Sedang Membaca
Tanda-Tanda Zaman
Trias Kuncahyono
Penulis Kolom

Wartawan Kompas (1988-2018), kolomnis, penulis buku antara lain "JERUSALEM: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir" dan "TURKI, Revolusi Tak Pernah Henti". Bisa dijumpai di triaskun.id. Youtuber (Cemara19 Channel)

Tanda-Tanda Zaman

Img 20150616 084220

Halo sobat BMKG, berikut disampaikan tayangan update prakiraan cuaca esok hari”.  Sapaan seperti itu setiap pagi saya terima lewat WA, yang dikirim oleh  Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG), Dwikorita Karnawati.

Prakiraan (perkiraan) cuaca, dalam bahasa sehari-hari disebut ramalan cuaca. Para ahli mengatakan, cuaca adalah satu faktor alam yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.

Dengan ilmu dan teknologi, manusia berusaha memperkirakan keadaan cuaca; dengan ilmu dan teknologi memperkiraan keadaan atmosfer Bumi pada masa datang untuk suatu tempat tertentu.

Maka prakiraan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan rasional—bukan hitungan ngawur-ngawuran—tetapi perhitungan berdasarkan data yang tersedia kemudian dianalisis. Misalnya,  prakiraan cuaca. Kondisi cuaca harian dipengaruhi oleh kondisi iklim regional maupun iklim global.

Kondisi cuaca sangat mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia. Salah satu sektor yang sangat bergantung pada kondisi cuaca adalah sektor transportasi. Cuaca buruk sangat mengganggu keamanan transportasi. Banyak kecelakaan kapal laut terjadi akibat ombak besar akibat hujan dan badai.

Ada yang pernah melakukan penelitian bahwa sekitar 12 persen dari kecelakaan pesawat disebabkan oleh kondisi cuaca. Maka itu, kerap kali pesawat batal terbang karena kondisi cuaca tidak mendukung atau berbahaya.

Kearifan Lokal

Para petani dan juga nelayan pun sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, untuk membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.

Baca juga:  Pesan Al-Ghazali dalam Ribut-ribut Idulfitri

Nenek-moyang kita pun, dahulu pandai membaca “tanda-tanda alam”. Mereka memiliki “ilmu titen.” Ilmu ini berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.

Kata titen (bahasa Jawa, titi) berarti tanda. Tetapi, ada pula yang mengartikan sebagai “ngati-ati” atau berhati-hati. Dalam pandangan masyarakat Jawa, sikap kehati-hatian ini memiliki arti peringatan sekaligus nasihat untuk lebih peka terhadap apapun.

Dengan “ilmu titen” mereka mengamati, menganalisa, dan menyimpulkan suatu kejadian berdasarkan tanda-tanda tertentu yang menyertai. Sehingga manusia akan “niteni” atau menandainya sebagai satu kejadian yang akan terjadi.

Masyarakat zaman dulu mengamati setiap tanda-tanda kejadian alam yang berlangsung untuk menentukan mangsa, musim.  Maka kemudian disusun pranata mangsa, ketentuan musim.

Petani dapat memahami mangsa berdasarkan kejadian atau situasi alam yang dialami, yang terkait dengan usaha taninya.

Para petani dan juga nelayan sebelum adanya teknologi canggih untuk membaca keadaan cuaca, memiliki kearifan lokal, membaca cuaca. Misalnya, dengan membaca bintang.

Babilonia hingga Ranggawarsita

Telah lama manusia mampu membaca tanda-tanda alam. Menurut sejarah, sekitar tahun 650 SM bangsa Babilonia, sudah memiliki  kemampuan untuk membuat prakiraan cuaca.

Bahkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru pun ada tertulis, “Pada petang hari, karena langit merah, kamu berkata : hari akan cerah ; dan pada pagi hari karena langit merah dan redup, kamu berkata : hari buruk”.

Baca juga:  Dilema Kecerdasan Buatan

Tetapi, apakah manusia juga mampu membaca “Tanda-tanda Zaman?” (Meminjam istilah yang digunakan oleh Romo Dick Hartoko SJ—sudah almarhum—pengasuh Majalah Kebudayaan BASIS, untuk menamai rubriknya).

Dahulu, Raden Ngabehi Ranggawarsita lewat Serat Kalatida, mengungkapkan tanda-tanda zaman yang ditangkapnya. Ranggawarsita menulis amenangi zaman edan, mengalami hidup di zaman edan, karena dunia zaman itu dikuasai oleh nafsu ketamakan dalam berbagai bentuk.

Sebenarnya, zaman edan yang digambarkan Ranggawarsita itu, masih tetap berlangsung. Di tengah derita karena pandemi, masih saja ada orang yang mencari keuntungan diri.

Entah itu mengkorupsi dana bantuan sosial maupun dalam bentuk-bentuk lainnya. Tak peduli kepada sesama, tidak mau divaksin, menyebarkan kabar bohong tentang vaksin.

Kalangan antivaksin di Indonesia dikelilingi oleh teori konspirasi “elite global” dan berita palsu, bohong, sehingga banyak kalangan yang menganggap virus ini hanya permainan para konspirator dunia.

Beragam aktivitas dilakukan guna menyebarluaskan gerakan antivaksin tersebut, mulai dari pembuatan grup di Facebook, perang buzzer di Twitter, sampai feeds di Instagram, termasuk juga memalsukan surat hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

Tetapi, ada juga tanda-tanda zaman yang positif: ada banyak orang yang secara suka rela memberikan bantuan kepada orang lain yang menjadi korban pandemi Covid-19 dalam segala macam bentuk dan rupanya.

Yang mempunyai banyak, memberikan banyak, yang memiliki sedikit memberikan sedikit, yang memiliki tenaga memberikan tenaga, termasuk juga memberikan perhatian, menyediakan  tempat untuk isoman dan lain sebagainya.

Baca juga:  Ada Sains di Proklamasi Kemerdekaan 1945

Memang tidak mudah menangkap tanda-tanda zaman. Meskipun tanda-tanda zaman  dalam hidup kita senyatanya muncul setiap hari, di mana kita tinggal, di sekitar kita, di tengah masyarakat kita, tempat kita sekarang ini berjuang bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19.

Sebab, untuk mampu menangkap tanda-tanda zaman dibutuhkan kepekaan hati. Mereka yang memiliki kepekaan hati bisa melihat dan menjadikan krisis sebagai  katalisator untuk perubahan besar, baik itu pribadi maupun struktural.

Maka harapannya, pandemi Covid-19 ini menjadi tanda bagi kita semua untuk  mampu, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian yang merupakan tanda-tanda zaman negatif), di tengah penderitaan banyak orang,  menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik.

Dan, semoga pula pandemi ini merupakan tanda yang jelas bagi mereka yang selama ini lebih mementingkan kelompok dan golongannya, menjadi manusia yang memiliki sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya.

Dengan demikian, pandemi Covid-19 ini justru bisa menjadi pembangkit dan penggerak bangsa, dan penyemangat bangsa  untuk memasuki hidup baru, zaman baru, yang diharapkan lebih baik dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, hubungan antar-anak bangsa yang berbeda-beda, dan hubungan dengan alam. (Dapat dibaca juga di triaskun.id)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top