Hidangan itu nyaris tak terbayangkan oleh orang-orang yang bukan Madura, atau tak pernah datang ke pulau Madura, khususnya bagian timur. Kaldu kokot namanya. Variasi nama yang lain adalah kaldu kèkèl. Huruf è dibaca seperti “e” dalam Ken Dedes.
Sebelum kita membahas makna filosofisnya, mari saya ajak Anda membayangkan bagaimana penampilan hidangan ini. Bahan pokoknya adalah kacang hijau, yang direndam semalaman lalu direbus hingga empuk tapi tidak hancur.
Nama kaldu sendiri merujuk pada hidangan dasar rebusan kacang hijau yang diberi bumbu dan kuah rebusan tulang dan tetelan daging itu. Biasanya orang Madura menggunakan tulang dan tetelan sapi untuk bahan rebusan. Tapi masyarakat Arab-Madura kerap menggunakan tulang dan tetelan kambing.
Sekilas, orang awam akan mengira bahwa masakan ini adalah bubur kacang hijau yang belum diberi santan, sebab warnanya coklat gelap. Perihal penampilan yang mirip bubur kacang hijau ini memang kerap mengecoh orang. Banyak orang luar Madura yang membayangkan rasa manis ketika melihat piring berisi hidangan pokok kaldu.
Mereka yang berekspektasi rasa manis itu biasanya kaget dan sedikit resisten ketika mengetahui bahwa rasa masakan kaldu itu gurih, asin dan cenderung pedas. Itu salah mereka sendiri, kenapa punya lidah yang etnosentrik.
Banyak orang yang bahkan lebih kaget lagi ketika melihat hidangan kaldu itu dalam komposisi lengkap. Aktor kegaduhan utama dalam sepiring kaldu versi komprehensif adalah sepotong besar kikil sapi, yang penuh dengan tendon dan seringkali berisi sumsum utuh. Itulah sejatinya yang disebut kokot atau kèkèl, yakni kikil sapi yang sebelumnya telah direbus dan menjadi pemegang saham terbesar dalam pembentukan rasa hidangan eksotif ini. Penampakan kaldu kokot secara full-team itu sungguh brutal: sepotong kikil teronggok di atas kacang hijau berkuah, disiram saus kacang-petis, dan kerapkali disertai dengan potongan korkét (kroket dengan bahan singkong).
Anda mau apa? Protein, karbohidrat, lemak, vitamin? Semua ada dalam piring yang penampilannya minim pencitraan itu..haha..
Tapi jangan salah, penampilan brutal itu sesungguhnya menyimpan makna filosofis yang sangat serius dan tidak main-main.
Begini intinya: kaldu kokot adalah makanan yang dibuat oleh orang Madura sebagai pengingat agar kita senantiasa bersikap tawaduk alias rendah hati, yang esensinya adalah ajaran Islam.
Tawaduk adalah penanda utama hadirnya cahaya ketuhanan dalam diri manusia. Lawan katanya adalah takabur yang merupakan sifat iblis. Sebagai daerah yang predominantly muslim, nilai keislaman memang merupakan rujukan utama di Madura.
Kaldu kokot mengajarkan kerendahan hati secara simbolik, tentu saja. Ini sama dengan banyak hal dalam kehidupan tradisional yang penuh dengan simbol, yang menyampaikan pesan secara sangat tersirat. Kemampuan transformasi makna dari satu generasi ke generasi berikutnya itu sangat ditentukan oleh pertemuan frekuensi pemaknaan antara mereka. Pesan yang semula encripted itu bisa dibuka kembali ketika seseorang mampu melakukan decipher.
Nah, pesan kerendahan hati dalam kaldu kokot itu terletak di bahan-bahannya. Kaldu kokot dibuat dari bahan rendahan. Semua bahan pembuat kaldu itu berasal dari kawasan yang tak melampaui pinggang manusia. Mari lihat satu persatu.
Bahan dasar kaldu adalah kacang hijau. Ini adalah sejenis kacang yang biasanya kita konsumsi juga ketika dalam bentuk kecambah. Ketika kecambah itu tumbuh menjadi pohon, dia akan menghasilkan lembaran berisi banyak biji. Pohon kacang hijau ini pendek, biasanya cuma selutut manusia dewasa. Dalam bentuk benih pohon bernama kecambah, maupun ketiga sudah jadi pohon dan menghasilkan biji, kacang hijau ini adalah sumber protein yang sangat penting sekaligus terjangkau bagi banyak kalangan. Itu dia lakukan dengan cara yang biasa-biasa. Pohonnya tidak indah, tidak tinggi dan tidak berbau harum. Kacang hijau itu tawaduk tapi sangat bermanfaat.
Bahan terpenting dalam kaldu kokot atau kaldu kèkèl adalah kikil sapi (kadang kambing). Ini jelas berasal dari bagian yang sangat rendah di badan sapi. Kikil adalah bagian tulang serta otot yang ada di ujung kaki sapi, yang hanya kalah rendah pada kuku saja. Penggunaan kaki sapi sebagai bahan penting dalam kaldu ini jelas berbeda dengan makanan lain yang menggunakan bahan di bagian atas sapi, seperti gulai gajebo yang bahan daging berlemaknya berasal dari pundak dan dada sapi.
Kaldu kokot berbeda dari atau gulai otak yang berasal dari, ya jelas, otak yang berada di kepala sapi. Makanan ini beda juga dari sop buntut yang berasal dari bagian dekat pantat sapi; serta berbeda juga dari semur lidah atau rujak cingur yang bahannya berasal dari area mulut sapi. Kikil sapi digunakan untuk mengajarkan pada kita bahwa yang berada di titik rendah belum tentu tidak lebih bermanfaat daripada yang berada di atas. Gulai otak memberi kita kolesterol, tapi kikil sapi memberi kita kolagen yang bisa membuat kulit tetap halus.
Bahan-bahan pelengkap kaldu kokot juga tak kalah rendahannya. Mari kita lihat korkét yang saya sebut-sebut di atas. Makanan ini terbuat dari singkong yang direbus, dihaluskan, lalu dikepal-kepal seukuran lemper dan digoreng. Singkong, meski pohonnya bisa tinggi, namun posisinya justru di dalam tanah. Kurang rendah apa lagi?
Kerendahan yang sama juga ditunjukkan oleh kacang tanah, yang merupakan bahan dasar untuk bumbu rujak yang sering dituangkan ke kuah kaldu untuk memperkaya citarasa sekaligus menghantarkan pedasnya cabe secara elegan. Cabe, kita tahu, berasal dari pohon yang tingginya cuma setinggi pohon kacang hijau. Di bumbu rujak itu jelas ada petis dan garam. Keduanya berasal dari laut, bukan dari atas awan.
Mungkin bumbu yang berasal dari pohon agak tinggi di racikan kaldu kokot adalah merica dan ketumbar. Tapi tugas mereka memang cuma melengkapi saja, sama seperti kecap yang berasal dari buah kedelai yang pohonnya rendahan.
Jadi kalau Anda sedang melihat sepiring kaldu kokot, jangan keheranan melihat bubur kacang ijo berasa asin dan dihindangkan dengan tulang segede tinju. Mending segera Anda nikmati sambil merenungi pesan-pesan filosofis dari bahan-bahannya, agar sebagai manusia kita senantiasa bersikap tawaduk.
Terakhir, dan ini yang paling esensial, Anda penasaran di mana bisa menikmati hidangan penuh ajaran adiluhung ini? Kalau sedang di Sumenep, ada dua opsi utama, dengan genre agak berbeda. Opsi pertama adalah Depot Maryani di desa Parsanga. Ini pilihan yang bagus kalau Anda suka versi lebih lean alias minim lemak dan rasanya lebih ‘ringan’. Warung ini buka pagi.
Opsi kedua adalah Warung Kokot Bu Adnan di Pajagalan, tak jauh dari Alun-alun. Versi Bu Adnan ini lebih berlemak karena bahan pokoknya termasuk jerohan seperti babat dan usus. Rasanya lebih ‘berat’.
Tapi kalau Anda sedang berada di Yogya, datanglah ke rumah saya di kawasan Rejodani, Sleman. Kadang di dapur ada sepanci kaldu kokot nganggur…
Bahan-bahan ‘kelas rendah’ tapi sekarang harganya jadi yang tertinggi: mirip transformasi jazz yang diawali atas dasar kebebasan, orang rendahan, improvisasi, kulit hitam, jelata, dan sekarang berubah sama sekali.