Covid-19 mengingatkan kita pada film World War Z (2013). Film yang merepresentasikan gambaran bagaimana satu pandemi meruntuhkan seluruh tatanan dunia. Wabah rabies yang pelahan menjangkiti dunia ditengarai berasal dari virus misterius yang belum diketahui dari mana asalnya. Efek yang ditimbulkan oleh pandemi digambarkan secara apik dalam film ini.
Manusia yang terkena virus berubah menjadi makhluk semacam “binatang” yang kelaparan dan mencari mangsa. Mangsa yang dimaksud adalah manusia lain yang dijangkiti dengan cara digigit. Setelah terjangkit, mereka pun berubah menjadi sesosok mayat hidup (zombie) yang berjalan di atas dunia. Sosok manusia tak lagi menjadi manusia.
Gerry Lane (Brad Pitt), mantan penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Dr. Fassbach (Elyes Gabel), ahli virus, kemudian ditugaskan oleh wakil sekretaris PBB, Thierry Umutoni (Fana Mokoena) untuk menyelidikinya. Sang wakil sekretaris PBB itu yakin bahwa andaikata sumber virus tersebut ditemukan, maka vaksin anti-virus akan dapat di buat. Camp.
Humphreys yang berada di Korea Selatan merupakan tempat penyelidikan pertama mereka. Hal itu karena adanya e-mail yang menyebutkan istilah “zombie” dalam sebuah memo yang berasal dari tempat tersebut. Tapi sayangnya, sang ahli virus tewas saat dalam perjalanan menju Camp Humphreys. Gerry lantas melanjutkan penyelidikan tentang keberadaan virus itu seorang diri.
Melalui berbagai aksi yang dilakukannya, sang mantan penyelidik PBB itu mencoba melacak jejak bagaimana virus misterius itu bermula. Sampai akhirnya ia merasa terpanggil untuk mencari solusi atas bencana kemanusiaan tersebut.
Upaya menyelamatkan umat manusia tak digambarkan melalui pengobatan pada mereka yang telah menjadi zombie, tapi dengan mencari metode yang tepat untuk menyelamatkan mereka yang masih selamat.
Senjata Biologi Penghacur Kemanusiaan
Tubuh manusia yang telah terinfeksi virus digambarkan dapat berubah menjadi sesosok “binatang.” Transformasi ini dapat dimaknai sebagai simbol kehancuran hakikat tatanan kemanusiaan. Tubuh manusia yang telah terinfeksi tetap dapat bergerak layaknya manusia, tapi berbagai kemampuan yang dimilikinya akan hilang. Efek agresifitas yang muncul karena terjangkiti virus tersebut seperti halnya binatang yang mengejar mangsanya.
Demikianlah adagium homo homini lupus menemukan maknanya, baik secara literal maupun metaforis. Manusia adalah manusia andaikata ia memiliki sistem kontrol atas diri dan kehidupannya. Hal ini diperlihatkan dalam berbagai peristiwa penyerangan para zombie pada manusia lainnya.
World War Z memperlihatkan berbagai representasi efek virus pada tubuh manusia. Tubuh yang terkontaminasi akan berubah menjadi sosok yang brutal dan ganas. Mereka menyerang dan memburu manusia normal lainnya dengan cara menggigitnya. Tubuh yang telah tergigit untuk selanjutnya akan mengalami kejang-kejang dan dalam hitungan detik akan bertransformasi pula menjadi menjadi zombie.
Tak ayal lagi, virus adalah makhluk metaorganisme yang merupakan bentuk peralihan antara benda mati (yang memiliki sifat dapat dikristalkan) dan mahluk hidup (karena dapat berkembang biak) di mana tubuhnya terdiri dari asam nukleat. Virus membutuhkan makhluk hidup lainnya untuk berkembang biak. Hal ini dikarenakan ia tak memiliki sel yang merupakan syarat untuk melakukan reproduksi.
Dalam film besutan Mark Foster tersebut digambarkanlah efek serangan virus yang secara spesifik memengaruhi sistem syaraf otak.Sebagaimana yang diketahui, otak adalah pusat dari berbagai kemampuan di mana tubuh manusia dapat di kontrol. Melalui otaklah berbagai informasi tentang tatanan budaya, politik, agama, dst., disimpan dan dipahami. Oleh karena itu, andaikata otak tersebut rusak, maka rusak pula segala tatanan dunia.
Runtuhnya Ideological State Apparatuse (ISA)
Efek dari virus yang merubah manusia menjadi zombie adalah hilangnya berbagai tatanan masyarakat. Dalam film ini dikisahkan bahwa wabah tersebut segera tersebar ke seluruh benua. Berbagai wilayah yang penduduknya sudah menjadi mayat kehilangan pula Ideological State Apparatuse (ISA).
ISA berhubungan erat dengan berbagai proses reproduksi yang membangun mekanisme produksi antara pekerja dan sistem upah. Hal ini mewujud dalam bentuk berbagai struktur pengetahuan manusia tentang dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Dengan berubahnya manusia menjadi zombie akibat implantasi virus, maka pada saat yang sama sistem pengetahuan itu pun menjadi hilang. Tak ada lagi tata aturan ataupun perundangan yang dapat mengontrol dan mengarahkan manusia untuk produktif atau berfungsi secara kapitalistik. Kondisi ini menyebabkan hancurnya berbagai wilayah di mana manusia itu tinggal.
Kehancuran berbagai infrastruktur yang menyokong daya produksi di kota-kota besar adalah sebuah representasi runtuhnya berbagai tatanan di tingkat suprastruktur yang memuat ideologi, hukum, politik, cara pandang, sistem nilai dan sistem kepercayaan.
Dengan kata lain, dalam perspektif Marxian klasik, para manusia yang telah menjadi zombie tak lagi dapat mengaktualisasikan potensinya dengan bekerja di mana kemanusiaannya menjadi termanifestasikan. Mereka tak lagi memiliki akses baik secara mental maupun fisik dalam sistem mekanisme pasar yang telah dikembangkan manusia selama ribuan tahun.
Dalam film World War Z secara gamblang digambarkanlah hilangnya otoritas dan tatanan sipil negara. Otoritas yang dimaksud tak hanya pada dimensi politik atas wilayah fisik melainkan juga secara kultural. Hal ini ditandai oleh berbagai pengambaran keadaan chaotic.
Hilangnya tatanan sipil dan pasar diperlihatkan dalam berbagai bentuk dan kondisi ini terjadi di seluruh dunia. Ada beberapa negara di mana dalam film tersebut diceritakan telah kehilangan otoritas: Amerika Serikat, Israel, Korea Selatan, India, Srilanka dan bahkan seluruh belahan benua Eropa.
Berbagai wilayah telah berubah dari tatanan masyarakat sipil menjadi dunia liar yang dihuni para zombie. Berbagai tempat yang semula aman dan nyaman bagi kehidupan manusia berubah menjadi tempat yang mencekam. Manusia yang masih hidup seolah hanya memiliki dua pilihan: bertahan hidup dengan cara apapun atau menyerah (menjadi zombie).
Pertama, pada adegan di mana keluarga Gerry berada di NJ Mart Supermarket yang terletak di Netwark, New Jersey. Mereka melihat bahwa kondisi tempat itu telah menjadi chaos. Penjarahan supermaket dapat menjadi simbol atas hilangnya otoritas kontrol pasar. Seperti lazimnya, pasar modern memiliki mekanisme jual-beli dengan standarisasi dan aturan tertentu.
Kondisi chaos sosial pada masyarakat menyebabkan mekanisme itu tak terjadi. Hilangnya otoritas dapat pula disaksikan pada sebuah adegan di mana sesaat setelah Gerry menembak seorang pria untuk melindungi istrinya dari penyerangan, tiba-tiba seorang polisi menghampiri mereka. Tapi polisi itu tak melakukan tindakan apapun. Ia justru melewati Gerry dan melakukan hal yang sama seperti orang lainnya: menjarah barang di supermarket.
Kedua, hilangnya otoritas direpresentasikan pula melalui berbagai scene yang memperlihatkan hilangnya berbagai simbol kehadiran negara. Kejatuhan Washington D.C., sebagai ibu kota Amerika Serikat ditandai oleh semua orang yang berubah menjadi zombie. Penanda lain adalah tewasnya Presiden Amerika Serikat karena telah menjadi mayat hidup.
Hanya beberapa orang saja yang selamat. Tapi meskipun demikian, manusia yang tersisa masih mempertahankan otoritas kekuasaannya melalui pembentukan pemerintahan darurat di sebuah kapal perang yang berada di tengah laut: U.S.S. Argus. Secara spesifik tempat itu menjadi Kantor darurat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ketiga, hilangnya otoritas negara yang lain adalah pada berbagai scene yang berlokasi di Israel. Kota yang semula terasa aman ternyata bukanlah tempat yang aman bagi perlindungan manusia. Informasi selanjutnya adalah melalui mekanisme pertahanan diri “dinding kota Yerusalem.”
Seorang perwira tinggi Mossad (lembaga intelijen Israel), Jurgen Warmbrun mengaku pada Gerry bahwa ia tahu tentang pandemi virus jauh sebelum hal itu terjadi. Mossad mendapatkan informasi dari pembicaraan seorang jendral di India perihal kehadiran Rakshasha yang diterjemahkan olehnya sebagai zombie atau yang tak dapat mati.
Dengan membangun tembok Yerusalem, perwira tinggi itu berharap dapat menyelamatkan sebanyak mungkin manusia. Dengan demikian, tembok kota Yerusalem dibangun dengan tujuan untuk menahan para zombie agar tak sampai ke pemukiman manusia.
Tapi upaya ini gagal, karena para zombie berhasil menembus tembok pertahanan. Alih-alih menjadi tempat perlindungan, kota Yerusalem justru menjadi ajang perburuan para zombie untuk menggigit manusia sehat agar dapat menjadi para inang virus tersebut.
Meretas Jejak yang Ditinggalkan
Setelah kematian Dr. Fassbach, Gerry terus melanjutkan penyelidikannya atas sumber virus. Ia menyadari bahwa mereka yang telah terkontaminasi virus sesungguhnya telah mati dan tak lagi dapat diselamatkan. Upaya pencarian solusi oleh mantan penyelidik PBB itu pun berujung pada upaya mencari cara bagaimana mencegah virus itu untuk tak menyebar dan menjangkiti banyak manusia lainnya.
Berdasarkan temuan Gerry atas berbagai upaya pertahanan diri yang telah dilakukan manusia, ia pun menemukan bahwa semua upaya itu tak efektif untuk menghancurkan pasukan zombie.
Pertama, adalah upaya militer. Saat berada di Camp. Humphreys ia menjadi tahu bahwa dengan menembaki tubuh para zombie hanya akan memperlambat gerak tubuh dan tak akan mematikan mereka. Menurut informasi seorang tentara, tembakan yang tepat di kepala memang akan membunuh mereka, tapi yang paling efektif sebenarnya adalah dengan membakar tubuh mereka.
Kedua, adalah dengan membangun tembok penghalang sebagaimana yang dilakukan oleh Israel. Cara ini ternyata juga gagal, karena setinggi apapun dinding penghalang, dalam kondisi khusus para zombie tetap dapat menemukan cara untuk memanjatnya. Kasus Yerusalem adalah bukti kegagalan manusia dalam membendung para zombie.
Ketiga, Gerry menemukan bahwa tak ada tempat untuk melarikan diri di daratan yang aman selama para makhluk itu masih berjalan di atas bumi. Persebaran pandemi zombie yang sangat cepat menyebabkan hadirnya kondisi yang tak aman untuk manusia.
Pada akhirnya, Gerry teringat pada sang ahli virus yang memiliki kesimpulan bahwa sisi paling brutal dari virus sesunggunya adalah mekanisme pertahanan diri atas kelemahannya. Atau dengan kata lain, para zombie hanya menarget manusia yang bertubuh sehat dan tak pernah menarget manusia yang sedang sakit.
Karena, ternyata, manusia yang sedang sakit tak memiliki sistem sel yang bagus dan mendukung virus itu untuk bereproduksi. Mantan agen PBB itu teringat berbagai peristiwa yang ia alami di mana ia menemukan fakta adanya manusia-manusia yang tak diserang oleh para zombie meski mereka berada di tengah-tengahnya.
Pertama, pada adegan saat ia bertemu dengan seorang tentara dengan kaki yang pincang di perkemahan Humphreys. Dapat diketahui jika tentara itu sama sekali tak diserang oleh para Zeke (mayat hidup) yang dulunya adalah para tentara penjaga seperti dirinya.
Kedua, saat di Israel yang menjadi kacau akibat keberhasilan para zombie menembus tembok pertahanan. Pada peristiwa itu Gerry sekilas melihat seorang pemuda yang seperti terkena kangker dan seorang lanjut usia yang lemah yang ternyata tak diserang oleh para zombie.
Ketiga, Zegen, seorang tentara Israel yang telapak tangannya digigit oleh Zombie, tapi tak berubah menjadi Zombie. Hal ini dikarenakan Gerry segera memotong telapak tangan tentara tersebut dengan sebilah pisau yang akhirnya menyebabkan kondisi tubuh si tentara menjadi lemah. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Gerry, “Kelemahan manusia adalah kelemahan virus (zombie) itu.”
Merebut Kembali Kemanusiaan
Film World War Z setidaknya dapat mengusik benak kita akan pertanyaan tentang hubungan antara manusia dengan virus. Terlebih lagi dalam situasi yang saat ini sedang kita hadapi: pandemi covid-19 (virus corona). Pandemi corona, andaikata tak segera tertangani, akan pula menyebabkan runtuhnya ISA yang berakibat runtuhnya pula negara secara keseluruhan.
Peringatan agar penanganan pasien corona harus dengan alat pelindung diri (APD) yang tepat untuk setiap tenaga kesehatan, demi keselamatan mereka dan keberlangsungan pelayanan penanganan pasien, dapat dibaca sebagai indikasi potensi runtuhnya ISA. Fakta bahwa covid-19 dapat menjangkiti siapa saja dan jumlah tenaga kesehatan yang tertular covid-19 juga bertambah, memperlihatkan bahwa negara berpotensi kehilangan otoritasnya.
Infrastruktur yang otomatis berubah karena wabah corona telah merubah pula berbagai suprastruktur di Indonesia. Selain suprastruktur politik, yang paling kentara, adalah suprastruktur agama. Himbauan untuk tak mengadakan acara-acara yang bersifat kerumunan, termasuk acara-acara keagamaan sekali pun, oleh pemerintah dan ormas-ormas keagamaan mengindikasikan telah berubahnya suprastruktur agama.
Kami teringat salah satu kalimat dalam novel Burung-Burung Manyar karya Romo Y.B. Mangunwijaya: “Orang-orang negeri ini pandai mempermanis berita-berita pahit.” Berbagai pemberitaan yang beredar seolah melupakan bagaimana seharunya menyikapi dengan bijak terkait dengan kehadiran pandemi.
Kehadiran wabah corona yang menginfeksi manusia secara global dan sejauh mana pengaruhnya bagi kehidupan manusia seharusnya menjadi bahan sekaligus ruang untuk berefleksi tentang keberlangsungan umat manusia ke depan.
Untuk itulah kita harus kembali belajar melihat diri kita ke dalam: “Provehito in Altum.” Dengan kata lain, pandemi ini tak dapat dipandang hanya melalui kacamata modernitas belaka di mana manusia menjadi pusat segala sesuatunya.
Konsep humanisme modern yang menempatkan manusia lebih superior dibanding alam tak urung menyingkapkan keterbatasannya. Modernisme tak pernah meletakkan alam sebagai partner manusia, tapi semata seonggok obyek untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari berbagai kasus corona yang ada, seumpamanya di Italia, para tenaga kesehatan dan rumah sakit sampai harus memprioritaskan orang-orang muda untuk disembuhkan daripada orang-orang lanjut usia karena saking banyaknya yang terjangkit wabah corona. Pada titik inilah segala kemampuan manusia benar-benar disingkapkan keterbatasannya.
Ternyata alam dan apa yang terjadi di dalamnya tak selamanya dapat dikendalikan oleh manusia. Segala kesombongan humanisme modern, yang terlahir dari Italia, seolah sampai pada titik nadirnya dan segala kritik atas modernisme pun seperti mendapatkan perwujudan nyatanya.
Lantas apakah kita harus menyerah begitu saja dan membiarkan manusia tersapu bersih oleh sebuah wabah yang bersifat global? Pada World War Z tersingkap bahwa upaya manusia untuk mengatasi masalah yang tengah menderanya tak pernah usai. Instingnya untuk bertahan hidup tetap menyala, di antaranya lewat sang tokoh utama, Gerry Lane.
Ia tetap bersikeras untuk menemukan solusi sekaligus untuk hidup. Dan penemuannya yang tak terduga-duga justru seperti dapat menumbuhkan harapan baru: “Kelemahan manusia adalah kelemahan virus (zombie) itu.” Dengan kata lain, keterbatasan atau kerapuhan manusia adalah justru letak dari kekuatannya, ciri kemanusiaan yang menjadikannya manusia.
Kami sempat berpikir, di tengah rundungan wabah corona saat ini, dari berbagai kasus yang ada, ternyata tak ada data tentang orang yang dikategorikan abnormal, atau lugasnya “orang gila,” yang terkategorikan positif terjangkit wabah itu atau entah sekedar berstatus sebagai ODP, PDP, dan ODR. Barangkali, sekedar rasa penasaran yang membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Benarlah kata Gerry Lane dalam World War Z, “Kelemahan manusia adalah kelemahan virus itu.” (Ajeng Dewanthi, peneliti lepas budaya, sejarah, dan politik. Alumnus Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta).