Malam itu, tiba-tiba pikiran saya tertuju pada sebuah reels Istagram dari akun gusdurian.ig yang mengunggah konten video mendiang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. “Bahwa kita melihat semua makhluk ini ada rejekinya masing-masing, di Tangan Allah. Jadi tidak berarti kita harus putus asa apabila keadaan menjadi demikian buruk bagi kita. Seburuk-buruk keadaan, tentu ada baiknya.”
Dan Gus Dur pun mengutip sebuah syair. Saya tertarik dengan bait syair itu, lantas mengeksplorasinya di jagat maya, hingga memberanikan diri bertanya dan mentas-hihnya pada Sahabat Gus Dur, Mbah Kiai Ahmad Mustofa Bisri. Entahlah, kenapa malam itu saya segila ini.
Sebuah syair yang ditulis penyair Muhdzorim, Qois bin Khathiem. Syair indah ini dimuat dalam sebuah kitab tasawuf yang mengangkat persoalan akhlaq dan etika kehidupan dunia dan beragama, berjudul Adabud-Dunya wad-Din. Sang penulis, Imam al Mawardi atau lengkapnya Imam Abi Hasan Ali bin Muhammad bin al Basri al Mawardi melengkapi ulasannya dengan bait puisi itu ketika menjelaskan bagaimana seharusnya menyikapi dunia fana ini (Adabud-Dunya).
وَمِن عادَةِ الأَيّامِ أَنَّ خُطوبَها # إِذا سَرَّ مِنها جانِبٌ ساءَ جانِبُ
Wamin ‘adati ayyami, anna khuthubaha #
idza sarra minha janibun, sa-a janibu.
Diantara karakteristik masa itu, adalah hadirnya sejoli kehidupan.
Bila sebagian senang, maka sebagian lagi susah.
وَمَا أَعْرِفُ الْأَيَّامَ إلَّا ذَمِيمَةً … وَلَا الدَّهْرَ إلَّا وَهُوَ لِلثَّأْرِ طَالِبُ
Wama a’riful ayyami illa dzamimatan
walad dahra illa huwa lits-tsa’ri tholibu
Dan saya tidak mengetahui hari-hari, kecuali celaan
Tidak juga tentang waktu kecuali kesibukan para pencarinya
Bagaimana menyikapi dunia, maka belajarlah pada para bijak bestari. Di hadapan mereka, susah-senang, derita-bahagia, hanyalah urutan waktu dan keniscayaan belaka. Derita bisa muncul dari hal sederhana yang bila salah menyikapinya bisa berdampak sengsara yang serius. Sebaliknya, bila tepat menyikapinya, maka derita hanyalah waktu tunggu menuju bahagia.
Gus Dur menarasikannya dengan indah: Seburuk-buruk keadaan, tentu ada baiknya! Suatu ketika dia juga pernah berucap: “Ada masalah yang hanya bisa diselesaikan oleh waktu!” Bahkan menghadapi sakit yang hebat pun, dia masih bisa mewejang kita: “Sakit atau tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya!”
Dari Sang penggubah Kasidah Burdah, Imam Albushairi, kita juga bisa mengais hikmah dan pelajaran yang sama. Dia mengajari kita, bagaimana ‘mengalahkan’ deritanya dengan mengoptimalkan kekuatan dari dalam jiwanya bernama cinta. Nama lengkapnya, Imam al-Alim Muhammad bin Sa`id bin Hammad bin Muhsin bin Abdullah bin Shinhaj bin Hilal ash-Shinhaji. Lahir pada 608 Hijriyah di sebuah desa bernama Bushair, bagian dari wilayah So`id, Negeri Mesir. Karenanya ada kata Albushairi di belakang namanya. Namun di Indonesia lebih populer dengan Imam Albushiri.
Dia lumpuh! Kelumpuhan tentulah derita, dan Albushiri bisa mengatasinya dengan kerelaan dan kekuatan cinta pada kuasa Sang Maha Kasih. Jalan yang dipilihnya adalah jalan sunyi mencintai, merindu dan menghadirkan model kehidupan Baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam sakitnya, Albushiri menuliskan puisi tentang kesempurnaan Allah yang dititipkan dalam sosok seorang Muhammad. Dia mencoba menempatkan derita tak lebih sebagai daun pelindung dari terik panas hari.
Dan Albushiri mulai menulis puisi. Di kemudian hari, kita mengenalnya sebagai Shalawat Burdah. Di bagian awal bait puisi, dia melukiskan gelora cintanya. Deretan syair ini, sangat populer di kalangan kaum santri.
Dapatkah kau pungkiri cinta,
sedangkan air mata dan derita telah bersaksi, jujur tanpa dusta.
Kesedihanmu telah melukis dua garis tangis yang kurus lemah.
Bagai bunga kuning di kedua pipi dan mawar merah.
Cinta itu sungguh istimewa.
Menemui kekasih dalam mimpi, bisa membuat tidur terjaga.
Amboi, hanya Cintalah yang bisa:
kenikmatan tidur nyenyak dalam naungan derita.
Energi cinta menciptakan keajaiban. Imam Bushiri menulis bait-bait puisi Burdah dalam lelah lumpuh yang nyaris berujung frustasi. Yang tersisa hanyalah seberkas sinar keyakinan, bahwa tak ada yang tak mungkin bila Tuhan pencipta Muhammad membuat keputusan. Tintanya terus menggores kertas puisi, hingga sampailah bait ke 49-50. Dilambangkan nabi adalah matahari.
Tampak kecil dari kejauhan,
padahal mata tak kan mampu melihat bila matahari mendekat.
Bagaimana bisa seorang hamba akan tahu sejatinya Nabi,
kalau hanya dengan mimpi, sudah puaslah diri.
Famablaghul ilmi fihi annahu basyarun.
Dimanakah puncak penjelasan tentang siapa nabi.
Ketahuilah dia juga manusia.
Puisi ke-51 ini masih setengah bait, saat Albushiri tiba-tiba terlelap. Rasul datang dalam mimpinya, seraya bersabda: sempurnakan separuh baitmu dengan puisi ini:
Wa annahu khairu khalqillahi kullihimi.
Dialah Muhammad, Makhluk terbaik yang pernah dicipta Tuhan Penguasa Alam.
Dalam mimpi, Rasul mengusap tubuh lumpuh Albushiri. Dia tersentak terjaga. Dan Allah membuat keputusan. Albushiri pulih, tersembuhkan dari lumpuh menahunnya. Allahumma shalli Ala Sayyidina Muhammad.
Hikayat ini begitu populer. Tapi kerap kita mengkonsumsinya sebagai cerita, bukan pelajaran. Albushiri membuktikan bahwa kekuatan cahaya cinta terbukti bisa mengalahkan jilat api amarah derita. Dengan puisi, Albushiri mengunggah pesan abadi, bahwa Cinta itu aneh dan selalu sulit dimengerti. Cinta membuat telinga tuli, dan akan membikin perih para pencaci. Cinta jauh dari kata sembunyi, karena dia lebih dari sekadar pertanda hati. Cinta bisa jadi obat penyembuh derita, walau awalnya tak disadarinya.
Bisakah kita menggunakan keajaiban Albushiri dan nasihat Gus Dur di atas dalam kehidupan nyata? Mestinya bisa, tentu dalam konteks yang jauh lebih sederhana. Bukan lumpuh yang sedang kita hadapi, kan? Juga tidak sebarat ujian dan misi luhur yang diperankan Gus Dur. Sekadar ‘batu kerikil’ tidak terwujudnya imajinasi kesempurnaan duniawi. Kalau imajinasi liar itu dibiarkan menjalar ke seluruh jiwa, maka di situlah awal dari segala derita yang hanya akan memantik putus asa.
Bukankah bersama kesulitan ada kemudahan. Seburuk-buruk keadaan, tentu ada baiknya! Tinggal kita cari dimana pintu kebaikan itu berada.
Surabaya, 19 Juni 2023