Normal baru atau New Normal yang dalam bahasan Arab disebut Ardh Jadidah sekarang ini begitu popular di seluruh lapisan masyarakat dunia. Sekalipun istilah ini sudah biasa diterapkan dalam dunia ekonomi ketika dunia pernah dilanda krisis moneter pada 1998. Hanya saja di tahun 2020 sebagai dampak pandemi Covid-19, milyaran penduduk bumi lebih akarab dengan new normal dibandingkan peristiwa sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Akibat penyebaran Covid-19 yang tak kunjung selesai, kita dituntut menjalani prilaku hidup baru, pola interaksi sosial yang berubah, secara bekerja dan berkesibukan yang tidak sama di waktu normal. Normal baru membuat semua orang harus menerima, mencerna, dan belajar menerapkan tentang hal-hal baru.
Manusia mulai merasakan: “Ooh, seperti ini kondisinya.” Lalu berpikir, “Kalau demikian, berarti apa yang harus disiapkan”. Kemudian belajar menerapkan, mulai dari ke mana-mana menggunakan masker, di mana-mana menjaga jarak, serta yang mana saja dapat dilakukan dan dikerjakan. Adakalanya orang dapat dengan mudah berproses dan beradaptasi dalam situasi normal baru, akan tetapi banyak juga yang tidak siap dengan kondisi semacam ini.
Pada kenyataannya kemudahan dan kesulitan menjalani situasi normal baru bukan ditentukan taraf pendidikan dan ekonomi orang. Para calon sarjana dan sarjana tak sabar melewati situasi normal baru, dengan alasan ingin cepat lulus kuliah dan bekerja. Pedagang dan pengusaha juga ingin cepat-cepat membuka kembali usahanya dengan alasan menghidupkan perputaran ekonomi yang mengalami macet, dan menghasilkan pendapatan sekalipun kondisi ekonomi masih lesu.
Walaupun di balik itu juga terdapat kelompok sosial yang pendidikannya maupun taraf ekonominya rendah akan tetapi mereka dengan cepat dapat menerima, mencerna, dan beradaptasi dengan kondisi normal baru. Dengan logika sederhana mereka dapat menerima “kehendak alam” bahwasanya manusia di muka bumi ini hanyalah sebagai pendatang.
Nabi Adam as sebagai nenek moyang manusia merupakan spesies baru di muka bumi yang sudah mulai mengeras menjadi tanah dan batu. Manusia hanya menumpang hidup di atas bumi. Oleh sebab itu tatkala bumi menata kembali zatnya maka sudah sepatutnya manusia paham dan sadar diri.
Mudah dan sulitnya beradaptasi dengan situasi normal baru pada dasarnya banyak dipengaruhi konsep diri yang sudah terbangun dalam pribadi seseorang. Konsep diri merupakan operating system yang menjalankan sistem persyarafan tubuh seseorang. Orang yang berpendidikan dan berkecukupan ekonominya biasanya konsep dirinya lebih canggih, laksana produk elektronik keluaran baru.
Namun demikian, sebagaimana ponsel baru yang memiliki banyak fiture aplikasi, konsep diri orang berpendidikan dan berkecukupan lebih rentan mengalami kontaminasi. Lalu pertayaannya apakah konsep diri mereka itu sering dilakukan scaning dan upgrading?
Sebagai komponen penting pribadi seseorang konsep diri mempunyai tiga) lapisan, yakni:
- Diri ideal,
- Citra diri,
- Harga diri.
Diri ideal merupakan nilai maksimal yang ingin diperoleh, seperti orang tua yang menginginkan nilai ujian anaknya mendapat skor 100.
Sedangkan citra diri adalah gambaran performance seseorang yang selalu melintas di setiap berdiri di depan kaca cermin. Adapun harga diri merupakan pencerminan sikap memuliakan diri sendiri, memberi nilai pribadi sendiri. Semakin seseorang menyukai dirinya dan menghargai pribadinya sebagai orang yang berarti/bermakna maka semakin tinggi harga dirinya.
Konsep diri sejatinya menjadi positif jika tiga lapisan pembentuknya bergerak mengikuti sistem operasionalnya. Namun akan menjadi negatif manakala antarlapisan itu terlepas dari sistemnya; apalagi masing-masing telah terjadi kontaminasi.
Itulah sebabnya penting dilakukan scaning dan upgrading konsep diri untuk meminimalisir lahirnya egoisme manusia di masa-masa terjadinya pandemic virus corona.