Sedang Membaca
Sastra Sufistik dari Seorang Sufi Ahli Farmasi
Aditya Budi S.
Penulis Kolom

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang, Aktif di Lembaga Filantropi Nasional.

Sastra Sufistik dari Seorang Sufi Ahli Farmasi

Fariduddin 200906074122 392

Sastra Islam pada generasi awal banyak dibanjiri oleh karya-karya bernuansa sufistik. Hal tersebut tidaklah mengherankan, karena hampir sebagian penulisnya adalah juga seorang penempuh jalan tasawuf. Hari ini karya-karya tersebut pun masih terus dinikmati, dihayati dan dikaji oleh para sarjana muslim maupun non-muslim di seluruh dunia.

Jalaludin Rumi (1207-1273 M) menjadi salah satu sufi yang karyanya begitu fenomenal. Ajarannya yang berpusat pada jalan cinta, bahkan oleh sebagian kalangan non-muslim di Barat telah dianggap nama sebuah agama/keyakinan baru. Yaitu agama Rumi. Di Amerika Serikat, karya yang berisi puisi-puisi Rumi pernah menjadi yang terlaris pada Tahun 2014. Seorang penyanyi sekelas Beyonce pun menamai anaknya Rumi. Mungkin tak lain terinspirasi oleh Jalaludin Rumi itu sendiri.

Masnawi menjadi salah satu buah karya monumental sang Mawlawi. Di dalamnya kita bukan hanya akan menemukan untaian kata-kata romantik namun juga mencerminkan kematangan dan kearifan perihal kehidupan. Masnawi bagi Rumi laksana cahaya bagi kawan-kawan seperjalanan serta harta terpendam bagi mereka pewaris jalan keruhanian.

Namun siapa sangka, fenomena kemasyhuran Rumi sebelumnya pernah diramalkan oleh seorang penyair sekaligus guru sufi asal Persia. Sang Guru tersebut saat bertemu dengan Rumi kecil beserta ayahandanya mengatakan bahwa kelak Rumi akan menjadi penyair besar sekaligus tokoh spiritual. Dimana syair-syairnya akan berkobar membakar seluruh dunia.

Orang tersebut tak lain kita kenal sebagai Fariduddin ‘Attar, sang pujangga besar dalam tubuh Islam yang karyanya juga tak kalah hebat dari muridnya sendiri (Rumi). Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Ibrahim, beliau lahir 1117 M di Nishapur, yang sekarang masuk kawasan Iran. Satu kota dengan penyair kenamaan Umar Khayyam. Percakapan Burung (Mantiq at-Tayr) menjadi salah satu karya ‘Attar yang beraroma sastra sufistik. Karya tersebut telah diterjemahkan pula ke berbagai bahasa. Ditulis dengan bahasa metafor dengan tamtsil sekelompok burung yang mencari Sang Raja yang diistilahkan ‘Attar dengan nama Simurgh.

‘Attar muda ternyata adalah salah seorang penjual minyak wangi. Membantu ayahnya, kesehariannya sering dihabiskan untuk berjualan di toko tersebut. Namun ia rupanya juga ahli dalam bidang farmasi. Terbukti ia  memiliki banyak toko obat yang juga melayani praktik pengobatan pasien. Mungkin hari ini ‘Attar muda semacam apoteker yang menyediakan racikan obat-obatan. Meski namanya akhirnya lebih dinisbatkan sebagai penjual minyak wangi yaitu “Attar” yang diartikan penyebar wewangian.

Baca juga:  Al-Hallaj, Sang Martir yang Selalu Menginspirasi (1/2)

Awal mula perjalanan hidup seorang sufi terkadang memang penuh keunikan. Sebut saja Abu Hamid Al-Ghazali yang gelisah tak karuan di tengah puncak kematangan karirnya. Masyarakat sekitar sudah begitu takjub dan hormat akan cakrawala keilmuan yang dimiliki Al-Ghazali. Namun di tengah gemerlapnya karir dunia tersebut, Sang Hujatul Islam tersebut mengalami gundah gulanan hingga akhirnya memutuskan “mengakhiri” kemewahan yang ia miliki saat itu. Dan memilih jalan sunyi yang justru semakin mengokohkan dirinya sebagai salah satu raksasa tasawuf dalam sejarah peradaban Islam.

Termasuk Fariduddin Attar, yang juga mengawali karir kesufiannya dengan sebuah peristiwa percakapan sederhana dengan seseorang yang datang ke tokonya. Ketika seorang yang Attar sangka sebagai pelanggan yang hendak membeli minyak wangi itu ternyata menampakan sebuah peristiwa yang memikatnya. Seseorang tersebut, yang tak lain guru sufi, tengah membuka salah satu minyak wangi lantas menghirupnya seraya diiringi tangis sedu.

Attar pun terheran dan hendak mengusirnya. Namun orang tersebut berkata kepada Attar “Baik, saya akan pergi dan itu mudah kulakukan. Lantas bagaimana denganmu, apakah engkau bisa dengan mudah pergi dan meninggalkan tokomu yang besar ini ?

Bisa” jawab Attar lugas.

Kalau begitu, mari kita tunggu bukti ucapanmu” tegas orang tersebut. Seketika orang tersebut merebah dan menghembuskan nafas terakhirnya.

Baca juga:  Belajar Akhlak dari Dua Sufi Agung

Persitiwa tersebut begitu berkesan pada diri Attar. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menempuh jalan sufistik di awali dengan mencari gurun di Nisyapur, yaitu Syeikh Bukhuddin. Selepas itupun ia terus berkelana menjadi salik, penempuh jalan spiritual. Hingga akhirnya Attar menghasilkan salah satu karya satra beraroma sufstik “Mantiq At-Tayr”.

Seperti Mantiq At-Tayr yang menceritkan sekumpulan burung yang hendak mencari pemimpinnya (jalan keruhanian) yang tak lain ternyata adalah cerminan diri mereka sendiri. Dari diri yang hina, yang penuh hasrat dunia menuju diri yang dipenuhi dengan cahaya keilahian. Dimana banyak rombongan burung yang gagal karena beratnya perjalanan menuju Bukit Qaf, letak hakikat kehidupan itu ditemukan. Burung-burung yang gagal dikarenakan banyak yang terjebak dan sulit melepaskan nafsu keduniaannya. Seperti kemewahan, popularitas, kekuasaan, cinta dunia dan semacamnya.

Sebenarnya ada karya Attar yang lebih awal sebelum Mantiq At-Tayr, salah satunya Asrar Namah. Karya tersebut mengungkapkan tentang sebuah perjalanan dan pengalaman manusia dalam jalan mistikal (tasawuf). Hampir menyerupai Masnawi karya Rumi, namun Attar membubuhkan pula kias-kias dan gagasan keruhanian.

Attar ternyata tak hanya mengkisahkan perihal perjalanan sufistik semata. Dalam karyanya yang lain, ia juga menarasikan sebuah kritik sosial bernuansa satire terhadap masyarakat dan penguasa saat itu. Melalui tamtsil Kisah Bahlul, yang sesungguhnya merupakan cendikiawan yang dikarakterkan sebagai seorang pandir dan gila. Dimana salah satunnya dalam kisah tersebut Attar menceritakan suatu Bahlul mencambuk sejumlah makam hingga cambuknya rusak. Seseorang lantas penuh keheranan dan bertanya apa musababnya ia melakukan itu

Baca juga:  Melenyapkan ke-Akuan Diri di Makam Abu Hasan Kharaqani

Kemudian Bahlul menjawab dikarenakan orang-orang di bawah kubur tersebut sepanjang hidupnya hanya membanggakan harta dan duniawi semata. Mereka berkata bahwa harta itu milik mereka bukan milik Tuhan. “Karena itu mereka ku cambuk sedang tugas mereka di dunia hanya makan, tidur, bersetubuh, berbangga-bangga dunia serta berbohong” tegas Bahlul dalam kisah tersebut.

Dalam karya yang lain, Musibah Namah, Attar mengkisahkan seorang sufi yang melakukan perjalanan ruhani. Bertahanus selama 40 hari, mengurangi segala hasrat jiwa lahiriah seperti makan, minum, tidur sekaligus diriingi dengan dzikir dan bertafakur. Yang pada akhirnya orang tersebut menemukan kebenaran hakiki dalam jiwanya sendiri, Karena sesungguhnya perjalan para sufi adalah perjalanan dari diri ke Diri. Perjalanan dari diri badaniyah ke diri ruhaniyah. Perjalanan meraih kesejatian hidup.

Banyak karya Attar yang menginspirasi para sastrawan setelahnya. Bukan hanya dalam kesusastraan Islam semata, namun juga di belahan Eropa. Peter Book misalnya, sutradara asal Inggris tersebut pernah menyadur Mantiq At-Tayr menjadi sebuah naskah drama yang di pentaskan di Eropa dan Asia. Melalui berbagai karya sastranya, Attar banyak menarasikan –  tak jarang dalam bentuk kiasan – perihal hakikat kehidupan serta sebuah proses perjalanan spiritual yang harus di tempuh bagi mereka yang ingin mencari kebenaran yang hakiki. Tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang hamba dalam meraih kedekatan dengan Yang Haq.

Diperkirakan Attar meninggal pada tahun 1230 dan makamnya ditemukan pada tahun 1862. Di batu nisannya tertulis “Di dalam tokonya yang merupakan sarang para malaikat, langit bagaikan botol minyak wangi yang begitu semerbak harumnya aroma sitrun”. Wallau’alam Bishshawab

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top