Sedang Membaca
Perusakan Situs Budaya Adat Dayak

Peneliti Desa. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jogja, Bali Post, Pikiran Rakyat, dan lain sebagainya. Bukunya yang telah terbit berjudul Potret Legislatif Desa Pasca Reformasi (2014) serta Jagoan dan Kekuasaan (2018). Bersama peneliti desa lainnya menulis buku Potret Politik & Ekonomi Lokal di Indonesia (2017). Kumpulan tulisannya bisa dirunut di rizamultazamluthfy.blogspot.com

Perusakan Situs Budaya Adat Dayak

 

Seorang satpam sebuah perusahaan dikabarkan merusak patung Sapundu yang selama ini dikenal sebagai situs budaya adat Dayak. Terkait hal ini, Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah genap membentuk tim khusus guna mengetahui secara langsung kerusakan situs yang berada di Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kotawaringin Timur, tersebut. Berdasarkan hasil pantauan tim, Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Agustiar Sabran menginformasikan bahwa destruksi situs budaya adat benar-benar terjadi.


Apa yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab di atas tentu mengingkari Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menggariskan bahwa adat istiadat desa merupakan sebagian kewenangan desa. Di dalamnya termaktub ketentuan bahwa desa mengantongi sejumlah kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, serta adat istiadat desa.

Pidana Adat
Selain rentan digolongkan kriminalitas, kegiatan merusak situs budaya adat juga dapat dikategorikan sebagai pidana adat yang memuat adanya sanksi adat. Berbagai komunitas adat, tak terkecuali suku Dayak di Kalimantan, kerap menuntut pelaku kejahatan untuk membayar denda sebagai kompensasi atas pelanggaran yang genap diperbuat. Tuntutan semakin berat manakala pelanggaran berhubungan dengan ranah publik yang lebih luas. Dalam situasi tertentu, keluarga pelaku kejahatan juga dibebani tanggung jawab terhadap kesalahan individu.

Baca juga:  Masih Relevankah Teori Emanasi Al-Farabi


Dengan demikian, berlakunya sanksi sosial tidak hanya mengenai pelaku kriminal, melainkan juga orang-orang terdekat yang mempunyai hubungan darah dengannya. Bagaimanapun, aib anggota keluarga mesti ditanggung bersama. Betapa sejak lama nilai dan etos kebersamaan menelusup hingga ruang privasi. Inilah sebagian pembeda antara hukum pidana adat dengan hukum pidana konvensional yang banyak dipengaruhi oleh paradigma berpikir Barat dan cenderung individualistis. Budaya Timur menganggap komunalisme sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Itulah mengapa, ruang-ruang sosial kerap lebih dominan ketimbang ruang-ruang personal.


Terhadap kejahatan yang berimbas pada keluarga atau individu tanpa mendatangkan disharmoni desa secara keseluruhan, pada umumnya pengurus adat akan mengenakan sanksi setelah digelarnya rekonsiliasi. Bermula dari pendekatan komunal inilah, kejahatan orang-orang berkedudukan tinggi memperoleh konsekuensi lebih besar, sehingga hukuman yang dijatuhkan kepadanya juga lebih besar. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin berat pula hukuman yang diterima. Hal ini disebabkan tanggung jawab hukum tergantung pada posisi individu dalam masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut adalah aturan hukum pidana adat bahwa risiko kejahatan yang merusak kepemilikan suatu benda tanpa berkaitan dengan para leluhur dinilai lebih kecil ketimbang kejahatan yang merusak benda sakral yang berhubungan dengan nenek moyang. (Ratno Lukito, 2012: 38-39).

Baca juga:  Kahanan

Ekspresi Imajinasi
Aksi destruktif terhadap situs budaya adat Dayak sangat disayangkan. Dalam taraf tertentu, ia mengandung filosofi mendalam serta syarat keindahan. Suku Dayak mampu mengekspreksikan imajinasinya dalam karya seni yang terabadikan sepanjang masa. Ikhtiar merefleksikan serta menafsirkan perjalanan makhluk hidup di dunia ditunjukkan dengan menciptakan berbagai hasil kreativitas yang artistik, eksotis, serta filosofis. Dalam tubuh mereka mengalir “darah seni” yang diwariskan lintas generasi. Tak heran apabila seni seringkali melandasi kegiatan-kegiatan individu maupun publik yang diselenggarakan oleh mereka.


Bagi suku Dayak Kalimantan, seni mempunyai banyak peran. Sebagai tolok ukur stratifikasi kedudukan individu dalam masyarakat tradisional, seni menjadi sarana pemelihara tatanan sosial yang berlaku umum. La Ode dalam Politik Tiga Wajah (2013: 53) menyebutkan, suku Dayak Kalimantan juga memfungsikan seni selaku sarana religius. Seni berperan penting dalam bermacam acara, semisal upacara rumah tangga serta pesta desa dengan menampilkan hasil-hasil karya. Oleh sebab itulah, seni mampu menjadi media pemuliaan personalitas serta penjamin eratnya harmoni beragam kelompok masyarakat Dayak Kalimantan.


Situs budaya adat juga menjadi penanda dan jatidiri suku Dayak. Ia menghadirkan ciri khas, karakter, serta keberagaman suku bangsa di Indonesia. Boleh dibilang, ketika mengunjunginya, seseorang berarti menapaki ingatan tentang leluhurnya. Keberadaan situs budaya adat turut merekam catatan peradaban para pendahulu sekaligus mengekalkan sejarah kehidupan nenek moyang. Atas dasar inilah, semua pihak sepatutnya menghargai dan menghormati keberadaan adat-istiadat Dayak, termasuk menjunjung tinggi terpeliharanya semua situs adat yang ada. Bagaimanapun, di samping mengandung ikhtiar mengokohkan fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini juga dikarenakan ekspresi kebudayaan dan keberagaman masyarakat adat genap memperoleh perlindungan dalam konstitusi. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top