Sedang Membaca
Mbah Moen: Tentang Cinta dan Ilmu yang Tak Bertepi
Abd Hakim Abidin
Penulis Kolom

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mbah Moen: Tentang Cinta dan Ilmu yang Tak Bertepi

KH Maimoen Zubair dikenal sebagai orang bijak bestari. Beliau akrab disapa Mbah Moen. Setiap tutur kata dan tindakannya senantiasa menjadi panutan bagi santri dan pecintanya.

Mbah Moen selalu menyempatkan mengaji untuk santri-santrinya. Terkadang kondisi yang rapuh di usia senjanya tak bisa menyurutkan istiqomahnya dalam mengajar dan mendidik umat.

Di sela-sela rutinitas mengaji, beliau seringkali menyempatkan diri menerima tamu-tamu dari berbagai kalangan. Semua diperlakukan sama, dengan penuh penghormatan dan kearifan. Bisa dipastikan, usai mendengarkan wejangan atau nasihat dari Mbah Moen, banyak tamu yang merasa mendapatkan pencerahan atau oase di tengah kebimbangan menjalani kehidupan.

Tamu beliau setiap hari berdatangan silih berganti. Jarang sekali menjalani hari-hari tanpa kedatangan tamu. Meski sekadar perkara remeh yang ingin disampaikan oleh tamu, Mbah Moen tak pernah memandang sebelah mata. Semua yang datang sowan didoakan dengan tulus, semoga mendapatkan keberkahan.

Mbah Moen sejatinya bukan hanya membekas di hati para santri dan kalangan pesantren belaka. Para penganut lintas agama tak sedikit yang menyanjungnya dan merasa akrab dengan beliau. Ada tamu nonmuslim yang datang, sekadar meminta petuah, beliau tetap berkenan menerima dan memberikan wejangan yang dibutuhkan.

Saya pernah suatu ketika melihat ada seorang keturunan Tionghoa bertamu kepada Mbah Moen.

Tamu perempuan itu berpakaian yang mungkin bisa dianggap tidak syar’i. Tapi setelah selesai bertamu, tampak raut wajahnya berbinar seakan mendapatkan sesuatu yang mencerahkan.

Soal  kealiman Mbah Moen, tidak ada yang meragukan. Sanadnya bersambung pada guru-guru mulia yang bertalian langsung sampai kepada Kanjeng Nabi. Banyak bukti yang telah tercatat atau terekam dalam berbagai media.

Mbah Moen banyak menulis buku-buku keislaman yang sangat mengagumkan. Di antaranya adalah Al-Ihtijajus Syafiiyah ‘alar Rawafidh al-Imamiyyah, Al-Ulama’ al Mujaddidun, dll. Di dalamnya bisa ditemui keterangan guru-gurunya. Selain itu, pituturnya luas melampai batas ruang dan kalangan.

Dalam banyak keterangan yang disampaikan Mbah Moen, kekayaan khazanah Islam begitu kaya. Tentang sosial, ekonomi, budaya sampai tentang nosianalisme. Maka tak jarang,  di sela-sela pengajiannya beliau mengaitkan keterangan-keterangan yang disampaikan tentang Islam yang selalu selaras dengan mencintai Tanah Air.

Jiwa nasionalisme tampak begitu nyata dalam kata-kata dan tindak tanduknya.

Mungkin Mbah Moen tak pernah mengenyam pendidikan formal, tapi tak ada yang meragukan keluasan pandangannya tentang nasionalisme. Dalam banyak kesempatan, beliau menyinggung hari lahirnya yang bertepatan dengan deklarasi sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Beliau menegaskan kecintaannya pada Tanah Air.

Baca juga:  Bagaimana NU Online Menulis Wafatnya Mbah Moen?

Baginya Indonesia adalah anugerah yang patut disyukuri dan dijaga bersama. Beliau tak segan menyanyikan lagu nasional; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita, Indonesia pasti jaya untuk selama-lamanya. Bahkan demi menyanyikan Indonesia Raya dalam suatu acara penting, beliau tegar berdiri meski seharusnya tetap duduk di kursi roda.

Mbah Moen juga pernah meyakinkan bangsa Indonesia bahwa kelak akan menjadi pemimpin dunia. Tak terasa saya merasa haru dan terpompa untuk terus mencintai dan mengabdi pada Indonesia.

Banyak kenangan tentang Mbah Moen yang sudah ditulis oleh para santri dan orang-orang yang mencintainya. Tersebar di berbagai media. Sejak kabar wafatnya Mbah Moen tersebar, banyak tulisan yang menceritakan hal-hal berkesan dan membekas. Baik pengalaman pribadi maupun catatan-catatan nasihat yang sempat disampaikan Mbah Moen.

Salah satu yang sangat mengesankan adalah tentang anjuran agar tidak mudah menuduh orang lain kafir dan anjuran agar dalam mengajar tak perlu memaksakan diri membuat santri pintar, tapi diniatkan dengan tulus menyampaikan ilmu, sedangkan selebihnya diserahkan kepada Tuhan bagaimana nantinya santri yang diajar. Banyak pesan-pesan yang lebih mengesankan lainnya yang dengan mudah bisa dicari dalam banyak media sosial.

Saya ingin mencoba berbagi kesan dalam mengiringi berpulangnya Mbah Moen. Dalam  Ta’lim Muta’allim dijelaskan bahwa guru ideal itu mencakup tiga kriteria; alim, wira’i, dan sepuh. Tanpa penjelasan lebih lanjut tiga kriteria tersebut bisa kita pahami sebagaimana dulu mengaji di Pesantren. Mbah Moen mencakup ketiga kriteria tersebut tanpa sedikitpun keraguan. Saya yakin semua orang akan bersepakat, baik orang yang mengenal beliau secara langsung maupun tidak.

Sempat mencecap ilmu beliau dua tahun lalu (2017), saat ngaji posoan momen yang sangat mengesankan. Sebelum berangkat mengaji saya pamit pengasuh pesantren saya dulu; KH Masbuhin Faqih Gresik. Saya mendapat izin dan ridhonya mengikuti ngaji posoan di Sarang. Mendapat ridho guru adalah segalanya. Bagi saya saat itu adalah momen yang sangat istimewa. Sebab sudah lama sekali mempunyai keinginan ngaji dan ngalab berkah ilmu dan kearifan Mbah Moen.

Baca juga:  Ibrahim Nashrallah dan Kecamuk Palestina

Saat itu kitab yang dikaji Mbah Moen adalah Ithafu Ahlil Islam bi Khususiyatis Siyam libni Hajar Al-Haitamy. Kitab ini dikaji bakda Subuh dan bakda Isya. Bakda Subuh kira-kira dimulai jam setengah tujuh sampai menjelang dzuhur jam sebelas atau sekira jam setengah duabelas siang. Sedangkan bakda Isya dimulai usai merampungkan shalat terawih kira-kira jam delapan sampai menjelang larut malam sekira jam setengah duabelas malam.

Mungkin waktu yang begitu lama, duduk 4-5 jam tanpa istirahat, bagi beliau adalah hal biasa, tapi bagi santri amatir seperti saya duduk sambil konsentrasi menyimak dan mencatat hal-hal penting dalam kitab yang dibaca adalah hal yang sangat melelahkan dan terkadang tak sadarkan diri tertidur pulas alias ndlosor, sampai tiba-tiba pengajian usai.

Saya juga menyempatkan diri mengikuti pengajian lain di ndalem putra-putra beliau, selepas dhuhur dan Ashar. Jadi seharian full ngaji dan ngaji. Saya hanya berharap, sekalipun kurang maksimal mengikuti semua pengajian yang ada, semoga senantiasa tercipatri berkahnya.

Penjelasan-penjelasan yang disampaikan begitu gamblang dan sangat mencerahkan. Usia yang sudah cukup uzur itu tak berpengaruh pada suaranya yang masih sangat jelas. Saya tak bisa membayangkan bagaimana proses belajar beliau semasa muda, sementara di masa senjanya saja masih begitu kuat berjam-jam menelaah kitab dengan sangat teliti dan cermat.

Ingatan dan pandangan beliau yang begitu kuat dan berkarakter khas nasionalis seringkali memukau. Bak lautan tak bertepi, ilmu beliau sangatlah luas. Selalu ada hal yang mengagumkan dalam penyampaiannya.

Setiap kali mengaji, meski seringkali saya terkapar, selalu ada inspirasi dalam keterangan yang disampaikan.

Mbah Moen seringkali mengungkapkan bahwa dalam memahami agama itu harus dengan logika yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan. Beliau berkali-kali mengatakan; Innaddiina aqlun fa la diina liman la aqla lahu. Nalar beragama harus dipakai secara maksimal agar bisa memahami agama dengan baik dan benar. Persis yang pernah ditulis oleh Prof Quraish Shihab dalam bukunya  Logika Agama.

Saya meyakini masa muda beliau tak pernah disia-siakan. Sanad ilmu yang didapat dari berbagai guru adalah bukti kesungguhannya dalam menimba ilmu sejak dulu. Karena itu, tak heran jika keilmuannya menyegara atau begitu luas, seluas samudera tak bertepi. Tapi hal itu tidak bisa didapat secara instan. Mbah Moen bertahun-tahun menimba ilmu di berbagai pesantren dengan pelbagai guru yang mumpuni.

Baca juga:  Tiga Sahabat Nabi yang Usianya Panjang

Keluasan ilmu yang sangat masyhur itu tak lantas membuat Mbah Maimoen cenderung eksklusif dalam menyikapi berbagai persoalan. Dari persoalan masyarakat secara umum sampai soal negara dan bangsa, Mbah Moen selalu menjadi rujukan.

Dalam masalah Pilpres misalnya, Mbah Mun selalu mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Siapa pun yang terpilih harus bisa menjadi pengayom masyarakat.

Kepedulian Mbah Moen terhadap nasib negara dan bangsa sangat besar, hingga meski di usia senjanya itu masih bersedia untuk meluangkan waktu memberikan solusi mengenai persoalan-persoalan politik yang dihadapi negara. Beliau senantiasa mengedepankan perdamaian dan persatuan bangsa. Politik yang diajarkan bukanlah politik praktis, melainkan politik kebangsaan tingkat tinggi.

Mbah Moen memandang siapa dan apa pun dengan pandangan kasih sayang. Yandhurul ummah bi’ainir rahmah. Sehingga semua dihadapi akan selalu merasakan kedamaian dan mendapatkan pencerahan yang sangat mengesankan. Tak ada kebencian sedikit pun yang terpancar. Hanya kasih sayang dan cinta yang tulus bagi bangsa dan negara yang selalu tampak dari sosok KH Maimoen Zubair.

Memandang wajahnya yang teduh itu seakan persoalan-persoalan kehidupan yang membuat penat dan menggelisahkan, sirna terkena pancarannya. Cinta dan ilmunya ibarat lautan tak bertepi. Tapi kini Tuhan telah mengambilnya. Kembali ke haribaan-Nya.

Saya yakin beliau telah berpulang ke rahmatullah dengan penuh senyuman. Sebagaimana senyuman yang senantiasa terpancar saat memberikan wejangan.

Selamat jalan Kiai… Semoga kelak panjenengan perkenankan kami sowan bersama, menghadap kanjeng Nabi. Amin. (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top