Sedang Membaca
Puasa (Tak) Lupa Berasap
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Puasa (Tak) Lupa Berasap

Cerutu, Mata Hari, 14 Oktober 1939

Ingat puasa, ingat cerutu. Kita tak perlu membuat tuduhan-tuduhan tergesa dan mengucap seribu dalil atas pemaknaan puasa dengan perbuatan berasap. Kita sedang membuka lembaran surat kabar masa lalu. Lembaran unik dengan berita, iklan, dan pengumuman. Di Mata Hari edisi 14 Oktober 1939, disajikan iklan tak sembarangan. Gambar sekotak cerutu. Bacalah dengan saksama, jangan tercecer satu huruf atau kata:

“Boelan poewasa tidak bisa di liwatken dengen zonder isep sroetoe El Cargo jang soeda terkenal nama en kwalitetnja dari 40 tahoen.” Puasa itu seharian menahan diri. Orang meniatkan diri tak makan dan minum. Sejak subuh, melakoni sekian peristiwa sampai ke magrib. Nah, orang boleh makan dan minum. Iklan itu menginginkan orang tak lupa mengisap cerutu alias berasap.

Cerutu dipastikan 100% Manilla. Pengiklan bisa berbohong atau jujur. Anggaplah cerutu itu didatangkan dari Manilla (Filipina). Hari-hari menjelang Ramadan, orang memesan atau membeli cerutu, tak cuma mencari kurma. Orang-orang tinggal di Semarang bisa membeli cerutu El Cargo di Soh Kien Sing & Co beralamat di Pekodjan 52, Semarang. Iklan mengisahkan hari-hari berpuasa dinikmati dengan berasap, setelah terdengar azan Magrib. Orang mungkin minum sirup atau teh dan bersantap makanan ringan.

Ia berlanjut mengisap cerutu, menebus hasrat berasap tertahan seharian. Cerutu itu melegakan, mencipta imajinasi kenikmatan. Mulut tak cukup makan dan minum. Cerutu itu perlu. Dulu, sekian orang mungkin bermufakat atau membantah di hadapan iklan.

Baca juga:  Arus Baru Intelektualitas NU

Orang tak mampu membeli cerutu, mencukupkan dengan mengisap rokok. Konon, kenikmatan mengisap cerutu dan rokok berbeda. Harga dan martabat dipertaruhkan. Orang berpuasa mengacu perintah dalam agama. Mereka menunaikan dengan sekian pemenuhan dan godaan. Berasap itu kenikmatan meski kita jarang melihat ada suguhan rokok bersanding minuman dan makanan saat acara berbuka bersama di masjid, rumah, atau kantor. Rokok bukan “menu” utama, terkalahan oleh teh, kolak, roti, gorengan, nasi, dan lain-lain.

Dulu, ada cerita pendek berjudul “Rokok” dimuat di Horison edisi Desember 1977. Cerita gubahan Mira Sato. Kini, kita mengenali sebagai pengarang tiga jilid Nagabumi. Di situ, terbaca kebiasaan si tokoh: “Bangun tidur setelah minum kopi atau sambil minum kopi, saya merokok sebatang. Keluar rumah berjalan kaki dengan tangan kiri di saku celana yang tentu saja juga kiri, satu batang rokok saya hisap. Setelah makan siang atau makan malam, masing-masing sebatang.” Kalimat demi kalimat melulu tentang merokok. Si tokoh tak mengalami Ramadan.

Si tokoh itu jangan lekas disalahkan atau diceramahi “ini” dan “itu”. Kita anjurkan ia membaca iklan di Tempo, 12 Desember 1981. Iklan dari perusahaan jamu memiliki logo “djago”. Pabrik itu mengeluarkan “anti-nik”. Kita mengudar itu ringkasan dari “anti nikotin”. Jamu berslogan “menjaga kesehatan perokok”. Gambar sebatang rokok mengeluarkan asap. Pemandangan membikin cemburu, mengandaikan ada gambar si perokok: cewek atau cowok. Kita belum berada di perdebatan merestui atau melarang orang merokok, sejak pagi sampai malam. Urusan terpenting adalah khasiat:

Baca juga:  Rekonsiliasi Hampa dalam Pilpres 2024

“anti-nik mengandung ramuan alami berkhasiat mengurangi kemungkinan kurang baik merokok seperti: batuk, napas sesak, kerongkongan dan tenggorokan sakit, pusing, nafsu makan hilang, mual, lesu dan lain-lain.”

Para perokok di masa 1980-an memiliki pilihan ingin terus merokok tapi waras. Ia tak perlu ragu merokok dan minum “ani-nik”. Kita mungkin agak wagu mengurusi cerutu dan rokok di hari-hari berpuasa: meningkatkan iman dan takwa. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top