Sedang Membaca
20 Tahun Pembantaian Guru Ngaji di Banyuwangi (2/2)
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

20 Tahun Pembantaian Guru Ngaji di Banyuwangi (2/2)

September 1998. Situasi mencekam dan beringas semakin menjadi-jadi saat memasuki September. Puluhan korban berjatuhan dengan cara mengenaskan. Ada yang “dimassa”, ada pula yang dibantai oleh sosok-sosok misterius. Pada bulan ini setidaknya ada 70 lebih pembunuhan. Baik yang kondang dituduh dukun santet, maupun tokoh-tokoh NU yang menjadi sasaran.

Pada awal September, Junaidi [53] dan As’ari [60] meninggal dunia. Warga Kecamatan Rogojampi tersebut dibantai oleh sosok-sosok bertopeng. Keesokan harinya kembali terulang. Kali ini terjadi di Gintangan, Kecamatan Blimbingsari. Tafsir [70] disantroni kawanan bertopeng.

Ia dianiaya pada pukul 02.00 dini hari. Kemudian diseret dengan kendaraan hingga tewas. Kemudian, pada 3 September giliran Desa Watukebo, Blimbingsari yang jadi sasaran. Januri [60], dibantai massa yang beringas. Ia digantung hingga meninggal dunia.

Seakan tak pernah berhenti. Tiap hari terjadi pembantaian di berbagai desa sekabupaten Banyuwangi. Pada 4 September, gerakan tersebut, kembali melanda Kecamatan Kabat. Bapak dan anak, Sanusi [60] dan Abdul Holik [38], dijemput paksa oleh 200-an massa pada pukul 21.00 WIB. Ia dibantai, digantung. Masih di Kabat, di hari yang sama, kejadian serupa juga menimpa Mail [60]. Nyawanya hilang setelah dihantam berbagai benda tajam dan tumpul.

Tanggal 5 September, kejadian serupa kembali terulang. Kali ini giliran warga Patoman, Kecamatan Blimbingsari. Kasim [75], tewas digantung di pohon jati sekitar 100 meter dari kediamannya. Kurang lebih ada 75 orang yang mengeroyoknya dan menyeretnya ke tiang gantungan.

Sempat jeda pada 6 September. Namun, selang sehari kembali meledak. Pada 7 September, Lahat [60], warga Kecamatan Songgon dan Ruslan [45] warga Kecamatan Rogojampi harus meregang nyawa ditangan massa. Keesokan harinya, Ibu Jarah [55] dari Songgon, Abdur Rohim [60] dan Zainuddin [64] dari Kabat, serta Kasturi [45] dari Gintangan, Blimbingsari yang harus menemui malaikat maut.

Seolah tak mau berhenti, 9 September giliran tiga nyawa warga Songgon dan Blimbingsari yang melayang. Sepasang suami istri warga Gumuk Candi, Songgon, Juhari [60] dan Munajah [44] tewas dibantai massa di rumahnya. Begitu juga dengan Mistari [45], warga Bomo, yang disatroni massa dan digantung.

Keesokan harinya, Ibu Ikah [45] disatroni orang-orang bertopeng. Untung saja, ia masih bisa selamat. Namun, As’ari [60] ditakdirkan lain. Warga Rogojampi ini, tewas ditangan orang-orang bertopeng.

Pada 11 September, Haji Yasin [65] dari Cemoro, Balak, Songgon. Ia didatangi orang-orang bertopeng dan seratusan massa. Tokoh agama ini meregang nyawa pada pukul 08.00 WIB.

Pada hari yang sama, ajal juga menghampiri Ashari [61] dari Kabat. Ia dikepung massa dan berakhir tragis. Begitu juga dengan Salam [50] dan Mahmud [50] warga Kecamatan Rogojampi. Keduanya disatroni massa. Salam harus meregang nyawa di tiang gantungan, sedangkan Mahmud masih hidup meski harus merelakan rumahnya dilalap si jago merah.

Keesokan harinya, 12 September, kembali jeda. Tak ada satu kasus pun yang terjadi. Namun, keesokan harinya pembantaian kembali terjadi. Seorang petani dari Kabat, Noha [59], yang diamuk massa. Ia diseret dari rumahnya sembari dibacoki dan dipukuli.

Hari-hari berikutnya pun sama. Pada 14 September nasib naas menimpa Muhali [60] warga Watukebo, Blimbingsari, Saleh [65] warga Sukonatar, Srono, yang meregang nyawa.

Hari berikutnya, 15 September, Haji Yasin [65], Rais Syuriyah Ranting NU Watukebo, Blimbingsari yang tewas dianiaya massa. Begitu juga dengan H. Samsul Hadi [68], seorang tokoh agama dari Tambong, Kabat yang digantung massa. Hal yang sama juga menimpa Arifin [65], warga Temuasri, Sempu, yang dibacok lehernya.

Keesokan harinya semakin menggila. Yasin [60] dari Songgon tewas setelah dikroyok massa dan orang-orang bertopeng. Sawal [50], warga Balak, Songgon, juga tewas dan rumahnya dibakar. Dasuri [60] dari Labanasem, Kabat, dan Sahnan [65] dari Bunder, Kabat juga ditemukan meninggal dengan bekas penganiayaan berat. Sedangkan di Rogojampi, nasib sial menimpa Asan [55], Mar’puah [45], Sikin [45] dan Bukhori [55]. Mereka tewas dihajar massa.

Pada hari yang sama, di Kecamatan Songgon juga terjadi beberapa penyerangan. Tak sampai memakan korban jiwa memang. Tapi, rumah mereka hancur. Ada yang dilempari batu dan ada pula yang dibakar. Diantara korbannya adalah Lokir [60], Imik/ Kadru [55], Dahlan [55], Ambiyak [70], Solehan [50] dan Masduki [50]. Ada pula Junaidi [18]. Warga Songgon ini, didatangi pria bertopeng.

Namun, ia melakukan perlawanan dan berhasil selamat. Pada hari yang sama ini, Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik kembali menerbitkan radiogram kedua yang memerintahkan pendataan orang-orang yang tertuduh dukun santet.

Kejadian yang semakin tak terkontrol itu, mulai membuat panik banyak pihak. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dan seluruh kiai di Banyuwangi melakukan pertemuan pada 18 September. Dalam pertemuan tersebut, diserukan bahwa membunuh orang dengan cara disihir merupakan perbuatan haram. Begitu juga dengan membunuh para dukun santet dengan tanpa proses hukum, juga diharamkan.

Akan tetapi, seruan tersebut tak mampu meredam histeria massa yang kadung terbakar kecerugiaan, provokasi, dan ketakutan yang akut. Di hari yang sama dengan pertemuan itu sendiri, setidaknya lima nyawa yang melayang. Diantaranya adalah Suko [60] dari Karangsari, Sempu, Misro [60] dari Kemiri, Singojuruh, Halil [60], Pondoknongko, Blimbingsari, Sahal [40] dari Kabat, dan Ahmad Hadisin [35] dari Gumuk, Licin.

Memasuki 19 September, penyerangan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Sedikitnya ada empat nyawa yang melayang yaitu Hasim [55] dari Kabat, Nasir [52], Humaidi [48], dan Padil [60] dari Kecamatan Giri. Selain korban meninggal, di Giri juga terdapat korban penyerangan. Meski tak sampai meninggal, tapi tak sedikit yang mengalami luka berat dan rumahnya hancur. Antara lain menimpa Mumsidi [46], Anwar [50], Usman [60], Sukardi, Mito, Mustar dan Runaidi.

Pada 20 September, secara jumlah mengalami penurunan. Diantara korban yang tewas pada masa itu adalah Yasin [60], Madrok [95], Sapwan [55]. Ketiganya adalah warga Kecamatan Kabat. Juga disusul satu orang dari Kecamatan Songgon atas nama Abdul Kohar [70]. Nama yang terakhir ini, juga kehilangan rumahnya yang dirusak massa bertopeng.

Baca juga:  Digagas oleh Gus Dur, Istilah "Doa Bersama" Jadi Entri dalam Ensiklopedia NU

Hari berikutnya, Saini [60] dari Sragi, Songgon yang tewas setelah dianiaya massa tepat tengah malam. Disusul oleh Ibu Mar’ah [45] dari Temuguruh, Sempu, yang diseret massa hingga ajal menjemput. Suwandi [45], Sadelik [60] dan Suhairi [60] dari Kecamatan Cluring juga tewas di tangan massa pada saat itu. Juga, Maderok [60] dari Kabat dan Bahrowi dari Gumuk, Licin.

Kasus kembali jeda pada tanggal 22 dan 23 September. Namun bukan berarti reda. Pada 24 September kembali terjadi pembantaian di Sempu dan Wongsorejo. Saimin [65] dari Karangsari, Sempu rumahnya dilempari batu dan orangnya dianiaya hingga tewas. Sedangkan Ibrahim [70], juga dirusak rumahnya dan ia meregang nyawa setelah kepalanya dikapak pada bagian belakang hingga pecah.

Adapun pada tanggal berikutnya, 25 hingga 27 September, peristiwa pembantaian berkutat di Kecamatan Singojuruh. Asri [50] dari Alasmalang dan Muksin [55] dari Gumirih menjadi korban. Keduanya, diwaktu hanya berselang tiga jam, dibantai dengan modus serupa. Mereka diseret keluar dari rumahnya dan disiksa sepanjang jalan hingga tewas. Ibu Temu [50] juga ditemukan tewas. Sedangkan Tasripan [59] beserta keluarganya diusir keluar kampung.

Keesokan harinya, giliran Mudjiono [35] dari Kunir dan Aseri yang tewas dibantai oleh orang-orang bertopeng. Disusul hari selanjutnya adalah Asmi [65] dari Gambor dan Semi [60] dari Kunir yang meregang nyawa. Pada tanggal 27 September tersebut, juga terjadi pembantaian di Cluring yang menimpa Saperik [70] dari Benculuk.

Di Genteng juga terjadi hal yang sama dan menimpa Irsyad [50] dan Tamim [50]. Sedangkan di Banyuwangi, tepatnya di Pakis Rowo, juga menimpa Abdallah. Ia dijemput paksa oleh orang-orang tak dikenal di rumahnya. Mak Tik, istrinya, tak kuasa menolongnya. Begitu juga para tetangganya tak ada seorang pun yang berani melawan massa yang beringas tersebut.

Hari-hari berikutnya pembantaian demi pembantaian kembali terulang. Pada 28 September, Hasan [64] dari Parangharjo, Songgon, Bawi [70] dari Cluring, Sarkawi [53] dari Gumirih, Singojuruh, Haji Syafi’i [70] dan Maroha [70] dari Sumberkencono, Wongsorejo, Prayitno [45] dari Temuguruh, Sempu giliran menghadapi maut. Semuanya dibantai dengan sadis oleh massa.

Keesokan harinya, setidaknya menewaskan tujuh orang. Antara lain: Ramli [45] dan Biseri [45] dari Kecamatan Cluring, Sulastri [48] dan Ti’ah [55] dari Kecamatan Singojuruh, Suhamo [81], Sukarno [56] dan Aminah [45] dari Kecamatan Kalipuro.

Di hari yang sama, massa juga menyatroni kediaman Syahroni di Pakis, Banyuwangi. Namun, massa tak menemukan target yang disasar. Akhirnya, anaknya Syahroni, bernama Rahmat, yang menjadi sasaran. Ia diseret dan dianiaya sepanjang jalan. Namun, ia lepas dari amuk massa ketika pingsan dan disangka mati. Rahmat pun harus mendapat perawatan serius di RSUD Blambangan.

Pada saat bersamaan, Polsek Glagah juga menerima kiriman tujuh orang yang dituduh dukun santet dan bakal jadi target massa. Mereka adalah Basuni, Suhairi, Mui, Rin dan Serap dari Desa Licin serta Asnan dan Mat dari Banjarsari, Glagah.

Menjelang akhir September tersebut, di Purwoharjo juga terjadi pembantaian tiga orang residivis yang hendak menyatroni rumah Ahmad dari Desa Purwoharjo. Ketiganya kepergok warga yang sedang berjaga. Tanpa ampun, Sio, Masykur, dan satu lagi tak teridentifikasi, tewas dihajar warga yang siaga satu. Sedangkan di penghujung September, giliran Untung [60], warga Kebonsari, Benculuk, Cluring yang harus meregang nyawa.

Oktober, 1998

Di awal Oktober, sejumlah pengurus Nahdlatul Ulama Banyuwangi dengan difasillitasi oleh PWNU Jawa Timur menghadap Ketua PBNU KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam pertemuan tersebut, Gus Dur melontarkan bahwa dalang di balik peristiwa pembantaian dukun santet yang merambat kepada tokoh-tokoh NU itu berada di dalam kabinet. Namun, Gus Dur tak merinci siapa tokoh yang dimaksud itu.

Sontak saja, hal ini membuat Menteri Koperasi Adi Sasono meradang. Melalui wartawan Jawa Pos ia membantah tuduhan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Adi Sasono tersebut, merujuk pada tuduhan serupa pada tahun sebelumnya ketika terjadi kerusuhan SARA di Situbondo. Gus Dur mengungkapkan adanya operasi dari salah seorang menteri. Banyak pihak yang mencurigai Adi Sasono sebagai sosok yang dimaksud oleh Gus Dur tersebut.

Pada hari yang sama dengan tanggapan Adi Sasono tersebut, 2 Oktober, di Banyuwangi kembali menelan korban. Mujiono [56], warga Jajag, Gambiran, itu ditemukan tewas dengan kepala remuk. Dalam catatan Jawa Pos, Mujiono merupakan korban tewas ke 94. Selain itu, ada delapan korban luka-luka, 67 rumah rusak, dan 246 orang yang terpaksa mengungsi. Pada hari yang sama, di sejumlah daerah muncul mobil-mobil dari luar yang mencurigakan, seperti di Kelurahan Karangrejo, Banyuwangi dan di Kecamatan Wongsorejo.

Tengah malam, tanggal 1 Oktober, hingga pagi hari, 2 Oktober, pasukan gabungan dari Brimob, Polwil, Polres dan Kodim melakukan penangkapan terhadap para pelaku pembantaian. Ada 15 orang yang diamankan oleh pasukan gabungan tersebut. Lima orang dari Kabat, lima orang dari Songgon, empat orang dari Glagah, dan seorang dari Singojuruh. Proses penangkapan ini bukan perkara mudah. Mereka harus berhadapan dengan massa yang tak rela kawannya ditangkap.

Polisi menghadapi perlawanan cukup alot ketika meringkus para tersangka yang berasal dari Kabat. Hingga pukul 09.00 WIB, polisi baru bisa keluar. Dengan mengendarai tiga mobil serta sirine yang meraung-raung mereka membawa para tersangka ke Mapolres Banyuwangi. Tak selang berapa lama, massa dengan mengendarai dua truk meluruk ke Mapolres. Mereka membawa senjata tajam berunjuk rasa menuntut kebebasan kawan-kawannya di Mapolres.

Sontak saja, polisi yang membentuk pagar betis di depan mapolres bersiaga penuh. Ketika massa mulai turun dari truk, tembakan peringatan dihempaskan oleh polisi. Gas air mata juga ditembakkan. Sontak saja terjadi kerusuhan. Massa yang meluruk tersebut berhamburan dikejar polisi ke perkampungan. Tak seberapa lama, kembali datang satu truk massa yang tidak hanya membawa senjata tajam, tapi juga membawa beberapa jerigen bensin. Kerusuhan pun kembali meletup di Mapolres yang berada di Jalan Brawijaya itu. Setidaknya ada 169 orang yang diamankan dari insiden tersebut.

Baca juga:  Kisah Masjid Tiban di Jombang

Tak berapa lama, kembali datang susulan massa dengan mengendarai satu buah truk. Polisi yang sedang mendata dan mengobati 169 orang yang ditangkap itu, pun langsung siaga. Namun, ketika diketahui hanya berisi wanita dan anak-anak, polisi bertindak lebih persuasif. Mereka didata dan diberi pengarahan. Mereka pun disuruh pulang kembali. Pada pukul 14.00, massa kembali datang ke Mapolres Banyuwangi. Akan tetapi, kali ini massa mendukung upaya polisi untuk menangkap para perusuh tersebut. Seribuan massa yang berasal dari warga sekitar polres tersebut, segera disuruh pulang oleh polisi. Ditakutkan akan terjadinya bentrok antara dua massa yang bersebrangan tersebut.

Pada 3 Oktober tersebut, Gus Dur dari kantornya di Jakarta mengeluarkan siaran pers. Ia mengancam kepada aparat yang tak kunjung bertindak akan dilaporkan kepada Menkopolhukam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto. Pada saat yang sama, ia juga menghimbau kepada warga NU untuk tetap tenang dan tak terpancing atas segala macam provokasi. Lebih-lebih hingga melampaui batas hukum.

Di saat yang bersamaa, di Banyuwangi kembali dilakukan penangkapan kepada lima orang dari Kecamatan Blimbingsari dan Rogojampi. Di antaranya adalah Agus Santoso [20] dari Aliyan, Rogojampi dan Surapi [56], Mistori [50] dan satu warga tak teridentifikasi yang ketiganya dari Kaligung, Blimbingsari. Hal ini juga mendapat reaksi penolakan dari massa. Namun, berhasil dihadang di Rogojampi dan di Dadapan, Kabat. Empat truk dan dua buah pick up yang membawa massa berhasil dipulangkan oleh polisi.

Meski pihak keamanan sedang gencar melakukan penangkapan, namun tak menyurutkan massa untuk melakukan pembantaian. Pada 4 Oktober, giliran Ibu Jumani [40], warga Klatak, Kalipuro yang menjadi korban. Ia disatroni massa yang bertopeng. Penganiayaan pun berlangsung dengan sadis pada nenek tua tersebut.

Selang dua hari, tepatnya pada 6 Oktober, Ketua PWNU Jawa Timur KH. Hasyim Muzadi menerima kedatangan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Djoko Subroto. Dari pertemuan tersebut, diketahui ada beberapa oknum TNI yang terlibat. Keesokan harinya, Kiai Hasyim lantas mengundang seluruh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur untuk melakukan pertemuan khusus di kantor PWNU yang beralamat di Jalan Darmo.

Dari pertemuan tersebut dilaporkan jumlah korban dari masing-masing daerah. Masing-masing dari Banyuwangi sejumlah 111 orang, Pasuruan 24 orang, Pamekasan 17 orang, Sumenep 7 orang dan Probolinggo 4 orang.

Sedangkan pada tanggal 7 Oktober tersebut, Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Djoko Subroto melakukan peninjauan ke Banyuwangi. Namun, kedatangannya tak mampu meredam gejolak massa. Pada saat bersamaan terjadi pembantaian di siang bolong kepada Sriono [65]. Warga Tegalpakis, Kalibaru itu, sedang dimintai tolong oleh tetangganya untuk membawakan semen ke areal pemakaman guna merenovasi batu nisan yang rusak. Kebetulan Sriono adalah seorang kusir delman. Akan tetapi, di tengah jalan, ia diserang segerombolan massa yang tak dikenal hingga tewas.

Selain itu, di Tamansuruh, Glagah juga terjadi penyerangan terhadap dua orang, Suroso dan Baehaqi. Ketika keduanya berada di kebun, diserang sekelompok orang bertopeng. Untung saja keduanya memiliki ilmu kebal, sehingga bisa menyelematkan diri dari serangan tersebut. Sedangkan nasib naas menimpa Dullah [60], warga Olehsari, Glagah. Ia tak kuat menghadapi teror sehingga memutuskan untuk gantung diri di rumahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Supran dan Senali.

Pada 9 dan 10 Oktober banyak berserakan selebaran yang bernada ancaman bagi siapapun yang hendak menyelematkan atau melindungi orang-orang yang tertuduh dukun santet yang telah terdaftar. Selebaran tersebut diatasnamakan Gerakan Anti Tenung yang disingkat GANTUNG.

Selain selebaran tersebut, beberapa orang juga menerima surat kaleng yang berisi ancaman. Para penerimanya antara lain Mahmud Khaerudin, Rohim dan Dollah Wijaya. Akibat teror yang demikian masif ini, membuat orang yang tak kuat memutuskan untuk bunuh diri. Seperti halnya yang menimpa Dori asal Kecamatan Genteng. Guru ngaji tersebut, ditemukan gantung diri di rumahnya pada 10 Oktober.

Pada tanggal 11 Oktober, Gus Dur menggelar apel akbar Generasi Muda NU di Parkir Timur Senayan. Apel tersebut juga dihadiri oleh Menkopolhukam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto. Namun, dalam sambutannya, tak memberikan suatu penjelasan yang memuaskan. Hanya hal-hal normatif saja. Bahkan, ia tidak menunjukkan keprihatinannya kepada para kiai yang menjadi target sasaran pada peristiwa tersebut.

Selang tiga hari kemudian, 14 Oktober, digelar pertemuan 2.000 kiai dari seluruh Jawa Timur yang diselenggarakan PWNU Jatim di Pesantren Daruttauhid, Langitan, Tuban. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Pangdam V Brawijaya dan Kapolda Jatim itu, diungkapkan keresahan para kiai. Di antaranya adalah indikasi pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan. Tuduhan ini, tak mendapat jawaban yang memuaskan dari dua pimpinan tertinggi keamanan di Jawa Timur itu.

Dalam pertemuan tersebut, bahkan Ketua PCNU Banyuwangi KH. Abdurrahman Hasan adu data dengan Kapolda Mayjen Pol. Moch. Dayat, SH. MBA. Kapolda menyebutkan korban tewas di Banyuwangi hanya 90 orang. Namun, PCNU Banyuwangi menyebut lebih dari itu. Ada 148 korban dengan rincian, 101 tewas, 7 mati bunuh diri karena ketakutan, 7 orang luka berat dan ringan dan 33 orang selamat. Dari 101 orang yang tewas tersebut, 96 diantaranya merupakan warga Nahdlatul Ulama.

Sejak pertemuan itu, Ketua PWNU Jatim juga meminta kepada warga NU untuk mengubah nama tragedi tersebut dari pembantaian dukun santet menjadi aksi teror.

Baca juga:  Menimbang Clifford Geertz dan Tiga Hal yang Perlu Dilakukan Santri

Selain itu, di hari yang sama, di Banyuwangi digelar konferensi pers oleh Bupati Banyuwangi dan sejumlah forum pimpinan daerah. Dalam pertemuan tersebut, bupati menyatakan siap mundur dari jabatannya jika terbukti ada kesalahannya dalam deretan tragedi tersebut, termasuk kebijakannya untuk mengeluarkan radiogram berisi perintah pendataan dukun santet. Ungkapan bupati tersebut, memancing reaksi unjuk rasa mahasiswa di Jakarta pada 15 Oktober. Gabungan aktivis mahasiswa dari Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR menuntut orang nomor satu di Banyuwangi itu lengser.

Pasca pertemuan di Tuban yang tak memberikan pencerahan yang memuaskan itu, 18 Oktober kembali digelar pertemuan para kiai se-Jawa Timur di Banyuwangi. Kali ini, Menkopolhukam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto hadir langsung. Lagi-lagi pihak keamanan tak mampu memberikan klarifikasi yang memuaskan.

KH. Yusuf Muhammad dari Jember menjadi juru bicara para kiai. Ia menuduh adanya keterlibatan elit politik dan ABRI sendiri sebagai dalang aksi teror tersebut. Akan tetapi, Wiranto lagi-lagi hanya menjawab dengan normatif dan berjanji untuk membawa aspirasi masyarakat ke Jakarta.

Pada 22 Oktober, PBNU menggelar rapat khusus untuk membahas perkembangan aksi teror di Jatim. Dalam keterangan pers yang disampaikan oleh Katib Syuriyah PBNU KH. Said Aqil Siroj, PBNU menolak asumsi tentang pembalasan eks PKI di balik aksi teror selama ini. Hal ini menjawab sejumlah dugaan yang dilontarkan oleh aparat keamanan.

Mereka mengambil kesimpulan demikian hanya berdasarkan pola silang [x] di setiap bekas luka yang ada di jasad para korban. Pada hari yang sama, berbagai kelompok mahasiswa juga menggelar unjuk rasa. Baik di Surabaya maupun di Jakarta. Mereka menuntut untuk penyelesaian kasus tersebut.

Di paruh kedua bulan Oktober tersebut, intensitas aksi kekerasan di Banyuwangi menurun cukup drastis. Namun, merambat ke daerah lain. Mulai dari Jember, Pasuruan, Malang, Madura hingga ke Jawa Tengah. Baru pada 28 Oktober dikabarkan kembali terjadinya pembantaian di Dusun Kepatihan, Desa Cluring, Kecamata Cluring. Sejumlah massa pada pukul 23.00 menyatroni kediaman Baseri [45]. Tak puas dengan menghabisi nyawa Baseri, selang 30 menit, massa yang sama mendatangi kediaman Basuri [74]. Keduanya sama-sama tewas dengan sangat mengenaskan.

November – Desember, 1998
Bisa dikatakan, memasuki bulan November dan Desember aksi kekerasan maupun teror di Banyuwangi berangsur-angsur reda. Meski di daerah lain masih terus menghangat. Hal ini bisa jadi karena sejumlah penangkapan oleh pihak kepolisian terus digencarkan. Pada persidangan pertama para pelaku pembantaian, 10 November, tercatat sudah ada 241 tersangka yang telah ditangkap dengan berbagai tuduhan terkait hal tersebut.

Pada sidang pertama yang bertepatan dengan hari pahlawan itu, ada delapan orang tersangka yang disidangkan. Bupati, Kapolwil, Kapolres, dan Dandim hadir menyaksikan persidangan tersebut.

Pada 12 November tersiar kabar, salah seorang tersangka atas nama Kompol alias Rodiyat meninggal dunia dalam tahanan. Warga Kecamatan Singojuruh tersebut, meninggal setelah ditemukan pingsan oleh petugas Polres Banyuwangi. Ada spekulasi, matinya Kompol bukan karena sakit. Tapi, bisa jadi, adanya upaya pembunuhan padanya. Hal ini tak terbukti karena keluarga Kompol tak bersedia dilakukan otopsi pada si mayat.

Meskipun telah dilakukan banyak penangkapan, akan tetapi hal tersebut belum menyentuh aktor utama. Yang mana, menurut Ketua PCNU Banyuwangi kala itu, KH. Abdurahman Hasan, tidak merepresentasikan “pelaku” yang sesungguhnya.

“Para tersangka itu belum mewakili ‘ninja’ yang sesungguhnya. Mereka hanya pion-pion kecil yang digerakkan oleh skenario besar,” tandasnya sebagaimana dikutip dalam Geger Santet Banyuwangi [hal. 67].

Tuduhan ini, muncul dari pengakuan para tersangka yang ditangkap saat persidangan. Banyak pengakuan-pengakuan yang ganjil. Dua hal yang patut digarisbawahi adalah adanya kondisioning massa dan masuknya sosok-sosok yang tak dikenal. Untuk poin pertama ini, misalnya, pengakuan dari Suwarno [45].

Tersangka pembunuh Mujiono dari Gambiran itu, mengaku pada saat menjelang kejadian sedang ronda malam. Tiba-tiba ada orang yang berteriak, “Siapa yang keluarganya kena santet, ayo ikut! Kita bunuh para dukun sihir!”. Ajakan tersebut segera mengingatkannya pada istrinya yang telah berbulan-bulan menderita sakit yang aneh.

Sekilas, motif Suwarno terkesan sebagai dendam pribadi. Akan tetapi, jika dicermati lebih mendalam, apa yang dilakukan oleh Suwarno tersebut muncul karena kondisioning masa itu yang melazimkan pembunuhan dukun santet. Hal yang sama juga terungkap dalam kesaksian Agus, Madarus, Ajit, Tatang dan sejumlah tersangka lainnya.

Tidak mungkin mereka berani melakukan pengeroyokan hingga tewas, misalnya, jika sejak awal terdapat pencegahan dan penindakan saat kasus perdana muncul. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan tradisi yang selama ini ada. Tertuduh dukun santet di Banyuwangi tidak langsung dibunuh. Namun, melalui mekanisme adat yang dikenal dengan sumpah pocong. Jika ini gagal, biasanya akan dilakukan pengusiran. Bukan dengan pembantaian.

Sedangkan yang poin yang kedua, masih berdasarkan pengakuan pelaku, adanya orang-orang yang tak dikenal. Mereka memainkan peran yang cukup vital seperti halnya berada di barisan paling depan dan memberi komando. Hal ini, misalnya, terbukti dari pengakuan Saruri [25]. Warga Segobang, Licin itu terdakwa sebagai pembunuh Arifin [80].

Dalam peristiwa tersebut, ia mendengar percakapan dari kerumunan massa tersebut, dengan bahasa yang tak dikenalinya. Bahasa yang tak lazim digunakan di kampungnya. Pengakuan yang sama juga diungkapkan oleh banyak tersangka lainnya.

Hingga kini, setelah dua dekade peristiwa tersebut berlangsung, tak ada kejelasan apa pun. Semuanya masih serba sumir. Berbagai teorema yang muncul hanya sebatas obrolan warung kopi. Berbagai kajian pun hanya berhenti di meja-meja diskusi dan makalah-makalah lusuh. Warga Nahdliyin menjadi korban. Tak hanya sebagai korban pembantaian, tapi juga korban atas propaganda yang menyeretnya pada tindakan brutal tersebut.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top