Sedang Membaca
KH. Hasan Abdillah, Generasi Pertama Pembimbing Jemaah Haji Indonesia
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

KH. Hasan Abdillah, Generasi Pertama Pembimbing Jemaah Haji Indonesia

Ibadah haji telah dilakukan oleh kaum Muslim Indonesia sejak ratusan tahun silam. Namun, semua jemaah haji bergerak masing-masing. Tak ada koordinasi yang langsung ditangani oleh negara sebagaimana dewasa ini. Masing-masing mendaftarkan diri kepada agen-agen haji, menyewa kapal dan meminta izin jalan kepada pemerintah kolonial kala itu.

Setelah merdeka, Indonesia masih belum bisa mengendalikan jemaah haji. Selain itu, kondisi Indonesia yang masih berkecamuk perang revolusi, juga cukup rawan untuk perjalanan laut. Pada 1950, Indonesia memfasilitasi pemberangkatan haji. Namun, penyelenggaraannya masih belum teratur dan tertata dengan baik. Barulah pada 1951, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agama yang saat itu dijabat oleh KH. A. Wahid Hasyim bisa mengkoordinasikannya dengan baik.

Tahun berikutnya 1952, proses pemberangkatan jemaah haji sudah mulai tertata dengan baik. Jumlah Majelis Pimpinan Haji (MPH), diperbanyak seiring bertambahnya jemaah. Fasilitas pun ditingkatkan untuk memberikan pelayanan terbaik.

Di tahun-tahun awal Kementerian Agama RI mengkoordinir langsung inilah terdapat seorang putra Banyuwangi yang menjadi petugas MPH. Ia adalah KH. Hasan Abdillah yang kelak mendirikan Pesantren As-Shiddiqi, Sepanjang, Glenmore. Sungguh, suatu kehormatan tersendiri, bisa menjadi anggota MPH saat itu. Tak semua orang bisa mendapatkannya lebih-lebih saat itu, ia masih seorang pemuda berusia 24 tahun.

Baca juga:  Megawati dan Said Aqil

Ada kisah menarik tentang proses dipercayanya Kiai Hasan Abdillah dipercaya menjadi pimpinan jemaah haji saat itu. Semua berawal dari ‘sangu’ 10 Rupiah yang berasal dari gurunya, KH. Zaini Hasan, Pengasuh Pesantren Genggong, Probolinggo.

Sangu tersebut dititipkan kepada bapaknya, KH. Achmad Qusyairi. Kiai Hasan yang saat itu telah pulang ke Banyuwangi merasa heran dengan titipan gurunya tersebut. Bagaimana tidak, hanya dengan uang 10 Rupiah, disuruh naik haji. Padahal untuk ongkos haji kala itu, sekira 28.000 Rupiah.

Meskipun demikian, Kiai Hasan percaya, apa yang diberikan oleh gurunya tersebut ada berkahnya. Dengan uang itu, pasti suatu saat akan bisa berangkat. Ia pun menyimpan uang 10 Rupiah itu.

Selang beberapa waktu, ternyata keyakinan Kiai Hasan mendapatkan titik terang. Suatu ketika, Rois Amm PBNU KH. Wahab Chasbullah sedang bertemu dengan Kiai Achmad Qusyairi yang sedang bersama putranya, Hasan Abdillah. Dalam pertemuan di Jakarta itu, Kiai Wahab merekom Hasan untuk menjadi anggota MPH.

Tawaran itu pun tak disia-siakan oleh Hasan. Ia segera mengurus berbagai persyaratan administratif untuk berangkat haji. Awalnya, sempat mendapatkan kesulitan hingga beberapa hari menjelang keberangkatan. Akan tetapi, setelah mendapat doa dari KH. Hamid Pasuruan dan KH. Thoha Surabaya, proses tersebut diberikan kemudahan.

Baca juga:  Marbot Mahasiswa di Masjid Perkotaan

Pada hari keberangkatan, Kiai Hasan bertugas sebagai MPH bersama seorang wartawan asal Banjarmasin. Mereka memimpin sekira 2.800 jemaah yang berasal dari Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Sedangkan kapal yang dikendarainya ialah kapal Cyclop. Salah satu kapal penumpang terbaik saat itu.

Sesampainya di Makkah, Kiai Hasan tak terlampau kesulitan mengatur kebutuhan jemaah. Meski waktu itu sedang terjadi wabah, tapi berkat bantuan para syekh yang dulunya santri ayahnya, rombongan Kiai Hasan diberikan kelancaran dalam setiap tahapan haji.

Bahkan, di haji akbar–karena wukuf kala itu bertepatan dengan hari Jumat, Kiai Hasan mendapat kehormatan dari Raja Saudi kala itu. Ia bersama enam orang MPH dari Indonesia dan perwakilan lainnya dari penjuru dunia diundang ke Istana Raja di Makkah. Tak hanya jamuan mewah, ia juga mendapatkan tiket khusus yang menggratiskan seluruh biaya transportasi selama di Saudi Arabia.

Singkat cerita, Kiai Hasan sukses mengemban amanah sebagai MPH. Seluruh jemaah yang dibimbingnya puas hingga terbangun rasa persaudaraan antarsesama jemaah. Hal ini tak terlepas dari keyakinan doa sang guru. Meski dirasa mustahil, tapi isyarat dari lauhil mahfudz.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top