Sedang Membaca
Bahasa dan Sastra Pesantren (3): Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dalam Sejarah Pesantren
Andi Tri Saputra
Penulis Kolom

Pengajar di Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar. Pernah menimba ilmu di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bidang Tafsir Al-Qur'an.

Bahasa dan Sastra Pesantren (3): Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dalam Sejarah Pesantren

Whatsapp Image 2021 10 12 At 22.17.28

Al-Qur’an sebagai pedoman bagi umat Muslim diturunkan tidak pada suatu ruang yang hampa, tetapi ia turun sebagai respon terhadap kehidupan sosial masyarakat Arab pada masa itu. Bukan hanya merespon perbuatan masyarakatnya, tetapi dari segi bahasa yang berkembang saat itu.

Dikatakan bahwasanya Mekkah pada abad ke-7 adalah tempat yang paling tepat untuk mendengarkan lantunan puisi para penyair Arab terbaik. Sedangkan Nabi Muhammad sebagai Nabi yang menerima al-Qur’an hidup dalam konteks tersebut, konteks di mana dunia sastra arab sangat berkembang.

Ingrid Matson (2013) dalam karyanya mengatakan bahwa selain teknik melodi yang mungkin digunakan pembacanya, ayat-ayat al-Qur’an juga sarat dengan irama, nada puitis, dan sajak. Dari sisi ini dikatakan bahwa bahasa Arab al-Qur’an meminjam pola oral puisi pra-Islam walaupun al-Qur’an sendiri bukanlah puisi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak serta merta menghapuskan kebudayaan yang ada di masa pra-Islam ketika ia datang, tetapi tetap digunakan pada bagian-bagian tertentunya. Hal ini juga selaras dengan bahasa Kawi, Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno yang ada di Nusantara sebelum masuknya Islam, yang mana bahasa-bahasa tersebut identik dengan bahasa ajaran Hindu-Budha, ajaran agama yang berkembang pesat sebelum masuknya Islam.

Dalam sejaranya orang-orang pesantren jelas masih mempertahankan bahasa Jawa Kuno (Kawi) ini walau bukan untuk diamalkan dan dikomunikasikan untuk bahasa sehari-hari. Dalam penelitian Benherd (Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan dalam Puisi Jawa 1600-1930), dikatakan bahwa dalam teks-teks pesisir-pesantren kata ‘kawi’ sedikit jumlahnya dan jenisnya lazim. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Kawi tetap digunakan dalam dunia teks pesantren walau tidak banyak digunakan.

Baca juga:  Muqarnas, Warisan Ajaib Arsitektur Islam

Menurut Ahmad Baso sendiri kaum pesantren mempelajari bahasa Kawi untuk membantu mereka menggiatkan praktik menulis ulang teks-teks lama. Yakni, menulis kembali teks-teks Hindu-Budha ke dalam lingkungan alam pemikiran pesantren. Salah satu contoh kasus yang diangkat Ahmad Baso adalah Yosodipuro, seorang pujangga kraton Surakarta dari Abad ke-18 yang pernah belajar di suatu Paguron Ageng (Pesantren Besar) di Kedhu Bagelen yang diasuh oleh Kiai Onggamaya, untuk mempelajari bahasa Kawi.

Yosodipuro yang juga dikenal sebagai Bagus Banjar pernah nyantri Pesantren Palar, Pengging, yang diasuh oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Kalipah Caripu. Kakeknya inilah yang mendorong Bagus Banjar untuk mondok di pondok Kiai Onggamaya. Selain mempelajari bahasa Kawi, ia juga mendalami keterampilan seni dan budi pekerti. Seka umur 14 tahun ia menjadi santri selama lima tahun, ia belajar menulis huruf Jawa serta Arab (yakni Arab Pegon), dan ngaji al-Qur’an, mempelajari ilmu syariat, nahwu, tata bahasa, sastra dan sejarah kuno. Seluruh pelajaran sebagai santri pelajarinya bahkan ilmu kanuragan yang menjadi salah satu pelajaran penting di masanya.

Dikatakan pula bahwa setelah Bagus Banjar ini menguasai bahasa Kawi dan ilmu sejarah kuno, ia lalu menulis ulang teks-teks masa lalu itu ke dalam bahasa Jawa baru dengan mengintegrasikan pandangan dunia pesantren di dalamnya. Salah satu contohnya adalah ketika ia menulis ulang teks Nitisruti dari masa Hindu-Budha:

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (2): From Karkheh to Rhein, Kisah Nasionalisme yang Mulanya Dianggap Subversif

Rèhne pangiwa sampun kinawi, kasujanan sujana sarjana, mingis ingungas gandane pan wus kinirtèng kidung, koja lawan sang natèng Mèsir, rèh sang para sarjana, anjarwakèn wuwus, wignyaning pradnya ditadnya, kasusilan lan salungguhing naya’di, yan ika kadriyana

Kutipan di atas ini kemudian ditafsirkan kembali oleh Poerbatjakara dalam bahasa Jawa yang lebih modern dan lugas:

Ing layang-layang kang dudu asli agama Islam wus padha mratelakake mungguh pèpathokaning kasujanan, lakune para sujana, sarjana. Iku yèn ko inguk mèsthi krasa (yèn ko waca kowe mèsthi wèruh). Ana manèh lèlabèdane Sang Kojajajahan lan ratu ing Mèsir iya wis didadèkake carita kidung. Wis akèh para sujana ènggone ngandharake piwulang, sangka kawruhe olèh saka layang-layang kuna bab kasusilan lan dununing laku kang bècik; iku bae lèbokna ing atimu…

(Dalam tulisan-tulisan kawi yang belum dipengaruhi agama Islam, sudah diterangkan dengan pas tentang peraturan kesarjanaan dan tingkah laku para sujana, para sarjana dan cerdik-pandai jika hal itu kau tengok dengan teliti kamu akan merasakannya. Bisa juga dibandingkan dengan kontribusi kisah Koja dan Raja Mesir yang sudah dijadikan ceritera bersyair (dengan nama Kitab Kojah-jajahan yang dipengaruhi agama Islam). Telah banyak para cerdik-pandai membentangkan ajaran-ajaran moral dan pengetahuan yang diperoleh dari membaca kitab-kitab kuno tentang tatakrama dan moralitas dan arti perbuatan-perbuatan baik; itu saja camkanlah dalam hatimu…)

Baca juga:  Bayang-Bayang Sufistik Lagu-Lagu Sang Maestro: Ebiet G. Ade

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan bagaimana Bagus Banjar atau Yosodipuro membaca dan menulis kembali teks-teks berbahasa Kawi dengan melakukan perbandingan dengan teks-teks serupa dari masa Islam, yakni seperti teks-teks yang diolah oleh orang-orang pesantren (misalnya tentang Kojah-jajahan). Dengan menulis kembali teks Nitisruti seperti di atas berarti mengintegrasikan substansi teks Kojah-jajahan yang disalin di Pesantren Giri, di masa para Wali, yang mana hal ini tidak ditulis apa adanya atau diterjemahkan secara kaku dan kering, tetapi diberi warna khas pesantren.

Dengan demikian apa yang dilakukan terhadap bahasa Kawi dalam dunia pesantren adalah bentuk respon dunia pesantren terhadap tradisi yang ada sebelum Islam masuk di Nusantara. Bukannya menjauhi atau melarang mempelajari bahasa Kawi dan teks-teks yang berkaitan, tetapi malah menggunakannya untuk memasukkan ajaran Islam khas pesantren di dalamnya. Islam pertama kali turun di dunia pun demikian. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utamanya tidak menolak semua tradisi yang ada di masa pra-Islam, tetapi tetap menggunakan yang bisa digunakan seperti penggunaan pola oral puisi yang ada di dunia arab pra-Islam untuk digunakan dalam al-Qur’an sehingga al-Qur’an dapat bisa diterima dengan mudah dua dunia Arab pada masa itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top