Ajip Rosidi rajin menulis esai-esai mengenai bahasa dan sastra. Pada suatu masa, buku-buku berisi esai-esai bahasa terbit membuktikan keseriusan mengurusi bahasa Indonesia dan daerah. Ia pun membuat Kamus Istilah Sastera Indonesia (2018) Kamus tipis tapi membikin orang cemburu atas gairah keaksaraan Ajip Rosidi. Pada saat tua, ia mulai menggarap kamu besar untuk bahasa Sunda. Kamus belum rampung, ia sudah pamitan, 29 Juli 2020.
“Kalau kita memperhatikan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1953) yang disusun WJS Poerwadarminta (orang Jawa), maka kita akan melihat bahwa banyak sekali kata yang diberinya tanda sebagai berasal dari bahasa Jawa; tetapi setiap orang Sunda tentu akan dapat pula mengatakan bahwa sebenarnya kata-kata itu berasal dari bahasa Sunda, karena kata-kata itu terdapat pula dalam bahasa Sunda,” tulis Ajip Rosidi dalam buku berjudul Manusia Sunda (1984).
Puluhan tahun lalu, ia berani memberi tatapan kritik atas penerbitan dan pengaruh kamus buatan Poerwadarminta telah digunakan dalam pembuatan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pemerintah. Kamus Umum Bahasa Indonesia cetakan pertama pada 1952. Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan pertama 1988. Kamus itu dianggap “terlalu” penting bagi perkembangan bahasa Indonesia tapi mengandung masalah di mata kebahasaan Ajip Rosidi. Identitas Sunda ditentukan pula oleh perkamusan tapi kaum leksikograf di Indonesia masih jarang berasal dan berlatar Sunda.
Kalimat kecewa buatan Ajip Rosidi pada masa lalu: “Tetapi karena sampai sekarang tak ada orang Sunda yang menyusun kamus bahasa Indonesia, maka secara hitam atas putih orang-orang yang berpegang kepada Kamus Umum Bahasa Indonesia akan mengikuti pendapat Poerwadarminta, yaitu menganggap kata-kata itu berasal dari bahasa Jawa hanya karena kebetulah kata-kata tersebut terdapat dalam perbendaharaan bahasa Jawa.” Ajip Rosidi menantang orang-orang mau melakukan penelitian demi pembuktian. Hasil bakal memberi kejelasan posisi bahasa Sunda dalam perkembangan bahasa Indonesia dan perkamusan.
Di Indonesia, perdebatan kamus tak seseru perdebatan sastra. Polemik-polemik mengenai kamus miliki sedikit orang. Kita maklum saja kegandrungan berkamus belum milik Indonesia. Kamus-kamus tebal sulit termiliki. Pengecualian adalah membeli kamus-kamus berukuran kecil dan tipis tanpa jaminan bermutu. Kamus sering mahal. Kesibukan membuka kamus jarang dimiliki orang-orang Indonesia di keseharian. Kamus-kamus cenderung mengisahkan peristiwa dilakukan para editor, pengarang, wartawan, peneliti, dan lain-lain.
Kamus menjadi acuan mengetahui hidup-mati bahasa. Pembuatan kamus-kamus berperan mengawetkan atau memajukan bahasa. Sekian kata di kamus mungkin bergerak jauh, awet selama ratusan tahun. Kamus pun membuat orang sadar ada kata-kata “mati”. Sekian kata tak lagi dipilih dalam omongan dan tulisan. Sejarah kamus di arus sejarah bahasa. Kamus-kamus dipastikan bakal semakin tebal bila memastikan ada perkembangan bahasa.
Ajip Rosidi (2006) menulis kecewa atas nasib bahasa Sunda dalam nalar birokrasi dan kemauan publik. Ia menegok sejenak nasib bahasa Jawa melalui kebijakan-kebijakan birokrasi, sebelum menginginkan perubahan nasib bahasa Sunda. Kita membaca (lagi) kecewa: “Tapi kalau peluang itu jatuh kepada orang-orang yang hanya menganggap bahasa Sunda itu sebagai peluang untuk berbagai proyek tahunan atau lima tahunan seperti penyelenggaraan kongres yang tidak menghasilkan sesuatu yang konkrit, nasib bahasa Sunda sebagai bahasa daerah, sebagai bahasa ibu, akan tetap merana.” Kecewa demi kecewa memicu Ajip Rosidi membuat kamus meski tak selesai.
Di situ, kita membaca masalah bahasa daerah dan bahasa ibu. Kecewa dan galam Ajip Rosidi malah sudah terbaca di Prisma edisi 1979. Ia menginginkan dalam berbahasa (daerah) jangan dituduh “regionalisme”. Penggunaan dan perkembangan bahasa daerah itu berurusan menjadi Indonesia. Di mata rezim Orde Baru keinginan menjadi Indonesia tanpa kehilangan unsur daerah bisa disalahkan. Lakon hidup-mati bahasa dipengaruhi oleh pers, sastra, dan pengajaran di sekolah. Kamus-kamus pun menentukan peruntungan atau keapesan kata dan makna, dari masa ke masa.
Kita membuka Kamoes Soenda susunan R Satjadibrata, diterbitkan oleh Balai Poestaka, cetakan kedua, 1950. Kamus itu disusun pada masa pendudukan Jepang, Maret 1942-Desember 1943. WJS Poerwadarminta diakui turut membantu dalam pembuatan kamus. Di tulisan “pendahoeloean” bertahun 1948, R Satjadibrata mengumumkan penerbitan kamus itu laris. Cetak ulang diharuskan demi memenuhi kebutuhan publik.
Ia menjelaskan: “Kita ma’loem bahwa sesoeatoe kamoes ada berlainan sifatnja, oempamanja dengan sifat air anggoer, jang mendjadi tambah baik, djika didiamkan lama. Kamoes djadi tambah baik, djika selaloe dipergoenakan dan selaloe diichtiarkan bagaimana djalan memperbaikinja. Dengan oesaha penjoesoen dan soembangan para pemakai, maka kamoes kita ini tentoe akan bertambah baik.” Ingat, kamus jangan dimengerti sebagai minuman anggur. Kamus mutlak memerlukan kerja-kerja lanjutan dalam penambahan kata atau perubahan makna. Kamus mustahil lengkap bagi leksikograf selalu mengikuti masalah-masalah kebahasaan, dari hari ke hari. Kita mencatat ikhtiar dan penerbitan Kamoes Soenda-Indonesia itu mendahulu Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952).
Kini, kita menantikan ada orang-orang melanjutkan ikhtiar Ajip Rosidi dalam pembuatan kamus besar bahasa Sunda dengan jumlah entri dan penulisan makna-makna tentu berbeda banget dengan warisan kamus susunan R Satjadibrata. Penantian mungkin kewaguan tapi penting. Begitu.