Sedang Membaca
Petuah Al-Ghazali, Penawar Krisis Akhlak

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Petuah Al-Ghazali, Penawar Krisis Akhlak

Imam al-Ghazali (1053-222) adalah seorang filsuf besar. Pengetahuannya yang luas membawanya menjadi guru besar di Perguruan Tinggi Nizamia di Baghdad. Sepuluh tahun berikutnya, ia mengundurkan diri untuk memperdalam tasawuf. Beberapa karya monumentalnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Salah satunya adalah Ihya’ Ulumiddin, dan karya tentang filsafatnya yang berjudul Tahafutul Falasifah.

Di antara karya besar Al-Ghazali, ada buku tipis yang menarik. Buku diberi judul O Anak (1980). Di Indonesia, ia mengalami cetak ulang sampai sebelas kali. Cetakan pertama terbit di tahun 1937. Konon, waktu itu, banyak orang berebut sehingga buku lekas habis. Tahun 1951, di kata pengantar disebut buku ini adalah penawar dari maraknya “krisis akhlak”.

Buku diawali dengan kutipan Bacaan Mulia surah Az-Zumar ayat 17-18. “… Sebab itu sampaikan berita bahagia kepada golongan hamba-Ku yang mendengarkan kata, lalu diikutinya mana yang sebaiknya; mereka itulah orang yang ditunjuki, Allah: dan mereka itulah yang ahli pikir”.

Sebagian besar pembaca mungkin berpikir ketika membaca judul ini adalah buku anak. Semula saya pun berpikir pada hal yang sama. Akan tetapi, ketika kita membaca sampai usai, kita bakal menemukan bertabur pesan Al-Ghazali yang dirujuk dari hadist maupun Alquran.

Baca juga:  Manusia Rohani

Buku O Anak disebut sebagai sedikit pengetahuan yang membuka bagaimana tasawuf Al-Ghazali. Membaca buku ini, seperti menyimak seorang bijak sedang bertutur. Kata-katanya menyentuh, bila diresapi, kita akan mengenali bagaimana sejatinya agama, manusia, dan kewajiban-kewajibannya di dunia.

Al-Ghazali sudah memberikan pembuka di petuahnya, “Nasihat itu mudah, yang musykil ialah menerimanya, karena ia pahit terasa kepada si hamba hawa nafsu, sebab barang yang terlarang itu sangat disukainya, lebih-lebih di kalangan penuntut ‘ilmu resmi’ (hakikat) yang membuang-buang waktu dalam mencari kebesaran diri dan kemegahan duniawi.”

 

Ada banyak hal, yang disinggung Al-Ghazali di buku ini. Salah satu yang disinggung adalah perkara amal, “Hai Anak! Ilmu yang tidak disertakan dengan amal itu namanya gila, dan amal tak pakai ilmu itu akan sia-sia”.

Ilmu sebanyak-banyaknya, menurut Al-Ghazali, akan sia-sia tanpa amal. Amalan di sini dimaknai sebagai ibadah yang sungguh-sungguh dan ketaatan pada Tuhan. Dikisahkan di dalam buku ini, Sibli Rahimahulullah, telah berkhidmat kepada empat ratus guru. Ia berkata “Telah kubaca empat ribu hadis; sudah itu kupilih sebuah saja, dan kutimbang-timbang yakinlah aku, bahwa keselamatan dan kebahagiaanku tersimpan di dalam yang sebuah itu, dan ilmu orang-orang terdahulu, dan orang-orang yang kemudian pun semuanya terkandung di dalamnya. Rasulullah bersabda kepada sebagian sahabatnya:

Baca juga:  Ibnu Hirzhim dan Peristiwa Pembakaran Ihya Ulumuddin

 

“Beramallah untuk duniamu menurut kadar hidupmu padanya, dan beramallah untuk akhiratmu menurut kadar kekalmu di dalamnya, dan beramallah terhadap Allah menurut kadar hajatmu kepadaNya, dan beramallah berhadapan dengan neraka menurut kadar tahanmu menanggung azabnya.”

Selain menerangkan perkara amal dan perkara ibadah, Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa seseorang perlu guru, atau penuntun untuk mencapai ke jalan yang Haq. Penuntun jalan yang Haq ini tak lain adalah Rasul. Bisa juga orang yang memiliki sifat-sifat seperti Rasul. Sifat itu ditandai dengan lepas dari kungkungan “cinta kepada dunia” dan “gila pangkat”. Selain sifat tadi, “berhati-hati selalu mendidik dirinya sendiri, membiasakan sedikit makan, sedikit berkata-kata, sedikit tidur, membanyakkan sembahyang, sedekah, puasa. Senantiasa sabar, tawakkal, yakin, tak keluh kesah, berhati tenang, berdada lapang, rendah hati, tahu diri, berlaku benar, menepati janji, bermalu, tetap hati, tenang dan tidak tergesa-gesa- menjadikan pakian hidupnya.”

Membaca syarah dari Al-Ghazali ini, kita disadarkan betapa kekuasaan ilmu sejauh apa pun itu, pada hakikatnya bila tidak digenapi dengan amal kebaikan dan juga sifat-sifat Rasuli menjadi percuma. Kita tahu, Muhammad SAW, sebagai seorang nabi dan rasul sudah memberikan tauladan bagaimana ilmu dipelajari dan mengamalkannya.

Nabi pun sudah memberikan teladan bagaimana jalan yang Haq dan tasawuf yang sejati. Tidak gelap terhadap dunia, tidak gelap terhadap pangkat maupun harta. Manusia mana pun akan takjub dan tersentuh dengan betapa zuhudnya Rasul. Ia sampai akhir hayatnya hidup dalam kesederhanaan. Tidak pernah merasa sombong sedikit pun dengan apa yang ia peroleh dan kedudukan yang ia dapatkan. Ia juga sosok yang menjadi pemimpin, teladan keluarga, teladan umat Islam dan manusia pada khususnya.

Baca juga:  Teringat (Iklan) Buku Gus Dur: Melawan Melalui Lelucon

Membaca dan memahami O Anak, mengingatkan kembali kepada siapa sebenarnya manusia, harus apa di dunia ini, dan bagaimana kelak ia mempersiapkan kematiannya. Saya jadi ingat petuah KH Ahmad Dahlan, “Hendaklah manusia itu disatukan, dikumpulkan, bergerak untuk memikirkan untuk apa ia hidup, harus seperti apa dia hidup, dan bagaimana ia hidup untuk mempersiapkan sesudah matinya, sayang sekali bila hidup sekali ini merugi, kelak ia akan rugi selama-lamanya”.

Petuah Al-Ghazali sejatinya memang ditujukan oleh orang yang khusus (muridnya), akan tetapi bila kita baca lebih jeli, ada nilai-nilai kearifan universal yang bisa kita petik di dalamnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top