Potret Manusia Kairo
Antara Hamka dan kemudian generasi Habib, sebenarnya ada seorang cerpenis Muhammad Fudoli atau sering menulis namanya M. Fudhaly atau M. Fudholi Zaini (1942-2007), cerpenis asal Madura yang produktif pada akhir 1960an hingga 1980an. Fudoli telah menerbitkan enam kumpulan cerpen. Satu di antaranya Potret Manusia (Balai Pustaka, 1983) yang menghimpun cerpen-cerpennya dengan latar belakang Kairo.
Di dalam antologinya ini tidak dijelaskan kapan cerpen-cerpen ini pertama kali dipublikasikan. Demikian juga dalam bukunya yang baru-baru ini diterbitkan ulang dan menghimpun seluruh kumpulan cerpennya tersebut termasuk Potret Manusia, menjadi satu Ziarah Batu-Batu Setan (Cantrik, 2018) riwayat cerpen-cerpennya tidak dikemukakan.
Dalam penelusuran saya, cerpen-cerpen itu pertama kali terbit di akhir 1960an dan sepanjang 1970an di majalah Sastra dan Horison, yakni semasa dia belajar di Universitas Al-Azhar dan awal bekerja di KBRI Kairo. Dugaan ini di antaranya mengacu pada salah dua cerpennya di dalam buku itu: Pintu Gerbang yang terbit pada Majalah Sastra No 2 Tahun V 1967 dan Syambari pada edisi No 6 Tahun VII Juni 1969.
Berbeda dengan kesan umum mengenai cerpen-cerpennya yang bernuansa sufistik, dan memang demikian kenyataannya, cerpen-cerpen dalam Potret Manusia cenderung realis.
Namun bersimpang jalan dengan pendahulunya dan penerusnya, Fudoli tidak hanya menceritakan dirinya atau orang-orang Indonesia yang tengah berada ke Kairo, tapi menceritakan para penghuni Kairo yang dilihat dan disaksikannya sehari-hari. Ia melihat, mencatat, memotret, dan menceritakan sosok-sosok manusia yang ia saksikan di tengah-tengah kota Kairo.
Maka di dalam cerpen-cerpennya kita pun berjumpa dengan sosok-sosok manusia yang bermacam-macam profesi dan karakternya. Ada Hamuda, seorang polisi, Marwan, mahasiswa asing asal Asia Tengah yang suka main perempuan dan akhirnya bunuh diri, Madamme Perret, seorang nyonya kelas menengah atas yang galau dan penyuka gambar-gambar porno, Ibrahim; pemuda tuna netra yang idealis, tukang cukur tua pemilik sebuah salon yang berasal dari Yunani yang mengalami depresi karena anak gadisnya diperkosa dan dibunuh, dan mayatnya dibuang di sungai Nil, Yusri mahasiswa Mesir yang berasal dari sebuah daerah pertanian, Mona, perempuan muda yang genit, dan lainnya.
Suasana dan lokasi ceritanya juga tidak terbatas dinding-dinding kampus dan flat mahasiswa. Ada kios penjual buah, salon cukur, wilayah pertanian Syambari, pesta ulang tahun sebuah restoran pada malam Minggu, suasana Kairo dan sebuah bioskop pada suatu hari di musim panas, sebuah hotel di pinggiran pantai, dan lainnya.
Mesir adalah sebuah Negara-bangsa yang secara kultural-keagamaan sangat dekat di kepala kebanyakan orang Indonesia, dengan sejarahnya yang panjang. Keberadaan Universitas Al-Azhar membuat Mesir dan Indonesia seperti tersambung secara intelektual dan spiritual jauh sebelum Indonesia sendiri terbentuk. Mesir dan Kairo sebagai ibukotanya merupakan kiblat dunia Islam dan terus menjadi impian para taruna Muslim untuk didatangi. Kesan islami Mesir demikian kuat tertanam, namun kesan ini segera mencair ketika membaca kumpulan Potret Manusia ini. Latar belakang Mesir, khususnya Kairo, ini jelas menjadi kekuatan cerpen-cerpen ini.
Gaya menulis Fudoli jernih, dengan tema dan alur cerita yang jelas dan mengalir. Selain deskripsi, cerpen-cerpennya ditandai dengan adegan percakapan antartokoh di dalamnya yang sangat panjang. Dalam halaman buku, dialog-dialog antartokohnya ini bisa mengambil tempat satu halaman penuh, bahkan kadang lebih. Dalam halaman majalah dengan lay-out tiga kolom, perbincangan-perbincangan antar tokohnya ini bisa memakan tempat dua kolom. Jadi bisa dibayangkan panjangnya.
Tidak mudah membangun dialog dalam sebuah cerita, apalagi yang demikian panjang. Dialog-dialog menunjukkan banyak hal: suasana psikologis dan cara berpikir para tokoh, dan juga suasana dan latar cerita itu sendiri. Melalui dialog tokoh-tokohnya ia hidupkan cerita-ceritanya ini, dan akhirnya cerita-cerita ini sendiri hidup di antaranya melalui dialog tokoh-tokohnya.
Setelah deskripsi dan dialog yang panjang tersajilah sebuah latar yang menarik, peristiwa-peristiwa yang menarik, tokoh-tokoh yang menarik, dan sudah barang tentu juga cerita yang menarik. Dan ketika pembaca sedang hendak mengembangkan dan menduga-duga kesimpulan akan akhir cerita berdasar alur dan karakterisasi cerita tersebut, Fudoli datang dengan akhir cerita yang mengejutkan.
Kejutan di akhir cerita ini merupakan kekuatan lain dari cerpen-cerpen Fudoli. Sebagai contoh dalam cerpen Potret Manusia, sebagaian besar pembaca, saya kira, akan menduga polisi Hamudalah yang menembak Marwan, karena kesal anak gadisnya dipermainkan oleh Marwan. Tapi ternyata Marwan bunuh diri dengan menggunakan pistol sang polisi.
Namun tidak semua akhir ceritanya bisa diraba dan diduga. Setelah deskripsi yang menarik tentang sawah-sawah di desa dan bagaimana orang-orang desa tersebut senang, heran, kagum, dengan kehadiran orang asing sepertinya, dan pembaca mencoba menerka ke mana akhir cerita akan dibawa, ternyata di luar dugaan, akhir cerita berisi pertengkaran dan perkelahian antarkampung berkaitan dengan pencurian saluran irigasi. Demikian kejutan di akhir cerpen Syambari.
Dari 10 dari 12 cerpen dalam kumpulan ini memperlihatkan gambaran Kairo, sebuah kota tua yang lusuh, panas, bising, yang memiliki beragam kultur. Modernitas bergerak, kadang beririsan kadang berlawanan, dengan Islam. Kultur Arab-meditarianian masih terus memperlihatkan binarnya. Konflik Arab-Israel menyelinap di antara keriuhan pesta dan upacara keagamaan. Sejarah masa lalu, tarik menarik ideologi dan budaya, arus modernitas, membuat Potret Manusia (Kairo), yang menjadi salah satu judul cerpen di buku ini, tidak tunggal dan memiliki banyak wajah.
Penutup
Cerpen-cerpen Fudholi tentang orang-orang Kairo ini dalam beberapa hal mungkin mirip dengan lukisan mengenai orang-orang Bloomington seperti yang disaksikan mahasiswa Indonesia dan cerpenis, Budi Darma, dalam Orang-Orang Bloomington (1980). Fudoli menyajikan manusia-manusia Kairo yang bermacam-macam ragam profesi dan permasalahan. Dengan mata tajam seorang asing, Fudoli menyoroti sisi-sisi kemanusiaan dari kehidupan Kairo, yang tengah berkembang dan mengalami modernisasi hebat pada dasawarsa 1970an itu.
Yang menarik, meski status dan citra Kairo sebagai salah satu Negara (berpenduduk) Muslim, Islam dalam cerpen-cerpen bukanlah yang utama. Di sinilah kelebihannya, Fudoli tidak terjebak mengerangkakan Kairo di dalam kota Islam ini.
Fudoli menulis dengan dingin dan tampak ia melihat Kairo biasa saja, tanpa kekaguman yang berlebihan. Ketika keluar negeri sebelum segampang bepergian dari Yogya ke Gunungkidul seperti sekarang, tentu saja pandangan seperti ini menarik. Biasanya negeri yang asing itu diasingkan kembali dan aku sang penulis mencuat ke permukaan. Sebaliknya, Fudoli mengakrabkan negeri asing itu dengan mengemukakan manusia dan permasalahannya yang hakikatnya universal. Ada di mana saja.
Potret Manusia, saya kira, adalah sumbangan penting dalam sastra Indonesia dari segi bagaimana orang Indonesia yang diwakili penulisnya tidak sibuk membicarakan diri sendiri, tapi memberikan perhatian pada negeri dan keadaan orang lain. Kesempatan lama bersekolah dan kemudian lanjut bekerja di Kairo betul-betul dimanfaatkan Fudoli untuk melihat bagian-bagian yang lebih dalam dari kehidupan kota Kairo, bukan sekadar gambar visual Islamnya yang memendar ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Potret Manusia adalah sedikit, bahkan mungkin satu-satunya, karya sastra Indonesia yang mengambil Timur Tengah, terutama Kairo, sebagai latarnya. Padahal Timur Tengah sangat luas dan meliputi puluhan Negara. Padahal yang lain, Timur Tengah termasuk kawasan yang paling banyak didatangi orang Indonesia.
Karya sastra seperti ini penting sebagai perhubungan lintas-budaya. Penting juga agar yang menggema dari wilayah itu bukan semata kericuhan politik dan ekstrimisme agama.