Sedang Membaca
Ramadan dalam Kenangan: Tarawih dan Para Penghafal Alquran
Husein Muhammad
Penulis Kolom

Pencinta kajian-kajian keislaman, utamanya di bidang ilmu fikih, tema-tema keperempuanan, dan ilmu tasawuf. Menulis beberapa buku, aktif di pelbagai forum kajian, baik nasional ataupun internasional. Tinggal di Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, Jawa Barat

Ramadan dalam Kenangan: Tarawih dan Para Penghafal Alquran

  • Saya dulu tahun 1973-1979 belajar di PTIQ. Di sana kegiatan sehari-hari saya adalah menghafal Alquran

Tahun 1960, saat usiaku enam tahun. Walau masih anak-anak, aku masih ingat betul di rumah ada hajatan penting, yakni adik ibu saya atau putri Kiai Syathori dinikahkan dengan Kiai Mahfuzh Thaha, kiai yang ganteng asal Lebaksiu Tegal. Aku masih terkenang, mungkin karena pada saat pernikahan itu, aku disunat atau dikhitan.

Kiai Mahfuz adalah seorang “hafizh” atau “hamil” (sebutan untuk orang yang hafal Alqur’an 30 juz), alumni pesantren Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah. Sejak Kiai Mahfuz tinggal di pesantren kami, lahir tradisi baru di pesantren, yakni tiap rakaat tarawih membaca 1,5 sampai 2 halaman Alquran. Sebagai seorang hafizh, Kiai Mahfuzh yang menjadi imam. Tentu saja ini permintaan atau perintah dari sang mertua, Kiai Syathori.

Dalam tradisi pesantren salat Tarawih diselenggarakan sebanyak 20 rokaat plus 3 rakaat salat witir. Tiap sekali tarawih memakan waktu sekitar 2 jam. Lumayan capek berdiri. Nah, maka 30 Juz itu biasanya dapat dikhatamkan dalam 20 hari.

Saat Kiai Mahfuzh mengimami, Kiai Syathori selalu berada tepat di belakangnya sambil memegang mushaf dan “menyimak”, yakni mengamati bacaan hafalan Imam dengan melihat mushaf. Boleh jadi juga untuk mengkoreksi jika ada kekeliruan bacaan atau lupa. Bisa dibilang, Kiai Mahfuzh adalah hafizh pertama di Arjawinangun.

Baca juga:  Didi Kempot dan Laki-Laki yang Boleh Menangis

Beliau wafat tahun 1999 di pesantren Darul Quran, Muara Bulian Jambi yang didirikannya, tahun 1991. Beliau meninggalkan anak-anaknya yang juga Hafiz. Anaknya: Kiai Ubaid dan menantunya: Kiai Dr. Ahsin Sakho, itu yang menggantikan beliau meneruskan tradisi ini sampai hari ini. Alfatihah.

Di samping itu, tiap sore, sesudah salat Ashar, di bulan Ramadan juga Kiai Mahfuzh Thoha mengadakan sema’an Alquran yang dihadiri oleh masyarakat di sekitar pesantren. Jumlahnya bisa mencapai 70 orang. Beliau membaca dengan hafalan al-Quran dan yang lain menyimak/mendengar sambil melihat dan memperhatikan.

Biasanya, setelah sema’an, beliau memberikan taushiyah, atau menjelaskan hal-hal penting terkait dengan bacaan dan makna beberapa ayat Alquran yang dibacanya. Tradisi ini juga masih berlangsung sampai sekarang.

Selepas Kiai Mahfuzh wafat, anaknya yang juga “hafizh”, Kiai Abdullah Ubaid yang meneruskannya. Jika berhalangan mengundang orang luar yang hafal Alquran untuk menjadi imam salat Tarawih dan hadir di acara sema’an. Kiai Ubaid, adalah pengasuh pesantren Darul Quran di Lebaksiu, Tegal. Santrinya sudah mencapai sekitar 2000 laki-laki dan perempuan.

Saya sendiri sebetulnya juga adalah seorang hafizh, meskipun hafalan saya tidak sebaik dan sehebat adik saya, Kiai Ahsin. Atau bahkan lebih tepat disebut “pernah jadi Hafizh”. He..he…

Baca juga:  Gus Dur dan Arswendo Atmowiloto

Saya dulu tahun 1973-1979 belajar di PTIQ. Di sana kegiatan sehari-hari saya adalah menghafal Alquran. Kiai Mahfuz sering menyuruh saya jadi imam Tarawih. Dan saya sering hanya sanggup setengah juz saja, dan itu untuk beberapa juz awal.

Sekarang sudah tidak lancar lagi, lebih tepatnya banyak lupanya. Maka kalau saya diminta jadi imam Tarawih, saya akan baca dari surah “al-Hakum..” sampai “Tabbat..” pada tiap rakaat pertama plus “Qulhu..” pada rakaat kedua. Untuk Witirnya baca surah “Sabbihis..” dan “Qulya..” serta surah “Qulhu..” dan mu’awwidzatain. Harap maklum. He he he… Bagaimana dengan bacaan Alquran Anda?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top