Sedang Membaca
Seakan-akan Allah Mengatakan: Kenapa Kalian Tidah Berpikir?
Husein Muhammad
Penulis Kolom

Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat

Seakan-akan Allah Mengatakan: Kenapa Kalian Tidah Berpikir?

Islam sesungguhnya terus menerus mendorong umatnya untuk selalu berpikir dan memikirkan yang ada di dalam diri dan di alam semesta ini. Pikiran ini rahmat dan anugerah Tuhan teragung yang diberikan kepada anak cucu Nabi Adam.

Berkali-kali Alquran menyebutkan: “Afala Tatafakkarun” (apakah kamu tidak memikirkan), “Afala Ta’qilun”, (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), “Wa fi Anfusikum, Afala Tubshirun” (di dalam dirimu apakah kamu tidak melihat?). Pada ayat lain Allah menegaskan, “Apakah mereka tidak memikirkan atau merenungkan isi Alquran, atau hati mereka terkunci.”

Redaksi “Apakah tidak”, merupakan bentuk kritisisme Aquran yang sangat tajam. Ia sedang menyindir mereka yang tak mau berpikir, merenung, dan memperhatikan kehidupan. Seakan-akan Allah mengatakan, “Kalian kok tidak berpikir, kenapa? Ayo berpikir atau pikirkanlah”.

Baca juga:

Ayat-ayat di atas kini seperti tak lagi memeroleh perhatian yang sungguh-sungguh dari kebanyakan kaum muslimin. Mereka terkesan mengabaikannya. Aktifitas intelektual mereka berhenti berabad-abad, bahkan ada kecenderungan baru di mana ada sebagian kaum muslimin yang antidialektika intelektual.

Ada stigma mereka terhadap penggunaan logika rasional. Sekelompok kaum muslimin malahan menganggap kreatifitas dan inovasi sebagai kesesatan atau populer disebut “bidah”.

Ada pula kelompok yang anti pendapat lain yang berbeda. Mereka hanya membenarkan pendapat dirinya saja, sedang pendapat orang lain salah. Ada pula kelompok umat Islam yang antiproduk pikiran Barat atau dari “liyan”, seperti “demokrasi”, “human right“, “nation state” (negara bangsa), meski hari-harinya mereka menjalani sekaligus menikmati produk-produk itu.

Baca juga:  Diskursus Khamr dalam Islam (4): Khamr dan Konsep Taaqquli dalam Fikih

Nah, jika kita tidak mau berpikir atau bahkan anti intelektualisme, maka kita harus menerima ketertinggalan dan keterpurukan nasib kita. Kita menjadi konsumen dari produk intelektual dan teknologi orang lain. Ini semua merupakan konsekuensi paling logis yang harus diterima.

Maka jika kita ingin menjadi bangsa yang jaya, tak ada cara bagi kita kecuali kembali kepada kritik al-Qur’an di atas : Ayo berpikir, jangan emosional. Ayo merenungkan, jangan hanya menghafalkan.

8 Februari 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
5
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top