Sedang Membaca
Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (7): Ideologi Negara
M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Living Al-Qur’an dan Pesan Kemanusiaan (7): Ideologi Negara

Whatsapp Image 2020 05 05 At 3.00.55 Am

Indonesia, sebuah negeri yang dihuni oleh berbagai suku dan bangsa, dengan adat dan agama yang berbeda. Ada 6 agama yang diakui di negeri ini, belum lagi kepercayaan lama seperti: Kapitayan, Sunda Wiwitan, Tantrayana dan lain-lain. Sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam, namun dalam sejarahnya, Indonesia didirikan oleh banyak orang. Bukan syariat Islam (dalam pemahaman kelompok ekstrimis) yang dijadikan ideologi negara, melainkan Pancasila. Falsafah kebangsaan yang mengakomodir pluralitas yang ada.

Bila kita cermati secara mendalam, Pancasila bukan terdiri butir-butir tiada arti. Ada ulama’ yang turut serta dalam perumusannya. Para founding father berupaya agar Indonesia menjadi hak setiap warga negara, tanpa diskriminasi kesukuan, warna kulit, dan agama. Para ulama’ telah ‘menyelipkan’ ruh Al-Qur’an dalam rentetan kalimat dalam Pancasila. Nilai-nilai Al-Qur’an diinternalisasikan dalam denyut kehidupan bernegara. Bagi mereka yang ilmunya sudah nyawiji, nilai-nilai agama untuk dihayati dan diamalkan. Bukan sekedar sorak sorai menyembah simbol. Di negeri homogen ini, simbol keagamaan menjadi tidak penting untuk ditonjolkan. Nilai-nilai agamalah yang harus dikedepankan.

Agar tidak keluar dari tema, tulisan ini tidak akan menjabarkan detail seluruh butir-butir Pancasila. Adalah sila ke dua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, sebuah jargon yang tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun, termasuk Islam. Rasulullah adalah pejuang kemanusiaan, ia datang untuk menghapus perbudakan yang biasa terjadi dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa. Islam mengajarkan untuk memperlakukan sesama secara manusiawi. Penindasan dan kesewenang-wenangan terjadi bilamana kemanusiaan tak lagi diindahkan.

Baca juga:  Parokialisme Keagamaan, Fragmentasi Umat, dan Tanggung Jawab Kita

Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia di hadapan Allah derajatnya sama, yang membedakan adalah amal dan ketakwaannya. Secara individual hubungan manusia dengan lainnya, memiliki kekuasaan yang sama, setiap perseorangan mempunyai kekuasaan yang sama, tidak dibenarkan saling memaksa, apalagi saling merampas hak satu sama lain. Adalah kewajiban bagi manusia untuk saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain menjadi dasar dan landasan bagi berlangsungnya  hubungan dan komunikasi sosial yang sehat, dimana tidak ada pemaksaan, penindasan, penyiksaan, dan diskriminasi berdasarkan kemestian-kemestian hidup yang menjadi kepastian, seperti ras, suku, agama, dan ideologi seseorang.

Pun dalam beragama, Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Justru Al-Qur’an mengajarkan untuk menghargai perbedaan yang ada. Islam sangat menghargai memuliakan manusia. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2:256) “La ikraha fi ad-din, qad tabayyana ar-rusydy mina al-ghayyi” bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Di surat lain Allah berfirman: “Wa la ana ‘abidun ma ‘abadtum, wa la antum ‘abidun ma a’bud, lakum dinukum wa liyadin” (al-Kafirun, 109:4-6). Dakwah yang dilakukan harus dengan jalan kelembutan, bil mauidzah al-hasanah wa mujadalah bi allati hiya ahsan.Karena esensi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.

Banner Aloya Ramadan

Mengapa kita harus legowo akan pluralitas dan multikulturalisme? Bukan kewajiban dakwah diamanahkan kepada setiap muslim? Mengapa harus peduli dengan kemanusiaan? Mari berkontemplasi sejenak. Agama mewajibkan pemeluknya untuk menyampaikan seruan Tuhan walau ayatan, akan tetapi manusia tidak punya kuasa untuk menentukan iman liyan. Hakikatnya, iman tidak bisa dipaksakan. Setiap insan memiliki jalan imannya masing-masing. Toh sangat mungkin bagi Tuhan untuk mentakdirkan semua insan beriman kepada-Nya, kenyataanya lain, dan karenanya beriman atau tidaknya seseorang adalah hak prerogatif Tuhan, bukan urusan manusia. Al-Qur’an surat Yunus (10:99) mengatakan: “Kalau Tuhan mau, niscaya orang-orang yang di bumi ini akan beriman semuannya. Apakah engkau hendak memaksa manusia menjadi orang-orang yang beriman?”

Perjuangan akan kemanusiaan, hakikatnya sama dengan menghidupkan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Visi kemanusiaan yang dicetuskan para pendiri negara sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila, membuat bangsa Indonesia dapat bersatu dalam bingkai nasionalisme. Pluralitas yang ada, tak membuat negara ini terpecah belah. Bangsa yang sangat besar ini tentu sangat rawan akan perpecahan, bilamana tak dapat mengakomodir aspirasi dari perbedaan yang ada. Persatuan yang diharapkan, akan sulit terwujud jika hanya menonjolkan semangat keagamaan saja. Harus ada sinergi antara hubbu ad-din dengan hubbu al-wathan.

Sekali lagi, Pancasila memang tidak berlambangkan kalimat tauhid, butir-butirnya tidak ditulis dengan huruf Arab. Namun di situ ada Al-Qur’an yang hidup, ajaran-ajaran Islam termanifestasikan di situ, dan kenyataannya diterima oleh agama lain. Kehadiran Islam sebagai agama yang menebar kedamaian, memanusiakan manusia, menjunjung keadilan, mencita-citakan persatuan, serta menghargai perbedaan, termaktub dalam ideologi kita bangsa Indonesia. Pancasila adalah ideologi yang ideal untuk bangsa se homogen Indonesia ini.

Baca juga:  Lingga Anakku

PR besar untuk kita semua, bahwa beragama harus secara tuntas. Pemahaman agama yang tekstualis hanya berakibat pada ketidakmampuan menerima realitas dengan segala perubahan dan perbedaannya. Dewasa ini kita disuguhkan pada pemandangan yang memprihatinkan, dimana sekelompok orang yang cara beragamanya sangat rigid, ekstrim, dan intoleran. Meminjam syairnya Gus Dur, bahwa hari ini teramat banyak yang hafal ayat dan hadits, namun gemar mengkafirkan sesama, menindas minoritas, memaksakan kehendak, dan membenarkan tindak radikalisme atas nama agama. Al-Qur’an menjadi ‘senjata’ untuk kepentingan manusia.

Tidak, Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, ia diturunkan Tuhan juga untuk dihayati, direnungkan, diamalkan, dan dihidupkan dalam sanubari setiap insan. Memisahkan Al-Qur’an dengan realitas sosial hanya membuatnya berada di menara gading. Al-Qur’an harus dipahami esensinya, untuk kemudian dihidupkan di tengah masyarakat. Al-Qur’an harus menemani setiap langkah pergerakan manusia dalam menjalani amanahnya sebagai khalifah. Al-Qur’an harus menjadi tameng al-Maksum untuk melawan kebatilan dan ketidakadilan dengan cara bil ma’ruf. Al-Qur’an harus tetap hidup. Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top