Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Fiil (Bagian 3)
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Fiil (Bagian 3)

Do1ttyww4aamp2m

Abdul Muthalib bertanya kepada Dzu Nafar, “Hai, Kang Dzu Nafar! Bagaimana ini, Kang?”

“Masukan saya cuma ada satu!” kata Dzu Nafar, “Pawang gajah selalu menjaga gajah raja. itu, nama Unais. Dia adalah sahabatku. Saya akan mengirim berita kepadanya tentang halmu dan saya akan mengatakan padanya bahwa panjenengan ini orang penting dan disegani. Semoga dengan demikian panjenengan bisa bertemu dengan raja.”

“Baiklah.” kata Abdul Muthalib.

Lalu Dzu Nafar mengirim orang kepada Unais pengawal gajah raja. Kepada Unais itu Dzu Nafar mengenalkan sosok Abdul Muthalib. Bahwa dia adalah Penguasa orang Quraisy, yang empunya sumur Zamzam, yang memberi makan orang yang terlantar dan memberi makan binatang buas di puncak bukit-bukit. Untanya 200 ekor dirampas prajurit raja. Dia mohon izin menghadap.

“Saya sanggupi.” kata Unais.

Unais menghadap raja dan mengatakan, “Daulat Tuanku, beliau adalah Ketua Quraisy. Dia telah berdiri di hadapan pintu Tuanku, ingin menghadap. Dialah yang menguasai sumur Zamzam di Mekkah. Dialah yang memberi makanan manusia di tanah rendah dan memberi makanan binatang buas di puncak gunung-gunung. Beri izinlah dia masuk, Tuanku. Biarlah dia menyampaikan apa yang terasa di hatinya.

“Suruhlah dia masuk.” titah Raja.

Abdul Muthalib adalah seorang yang rupawan, berwajah menarik dan berwibawa. Baru saja dia masuk, ada sesuatu yang memaksa Abrahah berdiri menghormatinya dan menjemputnya ke pintu kemah. Abrahah merasa tidaklah layak orang ini akan duduk di bawah dari kursinya. Sebab itu Abrahah sendirilah yang turun dari kursi dan sama duduk di atas hamparan berdekatan dengan Abdul Muthalib.

“Suruh katakanlah apa hajatnya!”

Abdul Muthalib menjawab dengan perantaraan penterjemah: “Maksud kedatanganku ialah memohonkan kepada raja agar unta kepunyaanku, 200 ekor banyaknya, dikembalikan kepadaku.”

Baca juga:  Dari Sepak Bola hingga Mantan Pacar, Kenapa Kita Membenci Hal yang Seharusnya Tidak Perlu Dibenci?

Abrahah menjawab, “Mulai dia masuk aku terpesona melihat sikap dan rupanya, yang menunjukkan bahwa dia orang besar. Tetapi şetelah dia mengemukakan soal untanya yang dirampas oleh orang-orangku, dan dia tak membicarakan sama sekali tentang Kakbah yang akan kuruntuhkan, menjadi sangat kecil dia dalam pandanganku.”

Abdul Muthalib menjawab, “Saya datang ke mari mengurus untaku, karena unta-unta itu adalah milikku. Sedangkan Kakbah itu, aku tak perlu membicarakannya. Sebab Kakbah sudah ada yang punya, yaitu Gusti Allah. Jadi itu adalah urusan Allah. Bukan urusanku.”

Dengan sombong Abrahah menjawab: “Ah, Bahkan Allah itu sendiri tidak akan dapat menghambat maksudku!”

“Itu terserah Tuan. Aku datang ke mari hanya mengurus untaku,”

Unta yang 200 ekor itu dikembalikan kepada Abdul Muthalib. Lalu dia kembali ke Mekkah lantas memberi nasihat supaya seluruh penduduk untuk segera meninggalkan Mekkah agar tidak terkena serangan pasukan Abrahah yang sedang mengamuk.

Dengan diiringkan oleh beberapa pemuka Quraisy, Abdul Muthalib pergi ke pintu Kakbah, lalu mereka berdoa bersama-sama menyeru Allah, memohon pertolongan, dan agar Allah memberikan pembalasannya kepada Abrahah dan tentaranya. Sambil memegang gelang pintu Kakbah itu dia bermohon; “Ya Tuhanku! Tidak ada yang aku harap selain Engkau! Ya Tuhanku! Tahanlah mereka dengan benteng-Mu! Sesungguhnya siapa yang memusuhi rumah ini adalah musuh-Mu. Mereka tidak akan dapat menaklukkan kekuatan-Mu.”

Setelah selesai bermunajat kepada Tuhan, Abdul Muthalib bersama orang-orang yang mengiringkannya pergi ke lereng-lereng bukit. Di sanalah mereka berkumpul menunggu apakah yang akan diperbuat Abrahah terhadap negeri Mekkah.

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Ma’un (Bagian 5)

Setelah pagi besoknya Abrahah memasuki Mekkah dengan gajahnya yang diberi nama Mahmud. Dia telah bersiap-siap hendak meruntuhkan Kakbah. Kalau sudah selesai dia bermaksud segera pulang ke Yaman. Setelah gajah dihadapkan menuju Mekkah, seorang tawanan dari Kabilah Khats’am yang bernama Nufail bin Habib dijadikan penunjuk jalan.

Dia medekati gajah tersebut, lalu dipegangnya telinga gajah dengan lemah lembut dan berbisik, “Kalau engkau hendak dihalau berjalan hendaklah engkau tengkurup saja, hai Mahmud! Lebih baik lagi bila engkau pulang saja ke tempat engkau semula di negeri Yaman. Sebab engkau sekarang hendak dikerahkan ke Baladillah al-Haram (Tanah Allah yang suci lagi bertuah),”

Setelah mendengar bisikan, gajah tersebut terus tengkurup, tidak mau berdiri. Nufail bin Habib sendiri pun pergi berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, menuju sebuah bukit. Ketika akan berangkat, gajah disuruh berdiri tidak mau berdiri. Dipukul kepalanya dengan tongkat, supaya dia segera berdiri, dia tetap duduk tak mau bergerak.

Diambil pula tongkat lain, ditonjolkan ke dalam mulutnya supaya dia berdiri, namun dia tidak juga mau berdiri. Lalu ditarik kendalinya dihadapkan ke negeri Yaman; dia pun segera berdiri, bahkan rnulai berjalan kencang. Lalu dihadapkan lagi ke arah Syam. Dengan gembira dia berjalan cepat menuju Syam. Lalu dihadapkan pula ke Timur, dia pun berjalan kencang. Kemudian dihadapkan dia ke Mekkah, dia pun duduk kembali, tidak mau bergerak. Padahal Abrahah sudah siap, tentaranya pun sudah siap.

Dalam keadaan yang demikian itu, demikian uraian Ibnu Hisyam dalam Sirahnya nampaklah di udara beribu-ribu ekor burung terbang menuju mereka dari arah laut. Burung itu membawa tiga butir batu; sebutir di mulutnya dan dua butir di genggamannya dengan kedua belah kakinya. Dengan serentak burung-burung itu menjatuhkan batu sehingga mengenai tentara di bawahnya.

Baca juga:  Tafsir Surah Quraisy (Bagian 1)

Mereka berteriak dan berlari kesakitan, tumpang siur tidak tentu arah, karena takut akan ditimpa batu kecil-kecil yang sangat panas membakar itu. Lebih banyak yang kena batu dari pada yang tidak kena. Semua menjadi kacau balau dan ketakutan. Orang yang terkena batu, terkapar jatuh dan yang tidak sampai keņa hendak segera lari kembali ke Yaman. Mereka mencari Nufail bin Habib untuk menunjuki jalan menuju Yaman, namun dia tidak mau lagi.

Malahan dia bersyair: “Ke mana akan lari, Allahlah yang mengejar, Asyram (Abrahah) yang kalah, bukan dia yang menang.”

Mereka berlarian pulang. Satu demi satu yang terkena lontaran batu itu terjatuh. Dan yang agak tegap badannya masih melanjutkan pelarian menuju negerinya, namun di tengah jalan mereka berjatuhan juga.

Adapun Abrahah sendiri yang tidak terlepas dari lontaran batu itu masih sempat naik gajahnya menuju Yaman, namun di tengah jalan penyakitnya bertambah membahayakan. Terkelupas kulitnya, gugur dagingnya, sehingga sesampainya di negeri Yaman boleh dikatakan sudah seperti anak ayam yang akan mati. Lalu dia mati dalam kehancuran. Sehinga terkenallah tahun itu dengan nama “Tahun Gajah.”

 

Referensi

Tafsir Al-Qur’an al-Adhim karya Ibnu Katsir

Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani

Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab

Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby

Sirah Nabawiyah Karya Ibnu Hisyam

Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top