Siapa yang tidak kenal dengan Al-Ghazali, seorang yang mendapat gelar sebagai hujjatul Islam atau the argument of Islam itu. Beliau bernama Abu Hamid Ibn Muhammad al-Ghazali.
Tidak serta-merta gelar itu disematkan kepadanya, tetapi karena beliau menguasai berbagai macam disiplin ilmu, antara lain fikih dan ushul fiqh, kalam, tasawuf, filsafat, pendidikan bahkan juga politik.
Misalnya, mengenai ilmu fikih dan ushul fiqh dijelaskannya sebagian besar di dalam Al-Musthafa, mengenai ilmu kalam dituangkannya dalam buku Tahafutul Falasifah, dan yang berkaitan dengan tasawuf dielaborasinya secara mendalam di dalam Ihya Ulumuddin, serta di bidang politik diterangkannya dalam Nasihatul Muluk. Buku-buku ini sudah melebihi dari cukup untuk membuktikan bahwa, beliau adalah seorang ulama yang intelektual.
Meskipun beliau pakar dalam berbagai macam disiplin ilmu, namun orang-orang lebih mengenalnya sebagai seorang sufi daripada seorang filsuf, faqih, mujtahid, apalagi ahli politik.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa seringkali seorang sufi dipersepsikan sebagai seorang yang sama sekali tidak mempunyai kepeduliaan terhadap masalah-masalah sosial, apalagi politik dan masalah-masalah pemerintahan.
Namun, persepsi semacam itu dapat terbantahkan dengan sendirinya melalui buku yang ditulis oleh Dr. Masykur Hakim, MA. Buku yang berjudul “Sufi Pun Bicara Politik: Pemikiran Politik al-Ghazali” ini menarik minat saya untuk mengulasnya di tengah carut-marutnya wajah perpolitikan kita hari ini. Wajah politik yang tidak lagi dihiasi dengan nilai-nilai etika, apalagi agama.
Sebagaimana kita mafhum, politik kita hari ini digerakkan oleh kebencian. Kebencian pada kelompok, golongan, partai dan koalisi yang berbeda. Sehingga politik yang dipraktikkan tidak lagi mengedepankan nilai-nilai moral dan etika. Para elit politisi cenderung menghalalkan segala cara untuk meraih syahwat politiknya.
Maka dipandang perlu megulas buku ini di hadapan para pembaca dan penguasa, untuk mengembalikan citra politik kita pada fitrahnya. Dalam mengulas pemikiran politik Al-Ghazali, penulis buku ini mengelompokkannya pada lima pembahasan. Yaitu, kedudukan ilmu politik dalam pandangan Al-Ghazali, teori lahirnya kota-negara menurut Al-Ghazali, teori kepemimpinan, kedudukan bay’ah dan pandangan Al-Ghazali tentang (politik) oposisi.
Islam dan Barat memiliki perbedaan yang signifikan dalam memandang keterkaitan politik dengan etika. Islam menghubungkan politik dengan moral (etika). Sedangkan Barat tidak. Sebab dikaitkannya politik dengan moral, maka politik mendapatkan posisi yang penting dan istimewa dalam perspektif historis Islam pasca-kenabian.
Menurut Al-Ghazali, politik (as-siasah) adalah upaya-upaya yang dilakukan secara terencana guna memperbaiki makhluk serta memberikan petunjuk dan bimbingan agar mereka memperoleh jalan yang lurus juga menyelamatkan mereka di dunia dan di akhirat.
Politik sebagai strategi merupakan bagian ilmu alat yang sangat penting dan mulia dalam pandangan Al-Ghzali. Sehingga dipandang perlu dan penting menguasainya, sebagaimana menguasai ilmu-ilmu yang bersifat teoritis dan praktis lainnya.
Al-Ghazali menetapkan empat syarat bagi pemimpin selain sepuluh syarat yang bersifat bawaan, seperti baligh, berakal, bebas merdeka dan lain-lain. (lihat halaman: 63). Adapun empat syarat lainnya yang bersifat perolehan adalah an-najdah, al-kifayah, al-alim dan al-wara’.
Petama an-najdah, seorang pemimpin harus wibawa, tanggap terhadap persoalan yang ada, tidak menyebarkan fitnah, bertindak tegas apabila keamanan publik dan negara terancam. Kedua al-kifayah, yaitu suatu kelayakan (feasibility) dan kemampuan (capability) dari seorang pemimpin.
Ketiga al-wara’, yaitu sifat yang tidak rakus terhadap harta dunia, sehingga tercipta suatu pemerintahan yang bersih (clean governance) dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan keempat berilmu, sehingga dia mengetahui hak dan kewajibannya, serta hak dan kewajiban warganya.
Kemudian yang juga tak kalah menarik dari pemikiran politik Al-Ghazali adalah tentang kedudukan oposisi dan oposan dalam suatu pemerintahan. Menurutnya, sikap oposan dalam batasan-batasan tertentu dibenarkan eksistensinya selama hal itu bertujuan demi kemaslahatan umum dan masih dalam bingkai amar makruf nahi mungkar (lihat halaman: 82).
Yang dimaksud oposisi disini adalah bentuk oposisi yang tidak menyimpang, baik dilihat dari tujuannya maupun tata caranya. Adapun oposisi yang berorientasi pada kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga mengabaikan kepentingan umum dan nilai-nilai ajaran Islam tidak diperbolehkan (ghairu masyru’ah).
Sedangkan ulama, oleh beliau dianjurkan untuk menjadi oposan yang berfungsi melakukan kontrol terhadap segala kebijakan pemerintah, memberi saran dan teguran, jika pemerintah didapati telah menyimpang dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin, misalnya berlaku dzalim terhadap hak-hak asasi warganya negaranya (lihat halaman: 98)
Maka tidak berlebihan, jika saya sebagai pengulas menyatakan bahwa buku ini sangat tepat dikaji dan dipelajari oleh para pplitisi kita hari ini, baik eksekutif maupun legislatif, kelompok pemerintah ataupun kelompok oposisi, mengingat politik hari ini tidak lagi menjadi alat untk meraih kesejahteraan rakyat, melainkan menjadi ajang perebutan kekuasaan para elit.
Sehingga dengan mudahnya caci maki dipertontonkan ke khalayak ramai oleh para elit yang disebut politisi itu. Rakyat hanya jadi tumbal kerakusannya. Siapa tahu dengan membca dan mengkaji buku ini, mereka tersadarkan bahwa, tugas mereka mensejahterakan rakyat, bukan dirinya ataupun kelompoknya, Amin!
Judul Buku: Sufi Pun Bicara Politik: Pemikiran Politik Al-Ghazali
Penulis: Dr. Masykur Hakim, M.A.
Penerbit: Fima Rodheta
Tebal: viii+100 hlm
ISBN: 979-1039-01-1