Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (3): Zubdatul Asrar fi Tahqiq Ba’dh Masyrabil Akhyar

Whatsapp Image 2020 05 19 At 1.22.26 Am

Simbolisme “oase” atau tempat minum digunakan Syekh Yusuf lagi dalam karya kedua dalam manuskrip Or. 7025. Beliau menamakan karyanya dengan Zubdatul Asrar Fi Tahqiq Ba’dh Masyrabil Akhyar (Rahasia Pokok Dalam Penemuan Sebagian Oase Para Terpilih). Karya ini berada pada f. 10v.-33r.

Kita diajak pada permulaannya untuk menyaksikan bahwa Syekh Yusuf memiliki dasar-dasar keyakinan Islam, ahlussunnah wal jama’ah. Beliau meyakini apa-apa yang kita kenal sebagai rukun iman. Beliau juga meyakini hal-hal yang biasa disebutkan dalam tradisi talqin mayit; Allah Rabbku, Muhammad nabiku, Islam agamaku, Kakbah kiblatku, Al-Qur’an imamku, dan semua muslim saudaraku. Dan beliau menyebutkan banyak sifat-sifat Allah sebagai mana dalam Al-Quran. Ada apa gerangan?

Ini mungkin dikaitkan dengan “fitnah” yang menimpa para pengikut wujudiah yang beliau dengar. Kita bisa mengingat bahwa Syekh Abdurrauf as-Singkili, yang semasa dengan Syekh Yusuf, meminta penjelasan akan kitab Tuhfatul Mursalah Ilan Nabi kepada guru mereka, Syaikh Ibrahim al-Kurani. Penjelasan yang penting guna mendudukkan masalah keyakinan wujudiah yang pada masa yang tidak jauh, oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri ditolak keras. Syekh Yusuf sangat mungkin mengetahui kondisi gonjang-ganjing mengenai akidah ini. Beliau hendak berkata bahwa saya adalah seorang muslim seperti kalian yang menolak dan memperdebatkan paham tasawuf kami.

Kitab menyebutkan dalil-dalil akan hakikat keyakinan ihathah dan maiyyah yang telah kita jelaskan sebelumnya. Bahwa keyakinan tersebut harus ada karena ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang menuturkan bahwa Allah selalu bersama hambanya di mana saja dan bahwa tidak terjadi pembicaraan rahasia antara tiga orang kecuali Allah Yang Keempat.

Syekh Yusuf berkata, “Keyakinan Ahlussunah wal Jama’ah Allah itu Wujud Mutlak…”

Pembahasan mengenai “wujud” inilah yang menjadi tema utama kitab. Syekh Yusuf menarasikan bagaimana keyakinan mengenai Wujud ini didapatkan dari zikir atas “Laa ilaaha illallah”, “tidak ada tuhan kecuali Tuhan”. Makna kalimat ini mengantarkan kita pada keyakinan bahwa “tidak ada yang disembah, yang dicari, yang dituju, yang dikehendaki, yang dicintai, yang dihasrati, yang bertindak, yang wujud secara hakikat kecuali Allah, segala sesuatu selain-Nya semata-mata hanyalah bayangan (zdillu) bagi Allah”.

Baca juga:  Obituari: Dalang Santri yang Pergi Meninggalkan Energi

Hal ini demikian karena segala sesuatu yang menjadi ada disebabkan selainnya, maka wujudnya adalah milik selainnya (yang menjadi sumber wujud), bukan miliknya sendiri. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu selain Allah itu pada hakikatnya tidak memiliki wujud, dia hanyalah manifestasi dari Allah. Dengan kata lain, dia diberikan wujud dari Pemilik Wujud yaitu Allah Swt.

Pandangan bahwa Tuhan Maha Mutlak dan wujud makhluk bersumber dari-Nya mengantarkan pada kesucian makhluk (karena berasal dari-Nya), namun bukan bersifat ketuhanan (divine). Hal ini penting ditegaskan untuk beberapa alasan. Pertama, ini menolak mereka, termasuk di antaranya para pemikir Muslim yang terpengaruh, bahwa keyakinan ini, yang di masyarakat Nusantara utamanya mengikuti mazhab Martabat Tujuh, bersifat monistik dan panteistik.

Kedua, sebagaimana selalu ditekankan oleh Seyyed Hossein Nasr, bahwa pandangan ini akan mengantarkan pada relasi agama dan alam yang mana sudah sangat pudar pada masyarakat modern. Alam ini adalah manifestasi (tajalli) dari Allah sehingga harus dihormati, dijaga, dicintai karena ia dikaitkan kepada sang “Sumber”.

Kembali kepada kitab Zubdat, Syekh Yusuf menerangkan bahwa zikir-zikir yang beliau ajarkan bersumber dari Al-Qur’an. Nampaknya ini juga merupakan cerminan masyarakat yang berdebat keras mengenai lafal-lafal zikir dalam tradisi tarekat beliau. Di atas telah dibahas mengenai laailaaha illallah.

Selain itu, zikir yang beliau ajarkan adalah “Allah-Allah” yang ditetapkan melalui surah al-An’am ayat 91 قُلِ ٱللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِى خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ, dan “Huwa-Huwa” yang merupakan keyakinan bahwa Dia adalah yang menjadi rahasia dari segala sesuatu yang ada alam realitas eksternal di dunia ini. Sebagaimana dalam surah al-Ikhlash, katakanlah “Dia-Dia”. Ketiga jenis zikir ini memiliki tahapan. Laailaaha illallah merupakan zikir lisan. Allah-Allah merupakan zikir hati. Sedangkan Huwa-Huwa merupakan zikir “sirr”.

Baca juga:  Guru Majid dan Tukang Cukur

Syaikh al-Jurjani menjelasakan dalam at-Ta’rifat bahwa “sirr” adalah bagian halus yang berada di dalam hati, sebagaimana ruh berada di dalam jasad. Ia berfungsi sebagai tempat terjadinya musyahadah (penyaksian akan hakikat Allah). Sebagaimana ruh sebagai tempat tejadinya mahabbah, dan hati sebagai tempat terjadinya ma’rifah (pengenalan Allah).

Selanjutnya Syaik Yusuf menjelaskan tentang kewajiban seorang hamba untuk selalu mendekat (muraqabah) kepada Allah. Hal ini demikian, menurut Syaikh Yusuf, karena sesuai dengan hadis Nabi saw. untuk menyembah Allah dalam kesadaran bahwa engkau melihat-Nya, apabila engkau tidak melihat-Nya maka sadarilah bahwa Dia melihatmu. Hadis ini penting untuk menyadarkan bahwa kita selalu dalam realitas spiritual yang jauh dari-Nya. Kita selalu dalam kondisi berjuang untuk mendekat dan terus-mendekat. Hasil dari kesadaran ini adalah kesadaran lain akan kerendahan diri kita dihadapan-Nya, dan rasa rendah hati dihadapan sesama hamba Tuhan lainnya.

Inilah yang dimaksud oleh Syekh Yusuf bahwa seorang harus selalu memberikan sangkaan baik kepada manusia dalam hal perubahan spiritualitas mereka. Hal ini demikian karena ia dikaitkan dengan hakikatnya sebagai ciptaan Tuhan. Tuhan bersifat, selain absolut, juga tak terbatas (infinite). Ketidakterbatasan ini mencakup semua kemungkinan bisa terjadi yang dapat menimpa siapa saja di antara makhluk-Nya. Dia Maha Mungkin. Termasuk mungkin menjadikan seorang yang seumur hidupnya secara lahiriah terkungkung dalam kubangan dosa untuk bertobat.

Apalagi dengan mempertimbangkan sifat rahman dan rahim Tuhan yang mendahului sifat-sifat lainnya dan mencakup segala hal. Ciptaan ini adalah wujud dari kasih dan sayang Tuhan. Dalam bahasa para sufi, nafasurrahman (hembusan kasih dan sayang) yang muncul ketika penciptaan di zaman azali ketika Tuhan mengucap “kun” lah yang menjadikan seluruh makhluk wujud. Artinya, dalam konteks sosial, kasih sayang Tuhan tidak terbatas, termasuk kepada mereka yang bukan Muslim.

Baca juga:  Sufisme, Islam, dan Kesenian

Dosa-dosa seseorang adalah satu hal yang rahmat Tuhan melingkupinya. Sebagaimana firman Tuhan “sesungguhnya rahmat-Ku mencakup segala sesuatu”. Jadi mereka yang kembali kepada-Nya maka dia seperti sabda Nabi saw. “Siapa saja yang bertaubat dari dosa-dosanya, maka dia seperti orang yang tanpa dosa”. Artinya dia kembali suci. Hal ini dijamin dalam Al-Qur’an bahwa Allah mencintai mereka yang terus -menerus bertaubat dan terus-menerus mensucikan diri.

Syekh Yusuf menerangkan bahwa kata “at-Tawwab”, adalah bentuk mubalaghah dari at-Taib, yang menunjukkan bahwa seseorang berulang kali bertaubat. Dapat dipahami bahwa, seorang yang at-tawwab adalah seseorang yang banyak melakukan dosa dan terus-menerus melakukan taubat karena banyaknya dosa itu. Pada akhirnya, berprasangka baik kepada manusia, menurut Syaikh Yusuf, adalah manifestasi dari berprasangka baik kepada Allah Swt.

Akhirnya kita dapat melihat bahwa kitab ini utamanya adalah nasihat Syekh Yusuf kepada muridnya tentang kondisi zamannya. Zaman telah berubah dan keyakinan-keyakinan para sufi ditentang dengan berlebihan. Melihat semua ini, beliau mengutip satu dalil dari hadis Nabi saw bahwa ketika engkau melihat hawa nafsu diikuti dan setiap orang yang memiliki pendapat mengikuti pendapatnya sendiri secara bebas (tanpa mempertimbangkan otoritas, agama, dampak sosial), maka yang utama bagimu adalah menasihati dirimu sendiri; tinggalkan urusan orang banyak yang demikian kondisinya.

Kata Syaikh Yusuf, “Semua hal ini telah terjadi di zaman kita, maka berhati-hatilah.” Dalam kondisi seperti ini, maka lebih baik berpegangan pada ayat ini: “maka barangsiapa mau maka imanlah (kepada ajaran kami), dan barangsiapa mau maka silahkan ingkari (ajaran kami).”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top