Setiap manusia bisa gundah gulana terhadap lingkungan sekitarnya. Kegundahan itu berhubungan dengan masalah-masalah yang hadir. Lingkungan adalah tempat terbaik manusia menemui permenungan untuk mengerti situasi, membaca gejala, dan mengeja perubahan-perubahan zaman. Pada kecamuk revolusi digital, kita senantiasa diajak untuk mengingat hakikat dan keberadaan lingkungan.
Senada itu, cendekiawan F. Budi Hardiman (2021) pernah menyoal transformasi yang dihadapi manusia dalam dunia digital—orang-orang mengalami perubahan berarti saat interaksi terhadap layar telepon genggam menggantikan lingkungan fisiknya. Orang-orang terus berhasrat menginginkan percakapan tanpa jeda, namun tidak mengerti di sana terjadi pengabaian terhadap fisik maupun kesehatan mental.
Yang mengkhawatirkan, tak terkecuali dalam tahun kontestasi politik, media digital senantiasa suntuk akan perkara saling berebut kebenaran dengan tafsirnya. Dengan didasarkan motif ideologi, kepentingan, politik, dan bisnis—antara satu dengan lainnya saling menganggap kelompoknya yang paling benar, dan lainnya salah. Media digital kemudian mudah menjadi ruang mendekamnya narasi kebohongan, ujaran kebencian, pseudosains, hingga wabah anti ilmu dan pengetahuan.
Dunia pers dalam lanskap digital menampakkan keresahannya dengan kecepatan yang dimunculkan dari algoritmanya yang ditopang dengan mesin pembelajar. Media menghadapi gejolak berupa situasi pasca kebenaran. Informasi terhempas dan mudah lalu lalang, namun kebenaran menjadi perkara pelik dan samar. Kita mudah menghadapi situasi banjir informasi, akan tetapi di bawah bayang-bayang nirkebenaran. Tak terkecuali di sana adalah persoalan sains.
Mengapa penting menghadirkan sains kepada publik? Pertama, dari sisi kebudayaan yang tak terlepas dari perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam ilmu dan pengetahuan. Alasan ini yang memungkinkan pemahaman kalangan publik terhadap perkembangan zaman tak melulu pada perubahan teknologi yang merupakan fungsi praksis dari ilmu. Namun, publik diajak untuk menghayati proses berilmu.
Kedua, keterlibatan dari lembaga ilmu dan pengetahuan dengan segala aktor di dalamnya. Baik itu universitas maupun lembaga riset. Otoritas keilmuan perlu disambungkan dalam mengatasi ketimpangan pengetahuan yang terjadi di kalangan publik. Rara Akbari Fitriawan (2017) menyebutkan jurnalisme sains dapat dipahami dan disukai mereka yang bukan ilmuwan, namun informasinya yang disampaikan tetap akurat.
Keterlibatan dan peran serta media dalam menggelorakan kasmaran berilmu pengetahuan di negara ini juga perlu direncanakan bersama. Sejalan dengan itu, pada sisi ilmu pengetahuan, perlu upaya sistematis para akademisi dalam menularkan kegairahannya berilmu pengetahuan ke masyarakat luas lewat sajian publik dan tulisan populer (Iwan Pranoto, 2019: 26-27).
Sains dan Teroka Realitas
Kota-kota besar yang memikul keberlimpahan transportasi, industri, dan jejaring pabrik mulai menampakan keringkihannya dengan sederet masalah lingkungan maupun ekologi. Saat Jakarta mendera persoalan polusi, di hampir waktu yang sama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 27 Juli 2023 mengingatkan masalah global dengan mengejutkan, yakni menggantikan frasa pemanasan global (global warming) dengan pendidikan global (global boiling).
Permasalahan lingkungan hidup, baik itu pemanasan global maupun krisis iklim menjadi sejarah panjang dalam perkembangan antroposen. Keberadaannya nyata di pelupuk mata, solusi menghadapinya setidaknya butuh lintas disiplin ilmu dan pengetahuan. Fakta itu mengharuskan keterlibatan pers dalam menghadirkan sajian jurnalis untuk memberi pemahaman dan penyadaran bagi kalangan publik.
Jurnalisme itu dasarnya adalah kata dan bahasa. Jurnalisme ada karena kata dan bahasa (Sindhunata, 2019: 162). Penyenaraian sebuah ilmu dan pengetahuan itu kemudian menjadi penting dan menjadi pokok dari jurnalisme. Bahwa itu bertujuan untuk menghubungkan kalangan publik terhadap ilmu dan pengetahuan. Bisa jadi, jurnalisme dalam konteks ini perlu menaruh kesadaran akan perangai ilmiah.
Sains pada abad XXI semakin menunjukkan keterhubungannya dalam keseharian manusia. Hanya saja, banyak orang tidak mudah menyadari dengan alih-alih memberi anggapan bahwa sains itu merupakan sesuatu yang asing. Pada kenyataan lain, jurnalisme juga memiliki peran terhadap masalah kebahasaan di kalangan publik. Bahasa di dalam revolusi digital terlihat semakin sempit dan bermasalah. Di sisi lain, bahasa jurnalistik sendiri terkadang hanya menyeruak dengan sifat informatif.
Stagnasi bahasa muncul, dan begitu sulit bergerak sebagai bahasa yang memunculkan percakapan panjang. Padahal, narasi sains yang ideal diharapkan dalam jurnalistik adalah bahasa yang meletupkan dialog. Dengan begitu, tulisan sains hadir dengan harapan dapat menjadikan seorang terlibat berpikir, lebih-lebih kemudian melakukan refleksi dan menunjukkan sikap sebagai respons terhadap isu yang berkembang.
Bahasa dan Budaya
Sains dengan demikian jelas memiliki keterhubungan terhadap bahasa dan budaya. Dalam skema pengarusutamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pers sekaligus bahasa ilmiah menjadi bahasan lama dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun 1972, dilaksanakan Seminar Bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh Konsorsium Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaja Departemen Pendidikan dan Kebudajaan.
Catatan dari kegiatan itu terekam dalam buku Seminar Bahasa Indonesia 1972 (Nusa Indah, 1972). Mochtar Lubis menyampaikan materi “Penggunaan Bahasa dalam Pers”. Ia menekankan bahwa pers berperan sebagai alat terbaik dalam menyiarkan istilah-istilah baru, tak terkecuali dalam perkembangan ilmu dan teknologi.
Dengan bahasa jurnalistik, bahasa sains yang cenderung teknis akan lebih mudah dipahami khalayak (Kompas, 24 Maret 2017). Di materi lain, Andi Hakim Nasoetion menyajikan makalah berjudul “Penggunaan Bahasa dalam Ilmu Pengetahuan”. Ia memiliki harapan penuh bahwa kehadiran bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa pengantar ilmu dan pengetahuan yang menghubungkan banyak pihak.
Dalam perkembangan sains mutakhir, ada metode pendekatan yang mulai digalakkan oleh akademisi dalam mencari keterhubungannya terhadap budaya lokal. Metode itu berupa etnosains. Ini menarik menjadi diskursus dalam bahasa pers. Kerja-kerja jurnalisme memusatkan perhatian pada keberadaan pengetahuan-pengetahuan lokal, yang sejatinya itu memiliki struktur ilmiah tersendiri.
Arkian, jurnalisme sains berperan semacam seorang “bidan” yang bertugas sebagai pemantik. Mereka menerjemahkan bahasa sains dan teknologi kepada khalayak untuk mengerti kebaruan dalam perkembangan ilmu. Selain itu, lewat upaya penyajian narasi yang sederhana dan informasinya tetap terjamin kesahihan, sebagai kesadaran atas apa yang pernah disampaikan oleh astronom, Ann Druyan: “Sekarang sains belum punya cara untuk membuat kita bijaksana dan berpandangan jauh. Namun sains bisa menciptakan pengingat mengenai betapa panjangnya masa depan.”[]