehingga mengambil tema “santri sehat Indonesia kuat”, situasi politik yang agak memanas membuat hari santri tahun ini juga terasa agak memanas. Bagaimanapun, kritik PBNU terhadap UU Cipta Kerja membuat hubungan antara NU dan Jokowi memasuki fase baru.

Sebelumnya, sejak ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 22/2015, hari santri berarti hari kemesraan NU dan Jokowi. Meskipun tentu saja secara politis tidak semua orang NU mendukung Jokowi, tetapi pesan yang disampaikan kepada publik menunjukkan kemesraan di antara keduanya. Khususnya lagi sejak KH Ma’ruf Amin dipilih menjadi pendampingnya pada Pilpres 2019, hampir semua orang mengira kemesraan itu akan berlangsung selamanya.

Akan tetapi, tidak lama sejak Pilpres 2019 berakhir, hubungan NU dan Jokowi berubah. Mungkin perkara awalnya adalah politik kekuasaan, tetapi lama-lama terlihat bahwa yang terjadi lebih dari itu. Terutama sejak penolakan NU terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila, terlihat ada masalah serius di antara keduanya dalam memahami dan memposisikan apa itu santri.

Dalam hal ini, mau tidak mau kita kembali ke pemetaan politik aliran. Di Indonesia, hal ini masih dan akan terus relevan. Namun politik aliran yang aktual kembali itu bukan hanya soal kultural, melainkan terkait juga dengan formasi ekonomi politik.

Baca juga:  Genosida di Gaza dan Paradoks Demokrasi Sekuler

Masalahnya, bagi Jokowi, kelihatannya santri hanya dimaknai dalam kerangka kultural. Seolah-olah urusannya santri hanya bidang keagamaan. Kalau ekonomi politik, apalagi kekuasan, bukankah posisi wakil presiden sudah cukup mencukupi? Mungkin begitu pikir Jokowi.

Banyak orang lupa, aspirasi pertama kaum santri adalah ekonomi politik. Setidaknya itulah yang terbaca dari pembentukan Sarekat Dagang Islam dan lalu sarekat Islam pada awal abad ke-20. Bahkan embrio NU sendiri adalah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) yang berdiri pada tahun 1918. Jadi, sebelum akhirnya mengerucut ke dalam organisasi-organisasi keagamaan, pokok perhatian kaum santri adalah bagaimana agar mereka berdaya secara ekonomi di tengah situasi politik kolonial yang meminggirkannya. Termasuk dalam hal ini adalah kompetisi yang keras dengan kelompok lain yang dianggap lebih diuntungkan oleh kebijakan penguasa.

Dalam sejarah, istilah santri memang mengacu tidak hanya pada mereka yang belajar agama, tetapi juga para pedagang pribumi. Kota santri, oleh karena itu, selalu merupakan pusat kegiatan perkonomian yang sangat hidup oleh jejaring kewirausahaan. Selama paruh pertama abad ke-20, komoditas yang diperjualbelkan oleh mereka umumnya adalah batik dan barang kerajinan tangan, selain hasil pertanian. Karena sirkulasi uang dari jejaring inilah pesantren-pesantren bisa ditumbuhkan. Seperti pernah digambarkan oleh Kuntowijoyo (1987), santri selalu beredar di antara masjid dan pasar.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (16): Jam Tangan dan Ibadah

Gambaran mengenai santri kontras dengan priayi dan abangan. Kalau mengikuti penjelasan Geertz (1983), sementara yang pertama lebih aktif di perkotaan, sedangkan yang kedua berbasis pedesaan. Namun perkotaan dan pedesaan di sini bukan sekadar geografi, melainkan juga kultur. Kultur santri yang terhubung dengan dunia perdagangan membuat mereka telihat lebih terbuka, meski secara politik—sebagai akibatnya—mereka sulit berkuasa. Ini berbeda dengan para priayi. Karena secara turun temurun disosialisasikan dalam dunia birokrasi, mereka pandai sekali mengatur lagaknya di depan umum, termasuk ketika menjadi patron bagi kaum abangan. Di panggung politik—sebagai akibatnya—mereka selalu berkuasa.

Dalam perkembangannya, perbedaan orientasi antara santri di satu sisi dan priayi serta abangan di sisi lain melahirkan apa yang oleh leksikon politik Indonesia disebut “nasionalis religius”. Dua kata ini berusaha disatukan dalam satu frase. Keduanya diandaikan sebagai dua pilar masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu pula, hampir semua kandidat yang maju baik dalam pilpres maupun pilkada sejak 2004 selalu berangkat dari pengandaian ini. Meski demikian, anehnya, sementara posisi calon bupati, walikota, gubernur, dan presiden umumnya berlatar belakang priayi dan abangkan, wakil mereka diambil dari kalangan santri. Pemetaan ini sudah menjadi pola umum dalam politik Indonesia saat ini.

Baca juga:  Pemetik Puisi (4): Acep Zamzam Noor dan Puisi Daun Pisang

Kembali ke soal hari santri tahun ini, kenyataan bahwa aspirasi pertama kaum santri adalah ekonomi politik rupanya agak terlupakan oleh Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi mungkin kaget, mengapa NU dan organisasi keagamaan lainnya kok menolak UU Cipta Kerja? Apa hubungannya dengan agama yang menjadi wilayah santri selama ini?

Jokowi lupa bahwa para buruh yang berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja juga adalah kaum santri. Setidaknya, saya cukup yakin, sebagian besar mereka pernah belajar agama kepada para kiai atau ustadz di kampung halaman mereka. Meskipun menteri tenaga kerjanya sekarang adalah santri, bukan berarti buruh bisa menerimanya begitu saja. Belum lagi para petani dan penggarap lahan di beberapa daerah yang dalam beberapa kasus terakhir dilaporkan mengalami persekusi dari aparat keamanan demi melayani kepentingan perusahaan.

Oleh karena itu, hari santri tahun ini akan menjadi momen kritis: apakah santri diperingati hanya sebagai kelompok keagamaan yang mesti diakui eksistensinya dalam panggung sejarah atau lebih dari itu? Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa santri tidak bisa hanya dimaknai secara kultural. Bahkan sejak awal, mereka aktif secara ekonomi dan politik. Maka, jika ada kebijakan yang dianggap meminggirkan, mereka akan melawan sebaik-baiknya sehormat-hormatnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top