Sedang Membaca
Haji dan Desentralisasi Rumah Tuhan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Haji dan Desentralisasi Rumah Tuhan

Haji Umroh

Tan ingsun maparangah kahananmu

Sakaliring dudu jati

Amung daden kang ngreridhu

Nanging tumraping margi

Linampahan kanthi tanggon

—Heru Harjo Hutomo

Dalam banyak kisah keagamaan dan spiritualitas terdapat peringatan bahwa yang terpenting bukanlah mencapai apa yang menjadi tujuan, namun adalah mau apa seusai mencapai yang menjadi tujuan tersebut. Suatu kali Rumi pernah di-“tampar” oleh seorang yang nyleneh, Shams-i Tabrizi. “Tinggi mana derajat seorang Bayazid yang berucap ‘Mahasuci aku’ dengan Muhammad yang mengaku hanya sebagai hamba-Nya?”

Rumi, tak peduli seberpengetahuan apa, karena waktu itu ia adalah seorang mufti di Konya, tampak tak bisa menjawab pertanyaan dari seorang yang nyleneh itu—dalam satu versi bahkan suami si Umi Khatun itu pingsan setelah Shams-i membuang kitab-kitab Rumi ke kali dan sama sekali tak basah.

Tampak dalam peristiwa penyingkapan Rumi itu Shams-i berupaya menandaskan bahwa keistimewaan Muhammad bukanlah pada pencapaiannya atas sebuah derajat. Namun, keistimewaan putra Abdullah itu adalah pada kiprah setelah mendapatkan pencapaian itu.

Dalam ritus ibadah haji terdapat sejarah tentang haji wada’ dimana Muhammad berpesan di padang Arafah tentang apa yang telah dilakukannya setelah mendapatkan misi kenabian, yang dalam ungkapan Jawa dikenal sebagai “Hamemayu hayuning bawana.”

Peristiwa ibadah haji jelas adalah sebentuk laku pengharfiahan seorang anak manusia untuk berkunjung pada baitullah atau rumah Tuhan dan mendapatkan kenyataan bahwa sejatinya satu-satunya predikat manusia yang tersisa hanyalah sekedar hamba-Nya. Secara psikologis-emosional hal ini identik dengan seorang yang tumeleng ing batine dhewe (memusat pada batinnya sendiri) yang konon adalah rumahnya Tuhan—“Qalbul mu’min baitullah.”

Baca juga:  Menghikmati Resonansi dari Terjemahan Jawa Surat Phatikhah

Maka, dalam agama Islam ibadah haji wajar dianggap tak berlaku mutlak sebagai rukun Islam sebagaimana rukun-rukun lainnya seperti syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Bukan pada masalah bahwa karena tak semua orang mampu melakukannya, namun pada dasarnya ibadah haji adalah sebentuk empirisasi atas proses dan kenyataan, yang dalam ungkapan Jawa dikenal sebagai, “sangkan-paraning dumadi, manunggaling kawula-Gusti, dan hamemayu hayuning bawana” (Sangkan-Paran dan Sekilas Kenangan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Empirisasi terkadang memang diperlukan untuk menambah kadar keimanan seseorang, laksana makan buah jeruk yang mesti dilakukan untuk merasakan kekecutannya. Namun yang terpenting dari ibadah haji, yang merupakan empirisasi sangkan-paraning dumadi (Innalillahi wa inna ilahi raji’un) dan manunggaling kawula-Gusti (Abdul-Lah), adalah hamemayu hayuning bawana, bagaimana bawana ageng (dunia) dapat sebangun dengan bawana alit (qalbul mu’min).

Tak terperangah aku pada keadaanmu

Segalanya bukanlah yang sejati

Hanya jadian yang mengganggu

Namun ibarat jalan

Mestilal dilalui dengan tabah

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top