Sedang Membaca
Kapitayan (3): Diskriminasi dan Intimidasi Pemerintah Orde Baru
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Kapitayan (3): Diskriminasi dan Intimidasi Pemerintah Orde Baru

Whatsapp Image 2021 02 23 At 22.32.30

Aliran Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” merupakan istilah yang digunakan sejak era Orde Baru untuk merujuk pada berbagai aliran spiritual yang dianggap sebagai kearifan lokal yang asli tumbuh dan berkembang dari rahim bangsa Indonesia. Istilah itu pun sebenarnya tak jauh menyimpang dari istilah yang saya kira telah digunakan sejak era kerajaan-kerajaan kuno sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia. Di pulau Jawa spiritualitas yang dianggap asli nusantara ini dikenal dengan nama “kapitayan.”

Dalam bahasa Indonesia istilah “kapitayan” memang berarti “kepercayaan.” Namun demikian, istilah “kapitayan” juga memuat esensi yang dikandung oleh akar kata istilah itu sendiri: “Taya” atau “Tunggal.” Karena itu tak aneh ketika ada yang menganggap bahwa bangsa Indonesia sebelum kedatangan agama-agama besar telah mengenal dan menghayati ketuhanan yang bersifat esa. Misalnya pendapat seorang sejarawan, M.C. Ricklefs, yang menyatakan bahwa awal kedatangan agama Islam dengan sufismenya sungguh tak asing bagi orang-orang Jawa ketika itu sehingga mereka dapat secara mudah memeluk agama Islam tanpa gesekan yang berarti. Sebab, terdapat kontinuitas-mistis dalam kapitayan dan sufisme (Nusantara dan Batas Imajinasi Sebuah Bangsa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Atas dasar hal itu, dapat dipahami seandainya dahulu NU, lewat KH. Wahid Hasyim dan KH. Hasyim Asy’ari, bersikukuh pada kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” tanpa menambahkan kalimat “syari’at Islam” di belakangnya, sebab kalimat itu sudah dengan sendirinya sesuai dengan prinsip ketauhidan dalam Islam” (Pancasila dan Paradigma Autochthony NU, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (4): Deradikalisasi dalam Sufisme Nusantara

Kapitayan sendiri sebenarnya juga tak satu dan seragam. Pada tahun 1953, Departemen Agama mencatat setidaknya terdapat 360 aliran penghayat di pulau Jawa belaka, atau saat itu disebut pula dengan aliran kebatinan, yang telah diakui dan dijamin hak beragamanya oleh pasal 29 UUD 1945 (Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, 1950an-2010an: Romo Semono Sastrodihardjo dan Aliran Kapribaden, Aryono, Majalah Historia, Edisi 31 Maret 2018).

Hal ini seperti halnya varian tarekat dalam sufisme yang memiliki aliran, cabang maupun ranting yang bermacam-macam. Taruhlah di Jawa tentang kepercayaan wahyu yang terbelah menjadi dua pada zaman perang kemerdekaan yang mendasari terbentuknya aliran Subud dan Sumarah (Kapitayan dan Relasi Keesaan: Sekelumit Catatan Sejarah Persinggungan Tarekat Nusantara dan Tarekat Pendatang, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Seandainya apa yang dikenal sebagai tarekat dalam sufisme, kecuali aliran Wahidiyah dan Shidiqqiyah, identik dengan orang-orang non-nusantara, seperti Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan sebagainya, maka para pendiri aliran penghayat adalah orang-orang asli nusantara.

Dalam perjalanan sejarahnya aliran-aliran kapitayan belum menjadi suatu hal yang dianggap aneh dan menyimpang serta dapat hidup berdampingan dengan agama-agama yang ada tanpa adanya gesekan yang berarti sampai tragedi ’65 memaksa mereka untuk akhirnya menjadi korban diskriminasi pemerintah Orde Baru. Misalnya pada masa Kyai Sadrach, identitas keagamaan bahkan belum menjadi ganjalan untuk menemukan “kebenaran” dengan berguru di antara satu guru ke guru lainnya yang berbeda afiliasi keagamaannya (Eklektisisme Kiai Sadrach, Heru Harjo Hutomo, https://saa.iainkediri.ac.id).

Baca juga:  Kluwak

Pasca tragedi ’65 banyak aliran penghayat diasosiasikan dengan PKI yang kemudian membuat mereka mengalami berbagai macam diskriminasi dan intimidasi yang akhirnya memaksa mereka untuk tunduk pada agama-agama resmi yang telah diakui oleh pemerintahan Orde Baru seandainya tak ingin terus-menerus mengalami penindasan. Pengasosiasian banyak aliran penghayat ke Partai Komunis Indonesia tampaknya juga dipicu oleh sikap kritis mereka pada kekuasaan. Sebab, apa yang dalam diskursus politik Indonesia selama ini disebut sebagai “kaum abangan” ternyata merupakan istilah yang dalam sejarahnya pernah digunakan untuk merujuk para pengikut Syekh Siti Jenar yang identik dengan Islam heterodoksnya (Genealogi Kaum Abritan atau Abangan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).

NU pun, sebagai salah satu ormas keislaman terbesar di Indonesia, pernah pula dalam sejarahnya menganggap penyebutan aliran penghayat yang secara konstitusional setara dengan agama-agama resmi sebagai ancaman terhadap status Islam sebagai agama dan memprotesnya dengan keras. Hal ini disuarakan oleh KH. Bisri Syansuri selaku Presiden Majelis Syuro PP NU (Pergulatan Aliran Kepercayaan Dalam Panggung Politik Indonesia, 1950an-2010an: Romo Semono Sastrodihardjo dan Aliran Kapribaden, Aryono, Majalah Historia, Edisi 31 Maret 2018). Meskipun dalam sejarahnya kemudian, salah satu cucunya, Abdurrahman Wahid, mengakui kalangan penghayat sebagai “saudara” dan seumur hidupnya berupaya membela hak-hak sipilnya sebagai sesama warganegara sebagaimana komunitas non-muslim lainnya (Perang Jawa Sebagai Tonggak Historis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Baca juga:  Tak Lekang di Telan Zaman: Dinamika Aboge di Antara Ajumanis, Amiswon, dan Asapon

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top