Hairus Salim HS
Penulis Kolom

Esais. Bekerja di Yayasan LKiS dan Gading Publishing, Jogjakarta.

Pernikahan dan Alibinya, Hamsad Rangkuti dan Sebuah Cerpennya

Ketika cerpenis sepuh Hamsad Rangkuti diberitakan wafat Minggu pukul 6.00 pagi 26 Agustus 2018 lalu, orang pun terkenang pada judul cerpennya yang panjang dan komikal: ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.”

Hamsad sebenarnya menulis puluhan cerpen, puisi dan beberapa novel. Tapi khalayak umum sebagian besar mungkin hanya tahu cerpen ini saja dan bahkan bukan tidak mungkin hanya tahu judulnya saja. Bagaimananpun judul ini memang menarik dan menggoda imajinasi. Sampai beberapa tahun ke depan judul cerpen ini akan terus diingat, diucapkan dan jadi legenda dalam kesusasteraan Indonesia.

Saya sendiri selalu terkenang pada cerpennya yang lain yang berjudul “Muntah” yang terhimpun dalam antologinya Lukisan Perkawinan (Sinar Harapan, 1982). Mungkin karena cerpen ini menunjukkan tentang makna pernikahan sebagai sebuah garis. Garis yang memisahkan antara yang fiksi dan yang fakta, antara yang ideal dan yang realitas. Menikah berarti menyeberangi garis dan batas pemisah tersebut.

Cerita cerpen ini sendiri, saya kira, sama spiritnya dengan judul ” ”Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” dalam hal sensasional dan ajaibnya hubungan percintaan. Bedanya, jika pada ”Muntah” sensasinya pada isi cerita, sedangkan pada ”Maukah…” sensasinya terletak pada judulnya. Sementara isi cerita biasa saja.

***

 

Cerpen ”Muntah” berkisah mengenai hubungan yang indah antara dua orang muda. Si pemuda “Aku” yang sedemikian penuh pengorbanan dan sikap mengalah, terhadap Wien, perempuan yang dicintainya, yang terus menguji derajat cinta dan kesetiaan si “Aku.” Cerita lalu bergulir mengenai ketegangan antara ujian yang diberikan oleh Wien dan daya tahan dan kesabaran si “Aku” untuk mengatasinya. Dan yang menjadi bahan ujiannya adalah muntah.

Siapapun tahu bahwa muntah itu sangat bau dan menjijikkan. Orang yang muntah biasanya malu, sementara orang sekitar yang menyaksikannya akan risih. Tapi celakanya, cinta menuntut pembuktian yang konkrit. Maka demikianlah, ketika dalam perjalanan piknik ke kebun raya Bogor, Wien yang duduk dekat jendela bus mengalami masuk angin dan mabuk darat. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal, dan dahinya berkeringat. Hilang seketika kulit putih pipinya, lirik alis matanya yang hitam, dan bibir tipisnya yang terconteng seperti garis pualam, yang terlihat sebelumnya. Si “Aku” melihat ada sesuatu yang naik dalam tenggorokan kekasihnya itu dan mulutnya terangnga. Lendir terjulur dari mulutnya dan ia mengeluarkan suara, “Uuaaak…” Dalam sepersekian detik itu, si “Aku” yang merasa diuji seberapa besar cintanya pada kekasihnya itu, segera menampungkan kedua telapak tangannya menadah di bawah mulut kekasihnya itu. Tercurahlah cairan ke dalam kedua tangannya. “Muntahlah terus, sayang,” katanya. “Jangan hiraukan orang lain.”

Baca juga:  Timur Tengah dalam Sastra Indonesia: Menimbang Kontribusi Fudoli Zaini (1/2)

Orang-orang yang melihat jadi mendelikkan mata. Seolah mereka mau protes. Sejumlah penumpang wanita memalingkan muka dan meludah di atas lantai. Rasa jijik tak mudah mereka sembunyikan.

Setelah muntah itu berakhir dan dibuang ke luar jendela, serta tangannya telah dilap, Wien bertanya kepada kekasihnya itu:

“Mengapa kau berbuat seperti itu, sayang?”

“Itulah bukti kebesaran cintaku kepadamu. Yakinkah kau, aku benar-benar mencintaimu. Apapun yang keluar dari dalam tubuhmu, aku akan sanggup menampungnya kalau itu kau inginkan.”

“Apakah perbuatanmu itu aku inginkan?”

“Situasi yang menginginkan begitu. Kewanitaanmu tidak perlu jatuh di mata wanita-wanita yang lain. Aku ingin memperlihatkan kepadamu.”

“Aku bangga karena ada orang lain yang melihatnya.”

“Aku akan melakukannya walaupun tidak ada orang lain.”

“Terima kasih sayang. Aku puas terhadap tindakanmu. Kau bertindak pada saat yang tepat. Sehingga aku tidak merasa malu muntah di depan orang banyak. Aku menjadi bangga dengan muntah itu. Kau telah menjadi pahlawan bagiku. Kau menyelamatkan mukaku di depan mereka. Aku menjadi lebih cinta daripada saat-saat sebelumnya.”

Begitulah, tokoh “Aku” mengatasi muntah kekasihnya dalam perjalanan. Peristiwa itu membuat Wien tidak ragu lagi akan cinta si “Aku.” Sejak saat itu, Wien selalu muntah dalam perjalanan, dan si “Aku” selalu menampung dengan tangannya. Ketika suatu kali, si “Aku” bertanya: “Apakah kau tidak menelan obat anti mabuk di perjalanan?” Wien menjawab: “Apakah kau sudah tidak cinta kepadaku?” Segera si “Aku” menjawab: “Aku tetap mencitaimu. Ayolah sayang. Tidak perlu obat anti mabuk itu. Muntahlah setiap saat ke dalam tanganku. Aku akan selalu siap menampungnya, dan aku sedikit pun tidak merasa jijik dibuatnya.”

Demikianlah, Wien selalu muntah dalam perjalanan dan di depan orang banyak. Dan si “aku” selalu menampungnya. Kejadian ini menghiasai perjalanan cinta mereka, tanpa sama sekali mengganggu kebahagian. Hingga pernikahan mereka.

Ketika resepsi pernikahan, Wien rupanya kelelahan. Ia masuk angin dan hendak muntah. Tapi kekasihnya segera menadahkan kedua tangannya. Segera orang membawakan baskom, tapi Wien tak mau dan tak bisa melanjutkan muntahnya lagi. Karena ia hanya ingin muntah di sisi kekasihnya dan di depan orang.

Waktu berjalan. Ketika usia perkawinan mereka berjalan tiga bulan, Wien hamil muda dan mengidam. Saat muntah menyerangnya, ia segera lari ke kamar mandi dan muntah berhamburan di dalamnya. Ketika si “Aku” masuk ia lihat kamar mandi penuh muntah. Ia agak marah dan setengah berteriak meminta Wien untuk menyiramnya.

Baca juga:  Mengenal “Cerita Pendek Sekali” dalam Tradisi Sastra Arab

Wien datang dengan menangis. “Berkurangkah cintamu sekarang kepadaku?” tanyanya pada kekasihnya. Pertanyaan Wien lahir karena merasa, sekarang kekasihnya menyiramkan muntahnya saja enggan. Padahal dulu ia sudi menampungnya di kedua tangan.

Si “Aku” tertegun. “Masih begitukah ukuran cinta bagimu, Wien? Kalau itu yang kau minta, untuk mengukur cintaku, muntahlah kau sebanyak-banyaknya ke dalam kedua tanganku. Aku akan menampungnya!” Demikian kilah si “Aku.”

Kekasihnya itu kemudian mengulurkan kedua tangannya di bawah mulut Wien. Wien mencoba memaksa-maksa dirinya untuk muntah. Dan dia muntah banyak sekali. Si “Aku” terus menampungnya. Ia lihat potongan-potongan buah yang dimakan Wien dalam muntah itu. Ia rasa cairan muntah itu terasa hangat, tapi kini ia merasa jijik melihatnya.

Demikianlah akhir cerpen ini.

Cerita ini sangat lucu dan memikat. Temanya sederhana dan bahkan remeh temeh sekali. Tapi, hanya lewat kisah yang sepele itu penulis memperlihatkan dua suasana, dua perasaan yang kontras: antara sebelum dan sesudah nikah. Sebelum dan sesudah menikah, dengan demikian, adalah konteks ruang dan waktu politis yang tak mudah untuk dipegang dalam satu genggaman. Keduanya seperti antonim, saling berseberangan.

 

 

***

 

Cerpen ini mengajukan kenyataan sebuah pernikahan dan melawan persepsi dan bayangan mengenai pernikahan yang dibentuk oleh cerita-cerita dongeng dan roman picisan. Dalam dongeng-dongeng masa kecil dulu, pernikahan sang pangeran dan sang puteri selalu menjadi penutup akhir cerita. Sang pangeran dan puteri diceritakan berbahagia. Happy ending! Sering kita tidak tahu lagi apa yang terjadi sesudah perkawinan itu, karena perkawinan memang dikonsepsikan sebagai capaian puncak dan perjalanan paling ujung. Padahal, mungkin tidaklah demikian. Perkawinan justru sering menjadi titik berangkat baru dalam kehidupan.

Memasuki pernikahan, menyeberangi garis dan melintasi batas dari suasana hati yang berbeda. Memutuskan menikah berarti mengubah perspektif dan sudut pandang politis dalam melihat dan memaknai kehidupan. Perkawinan pasti membuat seseorang berada dalam keterikatan dan keterbatasan. Tapi bagi seorang yang terus ditantang untuk berkarya, entah karya dalam bentuk apapun, perkawinan sama sekali tidak boleh mengurangi keliaran untuk berkreasi. Mungkin resep memelihara perkawinan yang langgeng itu terletak pada kemampuan membuat keseimbangan antara keliaran masa remaja (atau bujangan) dan keterikatan dalam lembaga keluarga.

Sering saya berpikir mengapa Islam, agama yang saya anut, demikian menuntut penganutnya untuk menikah. “Nikahlah,” sabda Nabi, “karena nikah itu sunah, dan barang siapa yang tidak sudi menikah ia bukan bagian dari umatku!” Para muda dan mudi, mungkin memahami anjuran Nabi ini sebagai suatu ajakan untuk memasuki kebahagiaan. Wong diajak bahagia kok nggak mau! Lantas, mengapa orang yang tak mau menikah, yang berarti diajak untuk bahagia dan senang tidak mau, lalu seperti diabaikan oleh Nabi? Cukup anehkan, karena keadaan menderitalah atau kecenderungan untuk sengsaralah yang mestinya diperhatikan oleh agama.

Tapi mereka yang sudah menikah tentu akan tahu bahwa kebahagian tak bisa langsung dipetik ketika memasuki pernikahan itu. Karena pernikahan itu bukan persis kebahagian, tetapi sesungguhnyalah tantangan. Tantangan untuk memasuki dan menjalani hidup. Dan karena itulah, siapa yang tak berani memasuki dan menjalani hidup, Nabi tak mau mengakui sebagai bagian dari umatnya.

Tepat di bagian ini, saya ingat doa yang selalu dipanjatkan setiap dan ketika pasangan pengantin memasuki jenjang pernikahan. Dalam bahasa Arab kalimat doa itu diucapkan secara repetitif dengan merujuk pada pasangan sejumlah nabi yang berbahagia dan ideal dengan pasangannya: Adam-Hawa [Eva], Ibrahim-Siti Hajar, Yusuf-Zalaikha, dan Muhammad-Khadijah. Allahumma allif bainahuma kama allafta baina…Adam wa Hawa…Ibrahim wa Hajar…Yusuf wa Zulaika…Muhammad wa Khadijah (Ya Allah, satukan mereka berdua sebagaimana kamu menyatukan Adam dan Hawa…Ibrahim dan Hajar…Yusuf dan Zulaikha…Muhammad dan Khadijah). Ada teman yang kasih saran bahwa untuk ‘pembaruan’ dan inklusivitas…pasangan ideal itu bisa saja diganti, misalnya antara Sampek dan Eng Tay, Romeo dan Juliet, Galih dan Ratna (ini tokoh film remaja tahun 1970-an), Rangga dan Cinta (tokoh film ”Ada Apa Dengan Cinta”, tahun 2000-an) atau siapapun terserah.

Baca juga:  Inilah Resiko Kalau Mengundang Gus Dur

Kata verba “menyatukan” dalam Bahasa Arab adalah “allafa,” yang menurut saya juga bisa merujuk pada huruf alif, aksara awal dalam alfabet Arab. Alif itu bentuk visualnya seperti angka satu, berdiri tak persis tegak, tapi agak miring ke kanan. Meski demikian, ia tetap berdiri dan tak pernah rebah.

Saya kira alif adalah suatu metafora, tentang keutuhan, keterpaduan, kesetiaan, ketabahan. Dan berdirinya yang tak tegak lurus itu menunjukkan bahwa ia banyak berhadapan dengan tantangan dan cobaan. Dan karena itulah yang manusiawi.

 

***

 

Beberapa tahun setelah menjalani pernikahan, entah mengapa saya selalu terkenang pada cerpen ini. Dan setiap kali ada anak muda yang ingin menikah, saya selalu ingin mereka membaca lebih dulu cerpen ini. Dan karena itu pula, ketika seorang teman meminta kado tulisan pada acara pernikahannya, saya menghadiahi esai mengenai cerpen ”Muntah” ini.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top