Kesalahan terbesar manusia adalah merasa tahu atas segala hal, padahal hakikatnya yang diketahui adalah yang tidak diketahui. Hal yang disangka baik, ternyata menyerang balik. Sesuatu yang dikira buruk, ternyata memberikan hangat peluk.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah selalu berprasangka baik (husnudzon) kepada Allah Swt, terhadap sesuatu yang sedang terjadi, bahkan pada seseorang yang dikira bersebrangan, ternyata jadi menteri penting. Sebaliknya, seorang yang dianggap orang dalam, ternyata dibuang. Paham?
Di dalam kitab Hikayatus Sholihin karya al-Alim Ahmad Yasin bin Asymuni, dikisahkan tentang sikap salah satu nabi yang mempertanyakan keadilan Allah. Berikut kisah lengkapnya.
Dikisahkan ada seorang nabi yang sedang beribadah di gunung yang sangat tinggi. Di gunung tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dengan air yang sangat jernih. Setiap pagi hingga menjelang malam, sang nabi duduk bersila di puncak gunung untuk berdzikir kepada Allah.
Pemilihan tempat di puncak gunung memiliki tujuan untuk menghindari penglihatan dan pujian manusia. Dari puncak tersebut, sang nabi juga bisa melihat siapapun yang beristirahat di dekat sumber mata air untuk melepas lelah dan mengambil air.
Suatu hari ketika sang nabi sedang duduk berzikir kepada Allah, Ia melihat seorang penunggang kuda yang sedang berjalan menuju sumber mata air. Setelah berada dekat dengan sumber mata air, penunggang kudu turun dari kudanya sambil melepas sebuah bungkusan dari leher kudanya. Setelah itu, penunggang kuda beristirahat dan meletakkan bungkusan di sebelahnya. Setelah beristirahat, meminum air, dan mengambil air secukupnya sebagai bekal; penunggang kuda melanjutkan perjalanannya dan melupakan bungkusannya di dekat sumber mata air. Bungkusan tersebut berisi beberapa keping dinar.
Selang beberapa saat, datang seorang laki-laki mendekati sumber mata air dan melihat bungkusan yang berisi beberapa keping dinar yang tergeletak tanpa ada pemiliknya (sebenarnya milik penunggang kuda). Tanpa bertele-tele, lelaki tersebut mengambil bungkusan uang milik penunggang kuda. Setelah menyelesaikan rasa hausnya, lelaki tersebut pergi meninggalkan sumber mata air dengan bungkusan uang di pundaknya.
Selanjutnya, datang seorang pemanggul kayu bakar yang juga ingin beristirahat dan meminum air di sumber mata air. Ia memanggul kayu bakar dengan tertatih-tatih dan ingin melepas letih dengan air yang sangat jernih dari sumber mata air.
Tiba tiba, datanglah penunggang kuda yang hendak mengambil bungkusannya yang tertinggal. Penunggang kuda menyapu pandangannya ke segala arah di sumber mata air dan hasilnya nihil. Penunggang kuda tidak menemui bungkusannya. Akhirnya, penunggang kuda bertanya kepada pemanggul kayu.
“Hei, Kau! Di mana bungkusanku yang kuletakkan di sini?” penunggang kuda bertanya dengan nada marah.
“Sungguh aku baru tiba di sini dan aku tidak melihat apa pun di sini,” jawab pemanggul kayu.
Jawaban yang disampaikan pemanggul kayu ternyata dibalas oleh penunggang kuda dengan tebasan pedang dan akhirnya pemanggul kayu meninggal dunia. Setelah memeriksa pakaian pemanggul kayu dan tidak menemukan apapun, penunggang kuda memutuskan lari dan melanjutkan perjalanannya.
Sang nabi yang melihat nasib tiga laki-laki tersebut, mulai mempertanyakan keadilan Allah. Sang nabi berkata:
“Ya Allah, seorang lelaki mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan penunggang kuda membunuh pemanggul kayu dengan salah sangka. Bukankah ini semua adalah kezaliman?”
Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada sang nabi: “Fokuslah terhadap ibadahmu, jangan mengatur perkara yang bukan urusanmu! Ketahuilah sesungguhnya orang tua si penunggang kuda telah mencuri 1000 keping dinar milik orang tua si laki-laki yang mengambil bungkusan penunggang kuda. Bukankah urusannya menjadi selesai (clear), sebab si anak menjadi ahli waris orang tuanya? Dan sesungguhnya si pemanggul kayu pernah membunuh orang tua penunggang kuda. Bukankah urusannya juga menjadi adil, sebab si pemanggul kayu telah mendapatkan qishash?
Terungkaplah segala kebijaksanaan Allah di dalam perkara yang dianggap zalim oleh sang nabi. Bukankah sudah dikatakan di awal tulisan: hakikatnya yang diketahui adalah yang tidak diketahui? Wallahu a’lam