Sedang Membaca
Novel, Tubuh, dan Waktu
M. Taufik Kustiawan
Penulis Kolom

Mahasiswa IAIN Surakarta, Santri Ponpes Nurussalman, Laweyan, Solo.

Novel, Tubuh, dan Waktu

Di bacaan novel-novel Eropa, “waktu” menjadi pusat perhatian bagi kaum pemikir. Seperti kisah-kisah di novel berjudul Enstein’s Dreams (2015) garapan Alan Lightman. Di novel itu, kita diajak  memahami esensi dan eksistensi waktu.

Pemahaman tentang waktu bagi kalangan para ilmuwan tidak hanya berkutat pada peristiwa putaran gerak kehidupan belaka. Memahami waktu juga tidak sekedar memperhitungan dan mempertimbangan dinamika kehidupan baik sosial maupun individu.

Tetapi, memahami “waktu” juga menjadi  kepentingan penelitian dalam mempelajari teori-teori dan ilmu sains yang berkembang. Putaran waktu menjadi gerak tubuh para ilmuwan untuk mewujudkan peradaban berkemajuan.

Pada abad ke-19, ilmuwan Eropa memiliki kesadaran mempelajari teori fisika demi membangun peradaban berteknologi. Kita bisa mencermati dan memahami kisah pada 24 April 1905 di novel Alan Lightman.

Bagi Alan Lightman, eksistensi waktu memiliki dua perspektif yang berbeda seiring pergantian perubahan sosial-budaya pascastrukturalisme. Pemaknaan ini memiliki dua definisi: bahwa  “waktu” dapat sebagai bentuk keterlibatan mekanis dan “waktu” sebagai bentuk keterlibatan tubuh. Kita dapat memahami, bahwa perkembangan kultur sosial-budaya pascastrukturalisme tidak menjadikan waktu sebagai gerak tubuh yang dapat terhindar dari teknologi muthakir.

Peristiwa itu menjadikan waktu sebagai kebutuhan mekanis telah menciptakan ketergantungan terhadap teknologi secara berlebihan. Orang-orang semakin kehilangan kesadaran waktu yang semestinya dapat diukur oleh gerak tubuh secara ragawi. Kehilangan kesadaran tubuh ini disebabkan kurangnya kesadaran individu dalam mengontrol waktu akibat kecanduan media sosial.

Di zaman postmodernisme ini, orang-orang mengalami krisis kesadaran sosial yang dapat mempengaruhi keterlibatan tubuh dan waktu. Perubahan sosial juga menyebabkan terjadinya krisis kerohanian dan menguatnya legitimasi kepentingan politik identitas secara massal.

Tubuh Modern

Baca juga:  Gus Dur, Sang Arkeolog Kuburan

Mafhum, memasuki  era postmodernisme, dunia mengalami perubahan sosial secara universal. Perubahan sosial secara komunal ini ditandai dengan adanya aktivitas gaya hidup yang berlebihan atas dorongan media sosial. Masyarakat modern menjadi kecanduan media sosial hingga menyebabkan krisis derajat kerohanian. Orang-orang semakin mudah menebarkan ujaran kebencian, hujatan, serta  menebar kebohongan hingga acapkali menebar polemik dan konflik.

Kita seolah melupakan teori disiplin tubuh oleh Michel Foucault. Bahwa  di setiap masyarakat, tubuh senantiasa menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggungjawab, menjadi terampil dan meningkatkan kekuatannya. Tubuh senantiasa menjadi bentuk sasaran “kuasa”, baik dalam arti anatomik-metafisik. Kekuasaan tubuh juga dapat dipahami dari teknik politis agar dapat mengatur, mengontrol, mengoreksi segala aktivitas tubuh.

Dari teori Foucault, kita semestinya dapat memahami bagaimana cara mengendalikan kesadaran individu untuk mengendalikan kuasa tubuh secara bijaksana. Kesadaran individu akan dapat mempengaruhi perilaku dalam bersosial menjadi lebih terbuka. Kesadaran pada tubuh dan waktu inilah yang menjadikan orang tidak gampang menebar kebencian serta hujatan. Maka, pentingnya mengendalikan tubuh dan waktu dapat membangun kultur sosial, agama, budaya agar tidak menyebabkan krisis identitas serta krisis kerohanian.

Arus postmodernisme dan kemajuan peradaban teknologi juga menandai terjadinya perubahan sikap manusia melupakan kodrat sebagai makhluk sosial. Arus globalisasi berdampak pada perilaku manusia semakin tertutup dan egoisme. Kasus ini pernah terjadi di negara Jepang tatkala kemajuan teknologi mulai menggantikan tugas-tugas manusia. Kemajuan sistem kapitalisme di negara Jepang menjadikan manusia semakin bersikap egoistik tanpa memikirkan kepentingan sosial. Ryunosuke Akutagawa pernah menarasikan peradaban modern itu lewat novel berjudul Kappa (2016).

Baca juga:  Berpuisi Kota Suci

Negeri Kappa merupakan cerita fiksi yang dibangun Akutagawa sebagai kritik bagi kemajuan peradaban modern di negara Jepang. Budaya populer yang telah berkembang  menyebabkan orang-orang melupakan tradisi kebudayaan di negeri sendiri. Akutagawa mengisahkan seorang manusia yang teresat di negeri Kappa, negeri yang memiliki peradaban yang dilengkapi teknologi. Kebangkitan teknologi modern di negeri Kappa menjadikan penduduk Kappa mengalami degradasi moral.

Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri Kappa menjadikan teknologi menggantikan tugas-tugas penduduk Kappa. Hal itu menyebabkan penduduk Kappa mengalami frustasi hingga mereka banyak melakukan aksi bunuh diri.

Dari novel Akutawaga, kita dapat memahami bahwa terjadinya degrasasi moral di negara Jepang lantaran orang-orang melupakan tradisi seni lokal, kebudayaan, serta religiusitas.

Kebudayan populer yang berkembang menyebabkan hilangnya kesadaran kerohanian. Mereka tidak memiliki kesadaran individu, bahwa tindakan tersebut telah menyia-yiakan tubuh dan waktu yang semestinya dapat berguna untuk bersosial.

Waktu Terakhir  

Pada 1994, ada seorang profesor sebelum akhir hayatnya pernah menyampaikan kuliah tentang pentingnya memanfaatkan waktu dan tubuh untuk kepentingan bersosial. Kuliah itu pernah terjadi di Amerika Serikat dan terangkum dalam novel Selasa Bersama Morrie (2016) gubahan Mitch Albom.

Profesor itu bernama Morrie Schwartz, seorang guru besar yang menderita penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS). Akibat menderita penyakit ALS, Morrie divonis hidupnya tidak akan bertahan lama oleh dokter. Penyakit yang Morrie derita begitu ganas hingga dia harus sering menjalani terapi dan pengobatan.

Baca juga:  Menelisik Makam di Balik Kuburan Wali (3, Bagian Akhir)

Meskipun Morrie menderita penyakit, ia tetap mengajar kuliah disisa-sisa akhir hidupnya. Morrie mengajar di sebuah Universitas Brandeis. Namun, setelah menderita sakit tersebut, Morrie mengajak mahasiswanya untuk belajar di rumahnya. Perkuliahan pun dilaksanakan setiap hari selasa sepekan sekali. Mitch Albom menuliskan kenangan dalam bentuk biografi bersama Morrie. Mitch selalu ingat nasehat-nasehat Morrie dalam perkulihannya “Kita orang Amerika hidup dalam budaya yang tidak membuat kita merasa nyaman. Peradaban ini mengajarkan banyak hal yang keliru. Dan kita harus cukup tangguh untuk berani mengatakan bahwa bila budaya itu tidak sesuai dengan hati, jangan diteruskan.”

Pada perkuliahannya, Morrie turut menyampaikan dan mengkritisi perkembangan kebudayaan populer yang berkembang di Amerika. Dia menganjurkan para mahasiswanya untuk senantiasa belajar membaca buku, mempelajari ilmu-ilmu sosial ketimbang mengikuti gaya hidup modern. Nasehat itu  selalu Mitch ingat tatkala Morrie telah tiada. Selain menyampaikan berbagai petuah, Morrie tidak pernah merasa takut tatkala menghadapi kematian. Meskipun ia harus melawan dan merasakan rasa sakit, namun ia tetap memberikan waktunya untuk kepentingan keilmuan.

rofesor Morrie memberikan pelajaran hidup dan serta bagaimana upaya melawan kematian. Disisa waktu kehidupannya, ia masih bersedia mengajarkan berbagai hal kepada orang lain. Orang-orang boleh kehilangan bentuk fisiknya, namun ada ingatan yang abadi pada nama, kebaikan, serta karya-karya yang telah ia hasilkan.

Renungan itu yang selalu Morrie katakan kepada para mahasiswanya, bahwa meskipun tubuh telah rusak, dan apabila waktu masih berjalan, kita harus melakukan hal-hal yang berguna kepada diri sendiri serta untuk orang lain.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top