Sedang Membaca
Berilmu dan Berselaras pada Alam
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Berilmu dan Berselaras pada Alam

Baitul Hikmah

“Jika kita belanja ke pasar. Jika kita belanja ke toko, sangat mudah kita menggunakan tas plastik. Murah. Tersedia. Tetapi, kita tahu itu nyaman sesaat. Dalam jangka panjang itu akan membuat planet Bumi mendapatkan sampah yang luar biasa”. Kutipan itu disampaikan oleh matematikawan Iwan Pranoto lewat pidato berjudul “Kesalingterhubungan Pemikiran” di acara Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture pada 6 Desember 2022.

Iwan memberikan lanskap perubahan peradaban bagaimana manusia mulai revolusi industri pertama hanyut dalam keyakinan pada prinsip yang disebut dengan “kenyamanan sesaat”—yang dalam bahasa UNESCO disebut dengan “shorten convinence”. Apa yang disampaikan oleh Iwan tiada lain merupakan fakta yang terjadi dalam hiruk-pikuk ilmu, pengetahuan, dan teknologi dengan realitas yang dimunculkan.

Pada proses yang terjadi, manusia menjumpai fiksi dan kerangka ideal dalam menjalani hidup. Hal itu juga menunjukkan betapa sains dan teknologi mudah dipahami menjadi cerita tunggal akan imajinasi kemajuan dan modernitas. Demikian yang kemudian terjadi adalah sains dan teknologi sebagai sebuah hal yang ditekankan pada aspek rasional dan pragmatis. Akhirnya, kita tahu ada masalah yang tidak terkira dalam keterhubungannya pada relasi alam maupun lingkungan hidup.

Bila berkaca pada perubahan yang terjadi di Barat, kenyatannya memang begitu. Hal ini pula yang diketengahkan oleh Karen Armstrong melalui buku Sacred Nature: Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam (Mizan, 2023). Armstrong menyebut ungkapan Francis Bacon di abad pertengahan berupa “pengetahuan adalah kuasa” menjadi landasan manusia melakukan penyelidikan hukum-hukum yang mengatur kekuatan-kekuatan itu dan nantinya akan mampu mengeksploitasi alam untuk kepentingan mereka sendiri.

Baca juga:  Diaspora Santri (4): Peran Nahdlatul Ulama dalam Isu Xinjiang

Oleh sebab itu, dalam cakupan tulisannya, Armstrong mendedah perubahan-perubahan paradigma yang terjadi dengan menitikkan pada tilikan ajaran-ajaran dari agama-agama dan keyakinan terdahulu. Apa yang dilakukan oleh Armstrong tentu menjadi sebuah jalan tengah untuk melakukan dialog atas apa yang terjadi di dalam perubahan sains dan teknologi dengan warisan luhur—yang bagi banyak manusia modern membuat makna sempit akan mitos.

Mitos dan logos menjadi pijakan sebagai cara berpikir untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia. Tegas Armstrong: “Keduanya penting untuk memahami realitas: keduanya bukanlah hal yang bertentangan satu sama lain, melainkan merupakan modus-modus yang saling melengkapi untuk sampai pada kebenaran, dan masing-masing memiliki wilayah kompetensi khusus.”

Dalam praktiknya, cara-cara ini tentu sebentuk pengedepanan keberagaman yang dimiliki dalam sebuah sistem masyarakat. Bahwa sains memang menjadi salah satu upaya untuk membentuk kesadaran bernalar, bersikap ilmiah, dan bertindak masuk akal. Namun, itu belumlah cukup. Sains perlu terbuka pada keberagaman berpikir, sehingga yang terjadi kemudian sebagaimana gagasan cendekiawan M. T. Zen sebagai sebuah proses maupun cara, bukan sebagai tujuan yang mengesankan keberadannya menjadi pelipur lara (panacea).

Pada kehidupan modern, kita selalu mengandalkan percakapan tanpa jeda. Gawai dan wahana media sosial dengan algoritmanya membentuk pribadi dan jati diri seseorang. Mudahnya fragmentasi maupun perpecahan menjadikan kita sulit menemui kepentingan bersama sebagai budaya kolektif menyikapi sesuatu hal. Dengan arti lain, jika seseorang dalam penggunaan gawai dilandasi dengan keterikatan nilai dan prinsip dari keyakinan maupun agamanya tentu bisa saja berbeda.

Baca juga:  Demokrasi dalam Keberlanjutan Watak Kekuasaan Raja-Raja Kuno dan Kompeni

Kita misalkan saja masalah mendasar yang dihadapi oleh alam, baik itu kerusakan lingkungan, eksploitasi alam, hingga krisis iklim. Jika yang ditekankan adalah sains dan teknologi sebagai pemenuhan hasrat, maka yang terjadi pada keterjerembaban pada situasi pemakluman—bahwa lambat laun memang alam itu rusak dan tak perlu menaruh kepedulian. Di sinilah peranan nilai-nilai yang terkandung dalam agama sangat diperlukan.

Bila kita menyigi peranan agama dalam menghadapi krisis iklim, tentu semua agama memberi pengajaran bahwa manusia harus menjalin hubungan yang harmonis terhadap alam. Agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak melakukan kerusakan dan mengeksploitasi. Itu tidak boleh dijadikan sebatas keyakinan, namun pada kenyatannya perlu menjadi sebuah tindakan. Dengan demikian, sains tidak akan jauh dari kebijaksanan sebagai fungsi humanisme dan agama tidak mengutubkan diri dari daya rasionalitas.

Hari ini kita mudah menemukan para pejabat, korporat, hingga akademisi membicarakan persoalan teknis terhadap hal yang berhubungan dengan isu lingkungan, namun yang terkadang terjadi adalah kerusakan terus saja terjadi. Ini situasi paradoksal dalam diskursus ilmu.  Kosmolog dan ahli astronomi perempuan, Karlina Supelli (2013) dalam sebuah ceramah ilmiah menuturkan pengisahan mengenai suku Dayak dan keresahan bagimana yang terjadi di seratus tahun kemerdekaan Indonesia.

“…hutan di Kalimantan diramalkan mendekati punah apabila laju pembabatan tidak berkurang—2-6x lapangan sepak bola per menit. Itulah juga saat sebagian besar mineral yang berharga serta minyak bumi sudah tersesap habis, kecuali eksplorasi menghasilkan sumber-sumber baru terbukti di cekungan-cekungan ramalan. Bersama kerusakan hutan dan lenyapnya puspa satwa, rupa-rupa intuisi, imajinasi dan sumber-sumber pengetahuan tergulung pelan-pelan ke balik kabut waktu.” Ungkapnya.

Baca juga:  Warisan Hirarki Politik Orde Baru

Menyelami alam mendorong kita untuk membentuk pengetahuan yang mengarah pada keselarasan. Kita juga dapat memahami etika secara lebih luas, tidak saja empunya manusia, tetapi juga seluruh makhluk yang berada di bumi. Etika kepedulian adalah pertimbangan etis yang muncul dari kasih sayang. Rasa kasih sayang ini menerobos tribalisme demi kelompok sendiri menuju kasih sayang yang transendental, yang mencakupi seluruh isi alam (Saras Dewi: 2022, 92).

Keterbukaan pikiran dengan mengerti dan memahami segala konsekuensinya boleh jadi adalah sebuah jalan itu sendiri. Bahwa kehidupan berjalan dengan penuh keselarasan. Mengedepankan visi dari keilmuan, namun tetap menjunjung ajaran luhur yang diwariskan dari agama maupun keyakinan. Dengan demikian, kita memiliki visi baru terhadap kosmos—menghadapi hidup berupa memikul kebijaksanaan dengan terus melakukan antisipasi, mengedepankan empati maupun welas asih, dan melakukan kebaikan sekecil apa pun.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top