Barangkali, Wittgenstein adalah salah seorang yang jeli dalam memandang seluk-beluk bahasa. Sebelum anarkisme epistemologis Feyerabend dan dekonstruksi Derrida lahir, yang sama-sama memiliki implikasi pada keberpihakan pada pluralisme, pemikir yang dikenal pemurung ini sudah menemukan bahwa ternyata bahasa adalah suatu bentuk kehidupan (Lebensform).
Sederhananya, meskipun bahasa sopir dan kernet angkutan umum sama dengan bahasa mursyid dan badal-nya dalam dunia tarekat, tapi keduanya merujuk pada bentuk kehidupan yang berbeda.
Taruhlah slogan yang familiar bahwa “keselamatan penumpang di tangan sopir.” Tentu slogan ini, pada tingkat pemahaman nalar, akan memiliki kesesuaian antara dunia angkutan umum dan dunia tarekat. Namun pada bentuk kehidupan atau sisi praktisnya cukup memiliki perbedaan yang bahkan terasa tak tersepadankan. Di sini sebuah problem tentang analogi dalam bahasa pun menjadi dapat dipertanyakan ketika rujukan analogi itu dipahami sebagai sesuatu yang sama.
Dalam al-Qur’an seumpamanya, dasar dari eksistensi seorang mursyid dapat ditemukan dalam surat al-Kahfi, meskipun di sana tak secara pasti merujuk pada sesosok orang. Sementara dalam kesusastraan Jawa istilah mursyid itu lebih merujuk pada seorang suami dimana, dalam etika tradisional Jawa, idealnya ia mesti dapat membimbing dan menuntun sang isteri.
Tak jelas benar apakah dalam kesusastraan Jawa itu sang mursyid atau sang suami di sini adalah seperti halnya kisah Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras dalam Serat Centhini yang memang memiliki kualifikasi seorang mursyid seperti dalam sistem tarekat atau sekedar suami beserta segala tuntutan umumnya. Bukankah rumah tangga kerap pula dianalogikan sebagai bahtera laiknya bus atau mikrolet?
Saya pun menemukan ekspresi yang lain tentang suami yang seperti halnya seorang Presiden. Dalam bahasa Jawa keseharian sering sang isteri dibahasakan sebagai “rakyat” sebagaimana dalam ungkapan: “Menika rakyat kula (ini isteri saya).” Bukankah dalam catatan Hakim al-Tirmidzi sang mursyid dalam sistem tarekat adalah laiknya Kanjeng Sultan yang merupakan seorang wali dari suatu wilayah (spiritual)?
Dengan bersandar pada Wittgenstein, ternyata satu istilah atau satu kata yang sama, “mursyid,” merujuk pada berbagai bentuk kehidupan yang cukup berbeda dan bahkan seakan tak tersepadankan: dunia angkutan umum, dunia tarekat, dan dunia rumah tangga. Ketaktersepadanan ini akan muncul ketika, misalnya, parameter dunia angkutan umum diterapkan pada dunia tarekat atau dunia rumah tangga dan sebaliknya. Di sinilah kemudian pluralitas atau keberagaman kenyataan adalah suatu keniscayaan atau fakta yang tak dapat dipungkiri. Lebih jauh, radikalisme, oleh karenanya, adalah sebentuk kepecundangan atau sebuah upaya pelarian diri dari kenyataan yang ada.
Tapi saya kira ada satu fakta yang cukup menarik, dan mungkin berpotensi menggoyahkan berbagai bentuk kehidupan, ketika ternyata tak semua tarekat atau sistem spiritual meletakkan sesosok mursyid pada pribadi orang tertentu. Sosrokartono adalah seorang spiritualis, atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai seorang sufi, yang seperti tak memiliki afiliasi pada tarekat atau sistem spiritual tertentu. Kakak kandung Kartini ini pernah meninggalkan kata-kata mutiara yang menunjukkan prinsip spiritualnya: “Murid,Gurune Pribadi. Guru, Muride Pribadi.”
Pada kisah pewayangan Jawa prinsip spiritual yang tak meletakkan sesosok mursyid pada pribadi tertentu adalah kisah Dewa Ruci yang merupakan guru sejati atau jati diri sang Bima Sena sendiri. Sementara pada kebanyakan sistem kapitayan di Jawa, tak sebagaimana dalam sistem tarekat yang berasal dari luar Nusantara, sosok mursyid itu tak pula merujuk pada pribadi tertentu. Taruhlah seperti dalam Paguyuban Sumarah dimana Chakiki (yang konon hanya R.Ng. Soekinohartono sendiri yang menjadi warana-nya) dan Chak (yang terkadang muncul pada penerus R.Ng. Soekinohartono), tak merujuk pada pribadi orang tertentu. Artinya, baik Dewa Ruci, Chakiki, maupun Chak, tak bersifat material, melainkan spiritual. Karena itulah dalam spiritualitas Jawa pluralitas atau perbedaan (gaya) lebih di beri ruang dan monopoli kebenaran adalah suatu hal yang musykil terjadi.
Dengan demikian, akan cukup menarik ketika menautkan karakteristik sistem spiritual Jawa yang tak mengenal sesosok mursyid yang mempribadi dengan dunia rumah tangga (relasi antara suami dan isteri), dunia angkutan umum (relasi antara sopir dan penumpangnya), serta dunia politik (relasi antara Kanjeng Sultan dan kawula-nya). Tentu demokrasi adalah salah satu implikasinya yang dapat terjadi. Tapi dunia di hari ini tak terdiri dari dua dunia belaka seperti di era modern: dunia fisikal dan dunia ideal.
Terdapat satu dunia lagi yang memaksa tatanan-tatanan yang pernah ada bergeser peran dan fungsinya: dunia digital. Dunia yang lahir belakangan ini rupanya tak lagi, seumpamanya, menempatkan sesosok mursyid sebagaimana dalam sistem tarekat ataupun dalam kebanyakan sistem kapitayan. Mengingat sifat dunia digital yang seolah meleburkan dunia fisikal yang terbatas dan dunia ideal yang tak terbatas, sesosok mursyid pun kiranya akan memiliki persinggungan di antara dua bentuk kehidupan itu.