Kuda putih tak bertuan terkoyak penuh luka, kembali ke perkemahan dengan kepala merunduk. Para perempuan menyambutnya penuh kedukaan mendalam. Itulah pertanda, penunggang kuda yang gagah, kini telah dicabik ribuan pedang.
Sebuah visualisasi menyayat yang gambarnya kerap saya saksikan di berbagai tempat di Iran, terutama menjelang hari-hari duka Asyura maupun Arbain. Sang pelukis, menorehkan aura kelabu di antara sosok perempuan. Kesan empatik menjadi terasa lebih dalam masuk ke relung jiwa (lihat gambar di atas).
Karya-karya Farshchian, memang tak hanya mengajak kita untuk sekedar melihat permukaan gambar, tapi membawa kita jauh memasuki peristiwa tersebut.
Benar kiranya penuturan Umberto Baldini, profesor sejarah kesenian asal Italia yang juga pernah menjabat sebagai rektor universitas kesenian Florence. Menurutnya, saat Farshchian melukis bunga, ia tidak sekedar menunjukkan keindahan bunga, tapi mengajak kita untuk menyesap harum bunga itu. Ia membawa kita jauh menarawang dengan kacamata metafisika. Siapakah sebenarnya Farshchian?
Nama lengkapnya, Mahmoud Farshchian, master pelukis miniatur dari kota Isfahan, Iran. Ayahnya seorang penguasaha karpet. Karena itulah, sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia warna dan gambar. Bahkan, sosok yang dikenal sebagai bapak pelukis modern Iran ini, pernah berguru kepada para seniman handal pada masanya, seperti: Haji Mirza-Agha Imami dan Isa Bahadori. Pria yang lahir pada tanggal 24 Januari 1930 ini, sekarang bermukim di New Jersey, Amerika.
Selama karirnya, Farshchian telah menggelar delapan puluh kali pameran bersama dan lebih dari dua puluh kali pameran tunggal di berbagai kota besar dunia dari New York, Paris, Milan, Vienna, Munich, hingga Karachi. Karya-karya lukisan Farshchian juga diabadikan dalam bentuk buku.
Sampai saat ini, sudah ada enam buku kumpulan lukisan yang telah dipublikasikan, dua di antaranya diterbitkan langsung oleh UNESCO pada tahun 1991 dan 2004. Di tengah masyarakat Iran, lukisan Farshchian dikenal luas, karena banyak dicetak dalam media karpet hiasan.
Sosok Farshchian sudah lama mencuri perhatian saya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ketika Alaleh secara tak terduga mengajak saya mengunjungi museum Farshchian yang berada di kompleks Saadabad, kawasan utara Tehran. Meskipun Alaleh sehari-harinya bekerja di laboratorium, tapi pengetahuan seni dan sastra Persia jebolan pascasarjana teknik kimia Universitas Tehran ini cukup bisa diandalkan.
Hari yang cerah, di bulan pertama musim gugur, Oktober 2019. Saya dan Alaleh berjalan menyusuri kawasan Saadabad. Dulu, tempat ini merupakan kediaman keluarga dinasti Qajar dan Pahlevi. Tapi sekarang, sebagian besar gedung-gedung ini dijadikan museum. Salah satunya adalah museum pelukis Farshchian. Tak mudah menemukan satu gedung di kompleks yang luasnya sekitar 110 hektar. Meski sudah memegang peta lokasi, masih saja kami tersesat.
Untunglah, pemandangan di area Saadabad ini sangat indah. Pohon-pohon tua sejenis Sycamore berjajar di kanan kiri mengapit jalanan. Terlebih saat musim gugur, pepohonan semakin terlihat indah karena daun-daunnya yang mulai menguning. Di tengah musim cinta ini, alam seperti sedang pamer kemesraan pada perantau tropis yang selalu mengagumi pergantian warna alam.
“Belakhere, residim. Akhirnya sampai juga,” sorak Alaleh sembari menunjuk sebuah bangunan bercat putih yang tidak terlalu besar. Luasnya hanya sekitar 600 meter persegi. Patung Farshchian setengah badan dibangun tepat di samping kanan pintu masuk, seperti ingin menyapa setiap pengunjung yang datang dan pergi.
Museum yang didirikan pada tahun 2001 ini menyimpan lima puluh koleksi lukisan Farshchian. Beberapa lukisan bertema religi telah dipindahkan ke museum kompleks Imam Reza di Mashhad.
Lukisan pertama yang saya lihat menggambarkan lelaki tua. Rasanya, saya amat familiar dengan wajah tersebut. “Itu seorang pesalik,” ujar Alaleh saat saya bertanya sosok yang ada dalam lukisan. “Barangkali Shams atau mungkin Rumi,” tambahnya lagi.
Farshchian juga menggambarkan sosok Shams dan Rumi dalam satu frame, sebagai dua sahabat yang memiliki hubungan spiritual istimewa. Lukisan ini cukup populer dan seringkali dijadikan ilustrasi untuk buku maupun berbagai artikel.
Farshchian memang memiliki minat besar pada dunia sastra dan puisi. Sebagian besar karyanya terinspirasi dari para penyair klasik Persia seperti: Rumi, Khayyam, Ferdowsi, Hafez, sampai Athar. Ia berhasil menghidupkan kembali ruh syair-syair klasik itu ke dalam bentuk visual, secara amat menawan.
Ketika saya melihat lukisan bertema “Simorgh” yang menggambarkan karya Athar, “Musyawarah Para Burung”, saya seperti diajak untuk menyelami banyak karakter burung dalam cerita tersebut, terutama simorgh. Begitu juga, ketika Farshchian melukiskan pertarungan antara Rostam dan seekor naga raksasa. Rasanya, saya seperti diajak membaca berlembar-lembar halaman novel.
Meski dikenal sebagai pelukis sufistik, Farshchian juga tidak abai pada persoalan kemanusiaan, lingkungan, dan berbagai isu sosial lainnya. Pada lukisan yang bertema “Pemburu”, tergambar jelas bagaimana wajah penyesalan si pemburu saat melihat hasil buruannya yang lemah tak berdaya. Atau pada karya “Tanpa Pelindung”, terbayang bagaimana rasa takut seekor burung yang tengah dikepung binatang-binatang buas. Begitu juga pada lukisan yang bertema “Lingkungan Hidup”, tersampaikan dengan baik, dua kekuatan tarik menarik antara sang pelindung dan perusak bumi.
Tak salah jika Federico Mayor, direktur UNESCO tahun 1987-1999 dalam pengantar buku koleksi karya Farshchian menyebutkan, bagi Farshchian dunia imajinasi dan kenyataan tidak saling berhadapan. Tapi, satu sama lain saling berkelindan. Kita bisa mengenali apa adanya berbagai objek lukisan seperti manusia, hewan, dan benda. Tetapi pada saat yang sama, kita mulai melihatnya secara berbeda. Inilah yang membuat karya-karya Farshchian digemari oleh kalangan luas.
Laman resmi Farshchian http://farshchianart.com/ menyebutkan nama-nama tokoh penting yang pernah mengoleksi karya-karyanya. Beberapa di antaranya, ratu Elizabeth di Inggris, politikus William Fulbright, sampai penyanyi pop legendaris, Michael Jackson. Bahkan, seorang desainer berdarah Inggris-Oman, Amr Ali, pernah terinspirasi karya Farshchian dalam beberapa koleksinya yang ditampilkan di acara London Fashion Week tahun 2007.
Tak terasa, hari mulai beranjak senja. Para penjaga museum sudah bersiap menutup ruangan. Berdiri di depan lukisan-lukisan Farshchian, waktu seperti bergerak cepat. Sebelum meninggalkan museum, saya sempat ke ruangan tengah yang memajang lukisan dengan ukuran paling besar.
“Ini lukisan terbaru Farshchian,” kata Alaleh dengan mata yang terus menatap ke arah lukisan (lihat gambar di bawah). “Hari Kelima Penciptaan”, begitu tema yang tertulis di samping lukisan. Farshchian, tampaknya terinspirasi dari ayat-ayat Alquran tentang penciptaan, terutama ayat 54 surat al-A’raf.
Dalam lukisan ini, Farshchian menggambarkan hari kelima penciptaan bumi dengan menghadirkan pesona laut bersama keindahan biota yang hidup di dalamnya. Di bagian atas, tampak langit yang dipenuhi oleh berbagai jenis burung. Warna keemasan di tengah, menandakan cahaya sang pencipta yang darinya burung-burung terus bermunculan lalu terbang memenuhi angkasa.
Sungguh indah magnet warna yang dihadirkan hingga membuat gambar-gambar dalam lukisan ini seolah hidup dan bergerak. Saya yang awam dengan dunia seni dan lukisan saja terbawa hanyut dalam imaginasi yang digambarkan Farshchian. Hanya kalimat tasbih yang mampu terucap dari bibir.
Sungguh benar sebuah pepatah yang menyebutkan, mencari Tuhan tidak harus di masjid dan di ruang-ruang pengajian. Karena, seperti apa yang pernah didengungkan Hossein Nasr, seni yang mengekspresikan dimensi spiritual dengan sendirinya akan menuntun kita ke jalan Tuhan.