Sedang Membaca
Renungan 10 Hari Terakhir Puasa Kita
Ach Shoheb Sonhaji
Penulis Kolom

Guru ngaji di Pondok Pesantren As-Sonhaji Pamekasan Madura. Sekarang sedang menempuh pendidikan di UGM Yogyakarta.

Renungan 10 Hari Terakhir Puasa Kita

Hizib

Ramadan sudah melewati paruh kedua, bahkan memasuki fase yang amat sakral, 10 hari terakhir bulan puasa. Namun sebelum kita sampai pada yang fitri, ada baiknya kita melihat dan merenungkan kembali apa yang telah kita jalani selama 20 hari.

Refleksi pendek ini mungkin bisa kita ibaratkan dengan evaluasi terhadap ibadah yang kita lakukan, amaliah yang kita kerjakan. Paling serhana kita bisa melihat pada cara bagaimana kita berbuka puasa.

Pada bulan puasa kita disarankan untuk makan minimal 2x sehari (Buka dan Sahur). Saat makan sahur kita dianjurkan untuk makan agar dapat menjalani puasa di siang hari. Baik untuk mengkonsumsi karbohidrat dan lainnya untuk penambah stamina.

Setelah menjalani puasa selama sehari (siang) penuh barulah berbuka pada waktu Adzan Maghrib. Pada waktu berbuka puasa kita dianjurkan utuk mengkonsumsi yang manis dan disunahkan diawali dengan buah kurma dan saat berbuka puasa kita tetap dianjurkan untuk tidak berlebihan.

Namun, terkadang banyak dari kita (saya salah satunya) khilaf dalam berpuasa. Para penjual takjil sering menggoda sembari kita di jalan pulang. Apa yang kita inginkan seperti sudah tersedia, mulai dari es campur, kolak, es kepal milo, indomie, donat, martabak. dan kita sering khilaf membelinya bahkan lebih dari kadar yang seharusnya.

Baca juga:  Syekh Abdul Karim Al-Jili dan Pemuda Yang Bercita-Cita Tinggi

Memaknai Puasa
Jika cara puasa kita seperti itu, benarkah kita berpuasa? Ataukah hanya sekedar pindah jadwal makan?

Melihat Cara berpuasa yang seperti itu, saya merasa permasalahannya terletak pada pemahaman kita terhadap Puasa itu sendiri.

Kita masih memaknai puasa sebagai “menahan tidak makan dan tidak minum dan semua yang membatalkan dari terbit fajar hingga terbenam mata hari”. Ini pemahaman umum yang kita tahu tentang puasa, namun saya ingin menekankan pada kata “menahan” sebagai sebuah kata kunci memahami puasa ini.

Menahan memiliki konsekuensi logis mencegah dengan sekuat tenaga. Saat sesuatu yang ditahan itu telah dibuka dan dilepas akan cenderung diluar kendali. Setelah sehari penuh menahan lapar, setelah berbuka puasa nafsu lapar itu menjadi tak terkendali. Semua yang ingin dimakan dan ditahan saat puasa menjadi dendam yang harus dituntaskan.

Namun akan berbeda jika kita sedikit merubah cara pikir kita dalam memahami puasa tidak dengan arti “menahan”, tapi “mengolah” nafsu. Baik nafu makan, nafsu seksual.

Dengan begitu berpuasa diartikan dengan mengolah nafsu makan, nafsu seksual. Mengoah berarti kita bisa mengontrol dan menggunakannya disaat dan waktu yang tepat. Karena tentu akan tidak enak bila kita berbuka puasa dan makan sahur tapi kita tidak nafsu makan. Bukankah begitu?

Baca juga:  Luqman al-Hakim dan Laku Ilmu Hikmah

Pengertian tersebut sebenarnya adalah yang diinginkan dari puasa itu sendiri. Karena sebenarnya kita harus mengembalikan puasa pada pengertian asalnya.

Puasa sebagai padanan kata untuk menerjemahkan صshaum dalam istilah Melayu-Indonesia memiliki arti lebih dari sekedar menahan perut dan di bawah perut.

Puasa berasal dari bahasa Sansekerta “Upavasa”. Kata upavasa berasal dari kata benda “vas” yang berarti tinggal dengan awalan “Upa” yang memiliki arti bersama/dekat. Sehingga Upavasa itu memiliki arit hidup bersama atau hidup dekat. Tapi dengan siapa? Dekat siapa? Seorang Maha Guru atau Biksu mengatakan bahwa Upavasa adalah hidup dalam kehadiran yang terus menerus dan mendekatkan diri kepada tuhan dengan doa dan amalan baik.

Puasa bagi Imam Ghazali
Bagaimana puasa kita bisa sampai pada pengertian puasa yang sebenarnya? Imam Ghazali menjelaskan puasa dalam tiga tingkatan.

Pertama, puasa awam atau puasa yang dipahami pada umumnya. Puasa umum dilekatkan pada puasa yang hanya mencegah dari yang membatalkan puasa, baik makanan dan seksual. Pada tingkatan ini hanya menyentuh unsur lahiriah saja dan hal diluar jasmaniyah tidak berhubungan dengan puasa.

Kedua, puasa khusus. Puasa khusus tidak hanya mencegah dari yang membatalkan puasa semata. Tapi juga berusaha mencegah pandangan dari maksiat, lidah dari berkata kotor, tangan dan jempol dari share berita bohong dan kaki dari perbuatan dosa.

Baca juga:  Abu Hurairah: Menjomblo karena Fokus Menemani Nabi

Dan ketiga, puasa lebih khusus lagi. Pada tingkatan ini orang yang berpuasa akan merasa berdosa apabila hari-harinya lupa kepada Allah dan terisi dengan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Puasa tingkatan ini biasanya dijalani oleh seorang sufi. Karena pada tingkatan ini seorang sufi akan menganggap bahwa memikirkan sesuatu yang membatalkan puasa itu berdosa. Jarang dan sulit untuk sampai pada tingkatan ini, tapi bukan tidak bisa.

Sudah sampai tingkat manakah puasa kita? Saya tidak mengklaim bahwa saya sudah pada tingkat Khusus apalagi tingkat Khusus al-Khusus. Karena saya masih sering tidak tahan meihat godaan-godaan takjil yang segar. Namun setidaknya kita masih tetap bersama berjalan menuju pada puasa yang sebenarnya. Semoga bermanfaat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top